MATA
KULIAH
PEMERINTAHAN NASIONAL
Deskripsi
Mata Kuliah :
Mata kuliah ini menelaah dan
menjelaskan tentang bentuk-bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan, tujuan dan
fungsi pemerintahan, faktor lingkungan dalam penyelenggaraan pemerintahan,
demokrasi desentralisasi dan otonomi
dalam penyelenggaraan pemerintahan, lembaga dan birokrasi pemerintahan,
hubungan pusat-daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, dibahas juga konsep
reinventing government dan good governance.
Capaian
Pembelajaran :
Setelah menempuh mata kuliah ini,
mahasiswa diharapkan dapat memahami dan
mampu menjelaskan tentang pemerintahan
nasional dengan berbagai problematikanya
Rincian
Kajian Mata Kuliah Pemerintahan Nasional :
- Pendahuluan
- Bentuk-bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahan
- Tujuan dan fungsi pemerintahan
- Faktor lingkungan dalam penyelenggaraan pemerintahan
- Demokrasi, desentralisasi dan otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan
- Lembaga dan birokrasi pemerintahan nasional
- Lembaga Legislatif (Parlemen: MPR, DPR, DPD), Eksekutif (Presiden dan Menteri-Menteri), Yudikatif (MK, MA, Pengadilan,dll)
- Hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
- Politik dan kebijakan pemerintahan
- Reinventing government dan good governance
- Tantangan dan Masa Depan Pemerintahan Nasional
Daftar
Pustaka :
Madison, James, The
Federalist, The Modern Library, Random House Inc.
Friedrich, Carl,
Trends of Federalism in Theory and Practice, (chapter 1,2), Frederick A Praeger Publishers, 1968.
Smith, Graham,
Federalisme, Pilihan Masyarakat Majemuk, cetakan 1, Penerbit Solidaritas
Indonesia,1999.
Teori Federalisme,
kumpulan makalah studi kasus, Perpustakaan S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah.
Kramer, Jutta,
Federalism and Civil Society, An International Sympusium, Nomos Verlogs gessellschaft Baden-baden, 1999.
Elazar, Daniel J,
Exploring Federalism, The University of Alabama Press T uscaloosa,
Alabama, 1987.
Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia.
LAN RI, 2006, Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan
NKRI. Jakarta : LAN
BAHAN PENGANTAR DISKUSI (BENTUK NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN)
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Pengantar
Secara
umum pemerintahan diartikan sebagai perbuatan, cara, atau tindakan / urusan
dari badan atau orang-orang yang memerintah. Pemerintahan juga dapat diartikan
sebagai suatu tindakan atau keputusan pemerintah dalam kerangka membangun dan
menata kepentingan pelayanan publik, baik dalam bentuk produk
perundang-undangan, maupun dalam bentuk program dan kegiatan pembangunan bagi
masyarakat.
Pemerintahan
Nasional dapat dipahami urusan dari
sejumlah tugas dan fungsi baik secara vertikal maupun horisontal dalam suatu organisasi pusat
atau nasional (negara) berdasarkan norma dan gagasan sistematis untuk mengatur, mengurus
dan mewujudkan kepentingan rakyat. Dan untuk melaksanakan dan mewujudkan kepentingan rakyat dibutuhkan suatu wadah atau organisasi yang
bernama negara.
Dalam mendirikan sebuah negara, setidaknya
diperlukan sejumlah syarat pokok antara lain : harus ada pemerintahan yang
berdaulat, rakyat, wilayah dan pengakuan. Pemerintahan dalam arti luas, pada
umumnya mencakup eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sedangkan dalam arti
sempit adalah eksekutif sendiri, yakni kepala pemerintahan beserta kabinetnya.
Untuk
mengetahui Pemerintah Nasional suatu negara,
setidaknya dapat dicerna dari bentuk pertanggungjawaban atau relasi
antara pemerintah / kepala pemerintahan dengan rakyatnya. Menurut Maswadi Rauf,
(2009:23) ada dua bentuk sistem pemerintahan, yakni sistem pemerintahan
parlementer dan sistem pemerintahan presidensial.
Sistem pemerintahan presidensial dengan beberapa perkecualian telah
digunakan dalam masa kemerdekaan
Indonesia. Perkecualian tersebut adalah digunakannya sistem parlementer
pada beberapa periode masa berlakunya UUD 1945, yaitu pada tahun 1945-1949 di
masa konstitusi RIS, 27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950. Dan pada masa UUD
Sementara 1950, yang berlangsung dari Tahun 1950 s/d 1959. Dan selanjutnya dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
memberlakukan kembali UUD 1945, yaitu memberi kesempatan sekali lagi bagi penggunaan sistem
presidensial. Sedangkan menurut Inu Kencana Syafiie (1992) secara umum ada dua
bentuk negara, yakni negara kerajaan dan negara Republik. Sedangkan sistem
pemerintahan pada umumnya terdiri dari beberapa bentuk, yaitu :
1.
Sistem Pemerintahan Parlementer, yang
kemudian dibagi lagi menjadi sistem pemerintahan parlementer bercorak Republik
dan Kerajaan. Dalam sistem ini akan
dilakukan pengawasan yang ketat terhadap eksekutif oleh pihak legislatif.
Dengan demikian parlemen diberikan kekuasaan yang besar agar eksekutif dapat
memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah
/eksekutif selaku perdana menteri bersama kabinetnya bertanggung jawab kepada
parlemen. Contohnya Malaysia.
2.
Sistem Pemerintahan Campuran, yang
kemudian dibagi lagi menjadi sistem pemerintahan campuran bercorak
Desentralisasi dan Sentralisasi. Dalam
sistem ini akan dipadukan sejumlah hal-hal terbaik dari sistem parlementer dan
presidensial, dengan harapan dapat menciptakan pemerintahan yang lebih
demokratis dan sejahtera bagi rakyat.
Misalnya negara Indonesia dan Perancis.
3.
Sistem Pemerintahan Presidensial, yang
kemudian dibagi lagi menjadi sistem pemerintahan presidensial bercorak Serikat
dan Kesatuan. Dalam sistem ini presiden memiliki kekuasaan yang kuat, karena
selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Oleh karena itu
agar tidak menciptakan pemerintahan yang diktator dan otoriter maka diperlukan check and balance antar lembaga tinggi
negara, seperti negara AS.
4.
Sistem pemerintahan Proletariat, yang
kemudian dibagi lagi menjadi sistem pemerintahan proletariat bercorak multi partai
dan mono partai. Dalam sistem ini yang diupayakan sebenarnya adalah
kesejahteraan rakyat, tetapi karena kemudian rakyat banyak tersebut dihimpun
dalam organisasi kepartaian komunis, akhirnya melahirkan dominasi partai
tunggal yang memiliki kekuasaan mutlak, Contohnya Republik Cina.
B.
Klasifikasi
Struktur Organisasi Negara dan Pemerintah
Sebelum
mendalami materi ini, setidaknya perlu dijelaskan lebih awal secara eksplisit apa
yang dimaksud dengan “negara”. Negara menunjuk pada suatu gejala historis,
yaitu seperangkat institusi atau organisasi yang berinteraksi dalam suatu cara
yang kurang lebih terkoordinasi di dalam suatu batas-batas wilayah yang
ditetapkan. Secara ringkas dapat dirumuskan bahwa negara adalah suatu
organisasi, yang mengontrol alat-alat koérsi yang utama didalam suatu wilayah
tertentu, otonom, tersentralisasikan dan secara formal terkoordinasikan.
Dalam tradisi Anglo-Saxon, “negara”
cenderung dianggap sebagai sinonim dengan “pemerintah”. Lain halnya dengan
tradisi kontinental yang membuat perbedaan di antara “negara” sebagai istilah
umum dan abstrak yang menunjuk pada institusi-institusi politik dan
“pemerintah” sebagai salah satu unsurnya, yaitu cabang eksekutif, yang
berdampingan dengan cabang-cabang yang lain: legislatif, yudikatif, birokrasi,
dan militer.
Sejak zaman Yunani kuno, perdebatan yang
serius telah berlangsung mengenai masalah pengklasifikasian negara menurut
bentuk pemerintahannya. Cara yang paling mudah untuk membedakan bentuk-bentuk
pemerintah itu adalah melalui kategori monarki, aristokrasi, dan demokrasi.
Tetapi perdebatan di sekitar pengklasifikasian itu lebih bersifat normatif dari
pada empiris. Yang mereka persoalkan lebih banyak mengenai sisi baik dan sisi
buruk dari suatu bentuk pemerintahan.Aristoteles,
misalnya, kemudian tampil dengan sebuah skema tentang bentuk pemerintahan yang
ideal dengan pasangannya yang buruk yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.1 Skema Bentuk Pemerintahan
Bentuk
/ Corak IdealNegara
|
Pemerintah
|
Bentuk
Pembusukan
|
Monarki
|
Satu
Orang
|
Tirani
|
Aristokrasi
|
Sedikit
Orang
|
Oligarki
|
Politeia
|
Banyak
Orang
|
Demokrasi
|
Pengklasifikasian
seperti itu sangat menyederhanakan dan sangat menggeneralisasikan persoalan
bentuk pemerintahan sehingga kurang bisa membantu untuk memberi pemahaman
tentang struktur organisasi negara yang jauh lebih kompleks. Suatu pendekatan teoritis yang lebih objektif
dan empiris, dan karena itu secara umum dapat diterima, adalah
mengklasifikasikan negara dan pemerintahannya menurut dimensi khusus struktur
organisasi negara. Setidaknya, ada tiga pendekatan yang masing-masingnya
menyangkut dimensi penting struktur organisasi negara yang dapat dirumuskan
dalam bentuk tiga pertanyaan (D. George Kousoulas, 1968):
1.
Apakah kedudukan kepala negara turun temurun atau dipilih?Jawaban atas
pertanyaan ini menerangkan apakah sebuah Negara merupakan bentuk negara monarki
atau republic ?
2.
Apakah eksekutif secara konstitusional bertanggung jawab terhadap legislatif
atau tidak? Jawaban atas pertanyaan kedua ini menentukan bentuk pemerintahan
negara itu parlemen atau presidensial ?
3. Apakah secara
konstitusional ada pemisahan kekuasaan memerintah antara pemerintah pusat dan pemerintah regional
atau tidak ?
Jawaban
atas pertanyaan ketiga ini menunjuk apakah negara yang bersangkutan termasuk
jenis federal /serikat atau kesatuan.Dengan memeriksa konstitusi masing-masing,
maka dapat ditentukan misalnya, Inggris dan Jepang tergolong negara monarki,
parlementer, dan kesatuan; Italia dan Yunani tergolong negara republik,
parlementer, dan kesatuan; Amerika Serikat dan Venezuela tergolong negara
republik,presidensial, dan federal; Indonesia
dan Kolombia tergolong Negara berbentuk
republik - kesatuan dengan bentuk
pemerintahan presidensial; Belgia, Australia, dan Malaysia tergolong negara
monarki, parlementer, dan federal; Kanada, Jerman, dan India tergolong negara
republik, parlementer, dan federal. Ada sedikit kesukaran dalam menentukan tata
nama bagi ketigaklasifikasi di atas. Untuk klasifikasi parlementer dan
presidensial,tampaknya dapat diterima untuk menyebutnya sebagai “bentuk pemerintahan”.
Tetapi bagi penamaan kedua klasifikasi yang lain masih terdapat
kesimpang-siuran. Beberapa sarjana menyebutkan bentuk negara sebagai monarki
atau republik, sebagian lagi mengartikan bentuk Negara sebagai negara kesatuan
atau negara federal (Muh. Kusnadi dan Bintan R.Saragih, 2000). UUD(S) 1950
mengikuti yang terakhir dengan pasal 1 ayat 1yang berbunyi: “Republik Indonesia
... ialah suatu negara hukum yang demokratis
dan berbentuk kesatuan,” sedangkan UUD 1945 menganut yang pertama melalui bunyi
pasal 1 ayat 1: “Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik.”
Dalam
dunia demokrasi, perbedaan antara monarki dan republik tidak lagi terlalu
berarti. Raja-raja dalam sistem demokrasi boleh dikatakan hanya menjalankan
peran seremonial dan simbolik. Satu-satunya perbedaan penting bahwa monarki
dengan sendirinya parlementer, sementara republic dapat berupa parlementer atau
presidensial. Meskipun begitu, patut dicatat bahwa ada beberapa sarjana karena satu dan lain hal,sebagai bentuk
penolakan terhadap hegemoni liberalisme dalam demokrasi, kemudian menghidupkan kembali gagasan-gagasan republikanisme
(Philip Pettit, 1997; John. W. Maynor, 2003).
BAB II
BENTUK NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN
1.
Bentuk
Negara
A.
Negara
Federal vs Negara Kesatuan
Beberapa
pertanyaan kunci yang patut diajukan dalam pembahasan materi ini adalah :
pertama, Apa perbedaan antara negara kesatuan dan
negara federal? dan kedua, sebutkan
beberapa contoh negara kesatuan dan negara federal ? Dan salah satu pertanyaan lanjutan adalah ketika kita mulai membicarakan
klasifikasi negara adalah : Apakah secara konstitusional ada pemisahan atau
tidak kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah regional ? Jawaban atas
pertanyaan itu menerangkan apakah negara yang bersangkutan termasuk jenis
federal atau kesatuan. Klasifikasi yang dihasilkannya kita sebut bentuk negara.
Semua negara modern di dunia dewasa ini niscaya tergolong ke dalam salah satu
bentuk negara federal atau kesatuan. Dengan mengatakan hal ini tidaklah berarti
bahwa semua negara federal dan semua negara kesatuan itu seragam. Pada
kenyataannya, ada banyak ragam negara federal,sebagaimana juga ada banyak ragam
negara kesatuan. Meskipun begitu tidak ada negara modern sekarang ini yang sama
sekali tidak termasuk ke dalam kedua bentuk negara itu.Klasifikasi di atas
sekaligus menetapkan sifat dasar negara federal,yaitu adanya pembagian
kekuasaan secara konstitusional antara pemerintah pusat dan pemerintah
regional, sementara pada negara kesatuan tidak ada pembagian kekuasaan seperti
itu. Kedua sifat dasar ini perlu diklarifikasi lebih lanjut, yakni :
Pertama, tidak dapat
dibantah di dalam negara kesatuan yang menganut otonomi luas, mungkin saja
pemerintah regional mempunyai kekuasaan yang cukup besar yang hampir menyamai
kekuasaan pemerintah regional dalam negara federal. Tetapi dipandang dari segi
sumber kekuasaan, bagaimanapun, kekuasaan pemerintah regional dalam negara kesatuan
bukanlah hasil suatu pembagian kekuasaan, melainkan akibat dari suatu
penyerahan atau delegasi kekuasaan. Atau dengan kata lain, kekuasaan regional itu berasal dari
pemerintah pusat, kekuasaan itu mengalir dari atas ke bawah. Lain halnya pada
negara federal. Kekuasaan semula dianggap milik regional dan karena itu dapat
diangankan (imagined) bahwa dalam negara federal, penyerahan kekuasaan berjalan
dari pemerintah regional kepada pemerintah pusat. Kekuasaan (seolah-olah)
mengalir dari bawah keatas.
Kedua, pembagian
kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah regional dijamin secara
konstitusional. Artinya, pembagian kekuasaan itu tercantum dalam konstitusi,
sementara delegasi kekuasaan pada negara kesatuan hanya diatur dalam
undang-undang. Konstitusi federal dengan tegas mencantumkan kekuasaan atau
wewenang yang diserahkan kepada pemerintah pusat, dan wewenang apa saja yang
tersisa menjadi milik pemerintah regional. Sebaliknya, pada negara
kesatuan, melalui undang-undang,pusatlah yang menentukan kekuasaan apa saja
yang diserahkan kepada pemerintah regional dan setiap saat kekuasaan itu dapat
dicabut atau diubah.Konstitusi tentu saja dapat diubah. Tetapi berbeda dengan
undang-undang,prosedur perubahan konstitusi jauh lebih sukar.
Ketiga,
dalam negara federal, sebetulnya tidak dikenal istilah pemerintah pusat,
sebagaimana yang telah digunakan di atas. Berbeda dengan negara kesatuan yang
memiliki “pemerintah pusat”, bentuk federal memiliki “pemerintah federal” atau
“pemerintah nasional”. Jadi, jika negara kesatuan memiliki “pusat” kekuasaan,
maka negara federal dapat dikatakan memiliki banyak “pusat”, yaitu unit-unit
yang membentuk negara federal itu dan pemerintah federal itu sendiri. Prinsip
politik yang menjiwai federalism adalah bagaimana koordinasi yang baik dapat
berlangsung di antara pusat-pusat kekuasaan itu.
Sampai di sini,
barangkali perbedaan antara negara federal dan kesatuan kelihatan cukup jelas.
Tetapi apapun yang dikatakan mengenai hubungan antara pemerintah federal dan
entitas-entitas yang menyusunnya,dan antara pemerintah pusat negara kesatuan
dan wilayah-wilayahnya,dalam praktek selalu ada derajat interdependensi yang
tinggi di antara kedua tingkat pemerintahan yang dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Persaingan antar-negara terutama di bidang ekonomi, tuntutan
pemerintahan yang kian kompleks, dan meningkatnya partisipasi pada tingkat
bawah menyebabkan timbulnya perkembangan yang agak aneh berupa pergerakan yang
saling mendekati di antara federalisme dan unitarisme. Negara federal cenderung
memperluas kekuasaan dan tanggung jawabnya, sementara dalam negara-negara kesatuan,
dengan posisi tawar daerah yang semakin besar,pemerintah pusat kian dipaksa
melonggarkan kekangan atau kekuasaannya. Di atas segalanya, kedua bentuk negara
ini masih bertahan dengan keunggulan dan kekurangan masing-masing. Menurut
Gavin Drewry (1995), label kesatuan berarti ketangguhan nasional dan kesatuan
tujuan, khususnya dalam gelanggang internasional dan militer. Sementara label
federalis menekankan suatu komitmen pada nilai-nilai demokrasi yang majemuk dan
suatu kehendak untuk mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan berbeda dari penduduk
yang beragam, khususnya dalam kebijakan dalam negeri. Terlepas dari penilaian
ini, negara kesatuan dianggap cocok dengan negara kecil dari segi wilayah.
Dengan bentuk kesatuan, negara kecil dapat menghilangkan duplikasi kegiatan dan
kemungkinan konflik antara berbagai tingkat pemerintah. Sebaliknya, negara
federal dianggap sebagai metode memerintah yang ampuh bagi negara-negara besar
dan multikultural,terutama untuk menanggulangi potensi-potensi konflik akibat
fragmentasi teritorial dan kultural pada umumnya.
Dewasa
ini dari kurang lebih 19 negara federal di dunia ada belasan negara federal
demokratis, antara lain Amerika Serikat, Jerman, Kanada,Swis, Austria, Belgia,
Australia, India, Malaysia, Spanyol, dan Brasil. Bentuk negara kesatuan tak
terbilang jumlahnya, yang demokratis diantaranya adalah Inggris, Prancis,
Yunani, Jepang, Filipina, Korea Selatan,dan Indonesia.
B.
Federalisme
vs Konfederasi
1.
Federalisme
Perkataan federalisme sering
disenapaskan dengan negara federal atau federation, selama ini diindonesiakan
sebagai “federasi”. Tetapi sebetulnya federalisme dapat diibaratkan sebagai
sebuah spesies yang terdiri dari berbagai genus (Daniel J. Elazar, 1995). Federation
atau negara federal adalah spesis yang paling dikenal dari berbagai spesis
lain, yang secara khusus akan dibicarakan lagi nanti. Jenis federalisme yang
lain adalah confederation atau konfederasi adalah suatu situasi di mana
beberapa negara berkumpul untuk menciptakan pemerintahan umum dengan tujuan
terbatas yang berfungsi melalui negara-negara anggota yang tetap merupakan
negara berdaulat penuh. Sebelum
beralih ke bentuk federal, “Amerika Serikat” sebelumnya merupakan bentuk
konfederasi. Patut dicatat,bahwa Swis, melalui konstitusinya, menyebut dirinya
sebagai konfederasi tetapi kalau ditilik lebih dalam negara itu sebenarnya
negara federal biasa.
Dewasa ini ada beberapa konfederasi supra nasional, yaitu Uni
Eropa,Caribbean Community and Common Market (Caricom – meliputi Antiguadan
Barbude, Bahamas, Barbados, Belize, Dominika, Grenade, Guyana,Jamaika, dll.),
dan Commonwealth of Independent States (CIS – meliputiArmenia, Azerbaijan,
Belarus, Georgia, Kazakstan, Moldeva, Ukraina,Uzbekistan, dll.)
Pengalaman federasi bukanlah hal yang baru dalam
pengaturan kehidupan masyarakat. Namun
teoritisasi mengenai federasi, terutama dalam bentuk modernnya, merupakan hal
yang relatif baru. Israel kuno telah menyusun struktur masyarakatnya dalam 12 bani, antara lain Bani Qainuqa, Bani
Nadhir, Bani Quraizhah.Pengalaman beberapa kawasan di Indonesia, juga
mengungkapkan telah berlangsungnya pengaturan politik yang bercorak federatif.
Dari Maluku Utara, misalnya, dahulu dikenal ada
4 kerajaan yakni Ternate, Tidore, Moti dan Makian. Ke-4 kerajaan
tersebut lahir karena wilayah gunung mereka ditumbuhi pohon cengkeh sehingga
akhirnya berkembanglah wilayah itu menjadi kerajaan-kerajaan. Karena kemudian
cengkeh menguasai perdagangan dunia, maka pada tahun 1257 dibentuklah
Konfederasi Maloko Kie Raha (Konfederasi empat kerajaan Maloko), yang merupakan
bentuk integrasi dari empat Kesultanan
yang ada di Maluku Utara itu, yakni Kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo
(Kerajaan Moti pindah ke Jailolo) dan Bacan (Kerajaan Makian pindah ke Pulau
Kasiruta dan menjadi Kerajaan Bacan). Keempat kesultanan itu dipimpin oleh 4
Sultan yang merupakan saudara sekandung di mana Sultan Ternate yang paling
kecil. Namun kemudian Kerajaan Ternate-lah yang menjadi pusat pemerintahan
Konfederasi Maloko Kie Raha. Ke-4 kesultanan tersebut bersekutu dalam wadah
konfederasi yang merupakan satu kerajaan Islam. Konfederasi tersebut dipahami
sebagai satu kontrak sosial dari kumpulan interaksi dan didalam nilai, badan
ini adalah satu misi moral. Pada
perkembangannya kemudian hanya Kesultanan Ternate dan Tidore saja yang yang
mampu melakukan ekspansi keluar Maluku Utara, contohnya seperti Tidore yang
melakukan ekpansi ke Seram dan Papua serta Ternate yang sampai ke Indonesia
bagian Tengah bahkan Philipina. Dalam perkembangan kesultanan selama tiga abad
(dari abad XIII sampai abad XVI) Kesultanan Ternate merebut hegemoni di Maluku
Utara dan kesultanan Jailolo, Tidore dan Bacan berada dibawah naungannya.
Kesultanan Ternate mencapai masa jayanya dibawah pemerintahan Sultan
Baabullah(1570-1583).
§ Perkembangan
Federasi dari Masa ke Masa
Bentuk federasi paling tua dapat ditemukan di benua Eropa, namun konsep
federasi baru muncul setelah dibentuknya federasi Amerika, ia dimunculkan
sebagai bentuk tengah kontestasi
negara-negara bagian. Amerika membentuk negara federasi pada akhir tahun 1787,
ketika para pembentuk konstitusi Amerika memilih pengaturan politik bercorak federatif sebagai bentuk negara
merdeka.
Pasca perang dingin, federasi muncul dan meluas sebagai tema penting.
Revolusi federal sedang melanda dunia,
demikian dikatakan Elazar, untuk menggambarkan hal di atas. Ini dikarenakan munculnya gerakan-gerakan
nasionalis serta muncul, meluasnya ketegangan etnik. Di Eropa, federasi muncul
untuk menegaskan identitas baik lokal maupun dalam kesatuan yang lebih luas dan
sebagai negosiasi untuk memecahkan masalah politik dan kekuasaan pada
masyarakat etno-regional. Di Afrika Selatan -- yang dibentuk hanya dalam waktu
24 jam setelah politik apartheid runtuh -- federasi dimaksudkan untuk
melahirkan pemerintah yang lebih adil.
Pengalaman yang diungkapkan berbagai
pengaturan federasi menunjukan sangat beragamnya makna federasi. Federasi dapat
dimengerti sebagai sistem kepentingan bersama, common defense,
sebagaimana Mongolia pada masa Jengis Khan. Dapat pula dimengerti sebagai bentuk
tengah antara konfederasi dan negara kesatuan, sebagaimana pengalaman Amerika
Serikat. Atau sebagai proyek khusus
menghadapi persoalan tertentu – seperti sejarah kehadiran federasi di
sejumlah Negara untuk mengakomodasi keunikan, bahasa, misalnya, seperti
terlihat dari pengalaman Papua, Aceh di Indonesia, Qubec di Canada,
dsbnya. Pengalaman sejumlah tempat
tersebut menunujukan adanya penerapan prinsip “desentralisasi asimetris” dengan
diberikannya otonomi khusus.
2.
Asal Muasal Federasi
Proses kehadiran federasi pun juga
beragam. Federasi Jerman terbentuk karena perubahan konstitusi yang dilakukan
oleh Sekutu ketika Jerman kalah perang
melawan Sekutu tahun 1948.
Federasi di India merupakan warisan kolonial (coloniallegacy), sejak
awal India didesain sebagai negara federasi oleh Inggris. Di Amerika Serikat,
federasi terbentuk sebagai kompromi antara kehendak konfederasi, bahkan
pembentukan Negara merdeka dengan hasrat sentralisasi yang kuat. Di Uni Soviet,
federasi terbentuk sebagai akibat dari perubahan konfigurasi politik menyusul
tumbangnya regim feodalisme. Sementara di Spanyol, federasi terbentuk sebagai
akibat perubahan konstitusi menyusul meninggalnya Franco sebagai symbol dari
kekuatan politik militer-represif yang sentralistik.
Federasi
berasal dari kata foedus yang berarti perjanjian. Johannes Althusius
(1562-1638) dalam bukunya Politica (1603, 1610) memformulasikan konsep federalisme sebagai
berikut:
On all levels the union (consociatio) is composed of the units of the
preceding lower level -- the
village was a federal of union of
families, the town a union of a guilds, the province a union of a towns,
villages, the kingdom or state a union of such provinces, and the empire a union of such states and free cities -- so
that when we arrive at the top, the members of a state (regnum) neither
individual persons nor families, guilds, or other such lower communities, but
only the provinces and free cities
Berbeda dengan konsep Althusian yang melihat federasi sebagai kumpulan provinces
dan free cities, konsep federasi Amerika memandang bahwa federasi
merupakan kumpulan individu warga negara.
Sebagai ideologi, federalisme mempercayai bahwa pengaturan ideal
urusan-urusan antar manusia adalah dengan melihat perbedaan dalam persatuan.
Dalam konteks ini, federalisme dikenal sebagai:
a)
Ideologi
pemusatan tanpa harus mempromosikan sentralisme, atau desentralisasi
b) Doktrin penyeimbang, sebagaimana
disebutkan Proudhon (bapak federasi modern) 250 tahun lalu, hanya federasi longgar yang dapat memberikan
solusi efektif terhadap masalah kunci dari organisasi sosio-politis
rekonsiliasi antara kekuasaan dan kebebasan. Ia merumuskan Negara Federal
ataupun federalisme sebagai:
·
penghalang
sentralisasi dan penyeragaman, sebaliknya menjadi pendorong distribusi kekuasaan
dan penjamin keanekaragaman
·
penakhluk
autoritarianisme sekaligus karib demokrasi
·
musuh
ketertinggalan ekonomi sekaligus sahabat kemajuan ekonomi.
·
senjata
pamungkas bagi ketimpangan sosial dan spatial sekaligus alat mempromosikan
keadialan sosial serta kesimbangan antar daerah.
Dicey, memperlebarnya dengan mengidentifikasi ide federal
sebagai penuh dengan cita-cita mencapai keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi, mencerminkan keinginan
masyarakat untuk persatuan tetapi bukan kesatuan (union but not unity).
Dalam konteks ini, ide federasi singkatnya adalah semacam kompromi yang
ditunjang oleh gambaran saling kontrol antara kesatuan dan perbedaan, otonomi
dan kedaulatan, nasional dan regional.
c)
Proyek
teritorial dan non teritorial dalam masyarakat multietnis.
3.
Prasyarat Federasi
Syarat menjadi federasi : perasaan nasional, sense of nationality diantara
negara bagian. Sense
nationality tersebut diwujudkan dalam persatuan bukan kesatuan. Sense atau feeling
ini bisa dibangun dengan adanya imajinasi – seperti diistilahkan Bennedict Anderson dengan imagine comunity-nya
-- atau cita-cita bersama.
Ciri
dasar federasi :
1. Negara
bagian terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik nasional
2. Adanya
sistem perwakilan wilayah di tingkat pengambilan keputusan nasional. Jumlah
wakil rakyat di Jerman untuk tiap negara bagian tidaklah sama, tergantung
jumlah penduduk, kontribusi negara, sejarah. Bavaria adalah negara bagian dari
Jerman yang paling banyak wakil rakyatnya, yaitu 5. Negara dengan kontribusi
yang sedikit hanya memiliki wakil 2 atau 3 orang saja.
3. Keputusan
masuk atau keluarnya negara bagian dalam suatu federasi dilakukan melalui
mekanisme politik yang rumit.
4. Adanya
kesatuan kekuasaan tertinggi yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa antar
negara bagian, Supreme Court di Amerika contohnya. Dan ini adalah
perbedaan fundamental bentuk negara
federal dengan kesatuan, setiap sengketa diselesaikan melalui mekanisme hukum
bukan secara politis.
5. Negara-negara
bagian disusun dalam suatu tingkatan
6. Masing-masing
negara bagian memiliki kostitusi sendiri
7. Adanya
supremasi konstitusi
8. Ada
distribusi kekuasaan federasi dengan negara bagian
Sampai dengan tahun 1990-an federasi seringkali dikontraskan dengan kesatuan, ini dikarenakan
negara kesatuan identik dengan
sentralisasi dan negara federasi identik dengan desentralisasi. Selain itu
negara federasi juga mulai mengadopsi elemen-elemen negara kesatuan, begitu
juga sebaliknya. Hans Linch (1997)
mengatakan dikotomi antara federasi dengan kesatuan adalah hal yang
tidak relevan, hampir semua negara kesatuan bergerak ke arah federal.
Dikotomi Negara kesatuan dan federasi hanya relevan ketika negara kesatuan
identik dengan sentralisasi dan negara federal dimaknai sebagai penyebaran
kekuasaan. Graham Smith menyatakan, satu dari sepuluh struktur negara federal
di dunia saat ini tidak bisa dibedakan lagi dengan struktur negara kesatuan.
Sehingga letak persoalannya adalah pada substansi dan prosedur pengelolaan
kekuasaan negara, apakah ia dikelola mengikuti prinsip desentralisasi
atau sentralisasi, bukan pada bentuk negara-federasi
atau kesatuan.
Kropotkin, seorang teoritikus
federasi, menyebutkan bentuk negara
kesatuan adalah inkarnasi setan, dikotori kepentingan borjuis, para nasionalis
yang anti segala hal berbau asing (xenopobhic). Ia merumuskan Negara
federal sebagai “malaikat penyelamat”. Sejumlah ahli menyimpulkan rata-rata
negara demokratis dan makmur adalah negara federal. Tetapi kesimpulan seperti
ini akan menyesatkan. Karena kesimpulan
semacam ini secara sengaja memilih sejumlah negara maju seperti Amerika
Serikat, Kanada, Jerman sebagai contoh kisah sukses negara federal. Sedangkan
negara dunia ketiga seperti Indonesia dipilih secara sengaja sebagai
representasi dari negara kesatuan.
Bekas negara Uni Soviet dan
Yugoslavia adalah contoh federasi yang tidak demokratis dan tidak makmur secara
ekonomi. Bahkan Duchacek menyebut negara-negara komunis tersebut sebagai
federasi-federasi palsu. Di kawasan Asia Tenggara, Myanmar tetap menjadi negara
otoriter dan terbelakang baik ketika berbentuk negara kesatuan maupun ketika
masih berbentuk federasi antara tahun 1947 dan 1974. Brasil, salah satu negara
di kawasan Amerika Latin, mengalami nasib yang sama. India adalah contoh negara
federal yang gagal dari sudut ekonomi sekalipun berhasil dari sudut
demokrasi.Tetapi sebutan palsu juga dapat diberikan pada negara kesatuan yang
sentralistik. Lebih lagi, pelabelan palsu tidak sendirinya menggugurkan
kenyataan bahwa bekas Uni soviet dan sejumlah negara di Eropa Timur lainnya
adalah negara federal
Pada saat bersamaan terdapat
banyak negara demokratis dan maju, misalnya Perancis, Inggris-sekalipun
sejumlah ahli menyebut Inggris sebagai varian
negara federal- dan Jepang yang juga merupakan negara kesatuan. Seorang
ahli Federasi, King, memperingatkan, “....kisah federasi berisi sama
banyaknya mengenai keberhasilan dan kehancuran”. Riker, seorang pemikir
federasi, di tahun 1964 mengingatkan, adalah kekeliruan ideologis untuk
mengkaitkan federasi dengan jaminan kebebasan, tanpa meneliti jenis hak dan
kebebasan budaya serta bagaimana hak dan kebebasan ini diterapkan secara sosial
maupun spatial.
Apa yang disebut sebagai
penyakit negara kesatuan yaitu sentralisasi dan penyeragaman bisa dengan mudah
ditemukan dalam negara federal, sama mudahnya pada negara kesatuan, bekas Uni
soviet adalah buktinya. Autoritarianisme juga bisa tumbuh subur di negara
federal seperti di banyak negara Amerika Latin. Sementara ketimpangan antar
kelompok dan daerah menjadi gejala di banyak negara, baik ia berbentuk federasi
atau kesatuan.
Asumsi ancaman separatisme atau
disintegrasi akan berlalu dengan diterapkannya bentuk negara federal lebih
sebagai mitos ketimbang realitas. Walaupun
Kanada selalu dirujuk sebagai salah satu contoh federasi yang stabil,
Kanada hingga kini tetap dihadapkan pada ancaman keluarnya Quebec melalui
referendum yang terus berulang. Padahal Kanada sudah memberlakukan prinsip
“asimetris” dalam format federasinya, yaitu Quebec diberi hak istimewa lewat
diterimanya penggunaan bi-lingual bahasa Inggris dan Perancis di seluruh sektor publik bahkan di lingkungan
perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 40 orang.
Hal yang sama juga dialami
Spanyol. Paska era kediktatoran Franco, pertengahan tahun 1970-an, Spanyol
memutuskan untuk menjadi negara federal. Disamping untuk kepentingan demokrasi,
langkah ini diyakini kan mengurangi hasrat warga Basque untuk menuntut
kemerdekaan.Tetapi tetap saja, perubahan menjadi negara federal tidak mengurangi
hasrat sebagian warga Basque untuk menuntut kemerdekaan. Gerakan
separatis ETA, sejak akhir Desember 1999 bahkan kembali angkat senjata setelah
24 bulan diam untuk meprjuangkan kemerdekaan Basque dari Spanyol. Awal Maret
2001, sejumlah tokoh belia mereka yang tergabung dalam “Haika” (Raising up)
ditangkap pihak kepolisian Spanyol. Sementara pemberontakan suku Karen di
Myanmar masih sama intensnya saat ini dibandingkan ketika ia berbentuk federasi
hingga tahun 1974.
Pada tingkat yang lebih
praktis, negara federal dianggap lebih unggul dalam memfasilitasi
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang lebih efisien kepada masyarakat.. Dalam konteks ini Newton
menyatakan, ”satu-satunya yang bisa kita simpulkan dengan penuh keyakinan
adalah bahwa di bawah kondisi-kondisi yang belum bisa dipahami sepenuhnya,
mungkin penguasa lokal bertindak lebih besar atau lebih kecil atau kurang
ekonomis”.
Federalisme juga bukanlah hal
yang statis, federalisme merupakan proses dan masih terus berproses. Bila
mencermati evolusi federalisme Amerika Serikat akan diketahui bahwa federalisme
di Amerika Serikat telah mengalami paling tidak 4 tahapan evolusi, dari “dual”
federalism atau “state mercantilism” (1790-1860), “a centralizing” federalism
(1860-1933), the new deals “cooperative” federalism hingga the
“creative” federalism yang muncul belum lama ini.
Rujukan pada Amerika Serikat sebagai
prototipe ideal federalisme – sebagaimana dikatakan Duchacek bahwa federasi
yang ideal bila dapat disejajarkan dengan model Amerika -- mengaburkan fakta
bahwa bentuk-bentuk federalisme sangat beragam. Data hingga tahun 1988
menunjukkan, sekitar 35% dari 185 negara didunia saat itu mengambil bentuk federasi. Tetapi
bentuknya sangat bervariasi, yang
mengambil bentuk federasi murni seperti Amerika Serikat (18 negara), federal
arrangement, seperti Inggris (17 negara), associated states seperti
Monaco terhadap Perancis (23 negara). Faktor sejarah, sosio kultural, sosio
ekonomi, sosio politik, geografi etnik akan mempengaruhi bentuk sebuah negara.
§ Bentuk Federal
Salah
satu genus federalisme yang kurang dikenal, tapi sesungguhnyan penting adalah
bentuk federasi. Jika di Indonesiakan
menjadi “federasi” –jadi sama dengan pengindonesiaan federation. Suatu federasi
adalah suatu susunan yang terdiri atas
suatu negara kecil secara konstitusional terikat dengan suatu negara besar (the
federate power) dalam cara asimetris. Didunia ini cukup banyak bentuk federasi. Dapat disebutkan di antaranya,Amerika
Serikat dengan Puerto Rico dan Northern Marianas, Denmark dengan Greenland dan
Faroe Islands, United Kingdom dengan Guernsey,Isle of Man, Jersey, India dengan
Kashmir, dan Portugal dengan Macao.Negara induk atau federate power dapat
berupa federal atau kesatuan.Sambil lalu, patut dicatat, Alfred Stepan (1999)
menganjurkan agar Indonesia membangun bentuk federasi dengan Aceh dan Papua.
Menilikisinya, Nota Kesepahaman RI-GAM juga mengarah ke bentuk federasi.
Masih dapat ditambahkan sebagai genus federalisme,
yaitu associatestate yang secara nominal berdaulat tetapi secara konstitusional
terikat dengan atau tergantung pada negara lain untuk tujuan-tujuan
tertentu,misalnya Monaco dengan Prancis, Republik Palau dengan Amerika
Serikat,dan San Marino dengan Italia. Yang terakhir condominium, yaitu negara yang
secara bersama-sama diawasi oleh dua negara atau lebih. MisalnyaPrancis dan
Spanyol atas Andorra.
§ Ciri-ciri Tambahan Negara Federal (Supremasi
hukum, non centralisasi, ada kekuasaan judicial review yang dipegang oleh MA atau MK)
Ketika
membandingkan negara federal dan negara kesatuan, telah dibahas ciri dasar
negara federal dan beberapa ciri tambahan yang menyertainya. Untuk mengulangi,
ciri dasar itu (istilah disesuaikan) adalah adanya pembagian kekuasaan antara
pemerintah nasional dan pemerintah unit-unit yang lebih rendah. Pembagian
kekuasaan itu dijamin dalam konstitusi, maka ciri tambahan negara federal
adalah supremasi konstitusi.
Sudah
dikemukakan pula, bahwa negara federal tidak mengenal “pemerintah pusat”,
seperti pada negara kesatuan. Jadi, non centralization
merupakan ciri tambahan lain bagi bentuk federal.Di luar itu dapat ditunjuk
pula sebagai ciri tambahan, yaitu adanya legislative dua-kamar dengan majelis
federal yang kuat untuk mewakili wilayah-wilayah yang membentuk federasi itu.
Wilayah atau unit yang membentuk negara federal diberi nama bermacam-macam,
seperti negara bagian (di Amerika Serikat, India, Australia, Malaysia, dan
Venezuela), provinsi (Kanada), canton (Swis), region atau wilayah (Belgia). Ciri lain adalah bersangkut paut dengan kekuasaan pengadilan untuk memutuskan
jikaterjadi konflik antara pemerintah federal dan pemerintah daerah –
yaitu,kekuasaan judicial review yang dipegang oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Berbeda degan negara
kesatuan, kehadiran kedua lembaga ini mutlak bagi negara federal.
C.F. Strong
(2004) hanya menunjuk tiga ciri negara federal, yaitu (1)supremasi konstitusi; (2) pembagian kekuasaan antara pemerintah federal
dan negara bagian; dan (3) suatu kewenangan tertinggi untuk menyelesaikan segala persengketaan yang mungkin timbul di
antara pemerintah federal danpemerintah negara bagian. Sebaliknya, Daniel J. Elazar (1995), seorang ilmuwan
yang banyak mendalami federalisme, menyebutkan enam prinsip dasar federalisme
yaitu (1) tidak tersentralisasikan
(noncentralization); (2)condong pada demokrasi; (3) membangun suatu sistem
checks and balances;(4) bekerja melalui proses tawar-menawar terbuka; (5)
mempunyai konstitusi tertulis; dan (6) adanya unit-unit yang pasti (fixed
units).
Dikatakan
bahwa demokrasi federal bersandar pada suatu sistem checks and balances. Negara
harus disusun sedemikian rupa sehingga setiap institusi dicek/dikoresi dan
diimbangi oleh institusi-institusi lain yang mempunyai kekuasaan konstitusional
dan yang cukup otonom untuk menopang dirinya secara politik dan sosial.
Sementara prinsip fixed units berhubungan dengandemarkasi atau batas pemisah
dalam negara yang harus ditetapkan secarakonstitusional. Pemisahan dapat
bersifat teritorial, consociational, ataukeduanya.
C.
Negara
Federal dari Segi Proses Pembentukannya
Sering
kita membayangkan bahwa suatu negara federal terbentuk melalui proses sebagai
berikut: Sejumlah negara berdaulat secara sukarela berkumpul dengan tujuan
menyatukan diri tetapi berkeinginan untuk tetap mempertahankan sebagian
kekuasaan masing-masing sebagai syarat penyatuan itu. Setelah melalui
perundingan mereka pun sepakat bergabung dalam sebuah negara federal. Proses
inilah yang memang dilalui oleh Amerika Serikat – negara federal pertama di
dunia. Suatu kompromi yang cerdas dan pragmatis di antara negara-negara yang
bersaing di satu pihak dan kebutuhan untuk bersatu dan bekerja sama di lain
pihak. Kompromi itu dicapai dalam Konvensi Tahun 1787.Tidak semua negara
federal melalu proses ini, karena negara federalpun dapat dibentuk oleh
negara-negara merdeka dan berdaulat sebelumnya. Selain AmerikaSerikat, yang
melalui proses ini adalah Swis dan Australia. Sebagian yang lain memutuskan menjadi federal setelah melihat bahwa
keberagaman masyarakatnya terancam kelanggengannya jika tetap bertahan sebagai negara
kesatuan. Contohnya Belgia. Negara ini berbentuk kesatuan dan tersentralisasikan
untuk jangka waktu yang lama. Sejak 1970, Belgia secara berangsur-angsur
bergerak menuju desentralisasi dan federalisme. Dan baru pada 1993 Belgia
secara resmi menjadi negara federal.
Hampir sama dengan Juan J. Linz (2001), Alfred
Stepan (1999) menamai negara federal yang dihasilkan oleh proses pertama
sebagai coming-together-federalism atau federalisme berkumpul-untuk bersatu. Sedangkan
hasil dari proses kedua disebutnya sebagai holding-together-federalism atau
federalisme mempertahankan-kebersamaan. Ditambahkan suatu federalisme jenis
lain yang disebutnya putting-together-federalism atau federalisme
memaksakan-kebersamaan yang tidak demokratis seperti USSR.
D. Negara Federal Simetris dan
Asimetris
Negara
federal juga dapat dibedakan dari segi apakah kompetensi atau wewenang
unit-unit yang menyusun negara federal itu seragam atau tidak.Jika seragam,
yang berarti semua unit lebih kecil menikmati kekuasaan yang setara dan mempunyai
suatu hubungan serupa dengan pemerintah federal,maka negara federal itu disebut
simetris. Sebaliknya, jika tidak seragam,yang berarti bahwa ada satu unit atau
lebih yang diberi wewenang khususyang tidak diserahkan kepada unit-unit
selebihnya, maka negara federal itu disebut asimetris. Jenis federacy, seperti
yang telah dibicarakan ini adalah federalisme asimetris karena unit yang lebih
kecil jelas mempunyai kedudukan yang berbeda dibandingkan dengan unit-unit lain
dari negara induk (the federate power).
Negara
federal klasik, seperti Amerika Serikat, biasanya bersifat simetris.
Federalisme klasik ini dianggap tidak cukup sensitif terhadap kebutuhan
kultural yang khas dan kebutuhan-kebutuhan lain dalam suatu komunitas tertentu.
Tidak mengherankan jika sejumlah negara federal,seperti Swis, Kanada, India,
dan Rusia, memilih bentuk yang asimetris. Model federal seperti ini dengan
sendirinya tidak diperlukan jika tujuannya hanya untuk mengakomodasikan satu
atau dua kelompok minoritas. Dalam situasi yang demikian cukup diterapkan
bentuk federacy bagi kelompok minoritas yang bersangkutan.Belgia merupakan
contoh negara federal asimetris dengan susunan yang sangat rumit. Susunan
federalnya berlapis dua : lapis pertama terdiri atas tiga region (wilayah) yang
dibatasi secara geografis – Flander,Wallonia, dan ibu kota Brussel yang
bilingual, sedang lapis kedua terdiri atas dua komunitas yang berbahasa Belanda
dan berbahasa Prancis dan komunitas berbahasa Jerman yang jumlahnya jauh lebih
kecil. Setiap region dan komunitas mempunyai legislatif dan eksekutifnya
sendiri, kecuali bahwa pemerintah komunitas Flander yang berbahasa Belanda juga
bertindak sebagai pemerintah untuk region Flander.
E.
Unitarisme
(Kata Kunci: peranti asimetri, otonomi, otonomi khusus, kriteria
unitarisme, masyarakat multicultural)
Berbeda
dengan negara federal, bentuk unitarisme tidak mengenai pembagian kekuasaan
antara pemerintah pusat dan pemerintah unit yang lebih rendah. Pemerintah pusat
memegang kedudukan tertinggi dan memiliki
kekuasaan penuh dalam pemerintahan di seluruh negara tanpa adanya batasan
konstitusi yang memberikan kekuasaan kepada unit-unit pemerintahyang lebih
rendah. Dalam negara kesatuan pemerintah pusat dapat, dan biasanya melimpahkan kekuasaan kepada unit-unit yang lebih rendah. Namun
pelimpahan itu tidak oleh konstitusi, melainkan melalui undang-undang yang
sekurang-kurangnya di atas kertas, setiap saat dengan mudah dapat ditarik
kembali. Jadi, bagaimanapun besarnya kekuasaan yang dilimpahkan, kekuasaan
tetap sepenuhnya di tangan pusat. Sekadar untuk menegaskan kembali, maka dapat
disimpulkan sebagai ciri tambahan unitarisme, yang bersumber pada ciri
dasarnya, yaitu tidak adanya pembagian
kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah, yang ada adalah adanya : (1)
kekuasaan eksekutif dan legislatif yang terpusat dan (2)kekuasaan itu tidak
dapat dibagi dengan unit yang lebih rendah. Kedua ciri tambahan itu oleh C.F.
Strong—baginya, ini merupakan sifat penting negara kesatuan—disebut sebagai
supremasi parlemen pusat dan (3) tidak adanya badan-badan berdaulat tambahan.
Ciri-ciri
unitarisme yang disebutkan di atas tampaknya perlu diberi kualifikasi lebih
lanjut. Dalam perkembangan kehidupan ketatanegaraan dewasa ini terlihat ada
kecenderungan negara-negara unitaris untuk mengadopsi institusi-institusi
independen, tidak terkecuali institusi-institusiyang aslinya ditemukan dalam
presidensialisme yang federal seperti lembaga judicial review dan bank sentral
yang independen-terutama jika diangkat sebagai ketentuan konstitusi, sedikit
banyaknya akan mengikis supremasi parlemen, misalnya: dapat ditambahkan pula,
negara-negara kesatuan yang multikultural dan multietnis, demi
mempertahankan“kesatuan”nya seringkali harus memberi konsesi yang bersifat federal - dan
hal ini berarti melemahkan unitarisme negara itu.
F.
Bentuk
Negara Kesatuan
Semua
negara yang dapat disebut sebagai unitaris di dunia satu sama lain mempunyai
perbedaan yang sangat besar dipandang dari segi hubungan konstitusional dan
institusional antara pemerintah pusat, regional, dan lokal. Negara-negara itu
berbeda, misalnya, dari segi luasnya wewenang pemerintahan yang dilimpahkan dan
pada tingkat mana bobot otonomi diberikan. Tetapi negara-negara itu juga dapat
berbeda dalam banyak hal lain sehingga praktis sukar diklasifikasikan.Setiap
negara kesatuan boleh dikatakan mempunyai keunikannya sendiri (Gavin Drewry,
1995). Prancis, misalnya, yang mempunyai tradisi unitaris yang sangat kuat,
menggunakan jaringan “pengawas” (prefect) yang diangkat secara sentral untuk
mengawasi pejabat daerah. Pada awal 1980-an
terlihat adanya desentralisasi kekuasaan dari prefect ini kepada
kekuasaan lokal tetapi tidak sampai
pada tingkat mengubah sifat kesatuan Negara Prancis. Di sisi lain, Inggris memberi
suatu variasi lain yang aneh. Dari Tahun 1920 sampai Tahun 1973 lingkungan
khusus Irlandia Utara diakomodasikan dengan suatu susunan kuasi-federal
sehingga provinsi itu mempunyai eksekutif dan legislatif yang setengah berjarak
dengan kekuasaan besar. Sementara itu Skotlandia
dan Wales merupakan bangsa di dalam bangsa – tunduk pada kekuasaan pemerintah
Inggris dan Parlemennya tetapi dengan susunan administratif berbeda melalui
kementerian teritorial. Seperti telah disinggung sebelumnya, Inggris juga mempunyai
tiga federasi.
·
Bentuk
Asimetri dalam Unitarisme
Mengkaji tentang keunikan
unitarisme Inggris mengantarkan kita ke dalam masalah penerapan peranti/bentuk
asimetri dalam negara kesatuan. Seperti terlihat, Inggris banyak memakai
peranti itu dalam susunan ketatanegaraannya. Inggris mempunyai tiga federasi,
sementara untuk Skotlandia dan Wales berlaku susunan administratif tersendiri.
Malah,asimetris itu terlihat sampai sejauh melimpahkan kekuasaan yang
setidaknya secara teknis berwujud pemerintahan sendiri bagi Irlandia Utara.
Inggris pun terkesan lebih menyerupai negara federal sehingga timbul
pertanyaan: Apakah United Kingdom masih layak disebut negara kesatuan?Jawaban
atas pertanyaan itu harus dikembalikan kepada criteria unitarisme. Sejauh ini
semua pelimpahan kompetensi itu bersumber dari keputusan Parlemen Westminster
dan tak kurang pentingnya penyelenggaraannya pun tetap di bawah pengawasan
Westminster. Hasil legislasi untuk hal-hal tertentu di Irlandia Utara,
misalnya, mensyaratkan persetujuan Menteri Urusan Irlandia Utara dan Parlemen.
Dengan demikian,dapat disimpulkan bahwa United Kingdom tetap unitaris betapapun
besarnya wewenang khusus yang diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Meskipun
begitu ada catatan kecil. Berbagai keputusan Westminster dalam soal ini sebetulnya
lebih didorong oleh tuntutan masyarakat setempat sehingga pemberian status
khusus itu dapat dipandang sebagai semacam perjanjian yang kedudukannya
setingkat dengan konstitusi. Lebih lanjut, juga cukupberalasan untuk mengatakan
apa yang disebut sebagai supremasi Westminster di sini, dalam banyak hal, lebih
merupakan persetujuan proforma.
Pembahasan
kasus Inggris di atas bertalian dengan batas-batas penerapan peranti asimetri
dalam negara kesatuan. Dalam federalisme,penerapan peranti itu boleh dikatakan
sesuai dengan logika federalisme, sungguhpun bukannya tak ada persoalan di situ,
yaitu konflik antara hak-hak dan kesetaraan individu versus hak-hak dan
nilai-nilai kolektif. Bagaimana jika dalam unitarisme? Sampai sejauh mana
peranti asimetri itu dapat diterapkan dalam susunan ketatanegaraan unitaris
yang biasanya dianggap menekankan keseragaman atau kesatuan dalam pemerintahan
dan hukum? Pertanyaan paling pokok, yang juga berlaku dalam federalisme, sampai
dimana otonomi kultural, misalnya, dapat “membelakangi” hak-hak individu yang
diakui oleh konstitusi? Pertanyaan itu
terlampau pelik untuk dijawab disini. Tetapi apapun jawabannya, satu hal yang
pasti: prinsip asimetri merupakan peranti yang ampuh dan kadang-kadang
diperlukan untuk menyelesaikan konflik dalam masyarakat multikultural.
Indonesia
sendiri sejak awal telah menerapkan peranti asimetri dalam susunan
ketatanegaraannya yang memberikan status istimewa kepada daerahYogyakarta.
Dalam perjalanannya kemudian, status khusus juga diberikan kepada Nanggroe Aceh
Darussalam dan Papua. Peranti asimetri ini merupakan pengejawantahan Pasal 18
UUD 1945 asli yang mengakui “hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa”. Dengan sedikit perubahan, hasil amandemen UUD 1945 masih
mempertahankan prinsipasimetri itu dalam bab Pemerintahan Daerah. Dipandang
dari sudut kepentingan masyarakat multikultural, ketentuan UUD 1945 tersebut
patut dihargai sebagai suatu penemuan yang cerdas dari Founding Fathers Indonesia.
Berkumpul untuk Mempertahankan dan Memaksakan Hidup bersama dalam kebersamaan
yang penuh keragaman.
II.
Bentuk & Sistem Pemerintahan
A.
Pengantar
Sesuai
dengan uraian di muka, segera dapat dirumuskan di sini bahwa“bentuk pemerintahan”
berbicara tentang struktur kekuasaan negara dari segi relasi antara
cabang-cabang pemerintahan yang ditentukan oleh konstitusi,khususnya relasi
antara eksekutif dan legislatif. Dengan kata lain, relasi eksekutif-legislatif
merupakan esensi dari “bentuk pemerintahan”. Relasi atau interaksi itu berbeda pada setiap negara yang tentu
saja hanya dapat dipahami secara mendalam dengan mengkaji pula sistem kepartaian
negara itu, termasuk sistem pemilihan yang dianutnya. Tetapi titik berat
pembicaraan sekarang hanyalah pada ciri-ciri umum setiap jenis “bentuk
pemerintahan” yang ada dalam praktek demokrasi di dunia.
Bentuk
pemerintahan pada dasarnya menekankan relasi yang berbeda antara eksekutif dan
legislatif dalam dua jenis bentuk pemerintahan: dalam hal eksekutif bertanggung
jawab terhadap legislatif, dan karena itu tergantung pada, legislatif maka kita
memperoleh pemerintahan parlementer, sedangkan sebaliknya kemandirian kekuasaan
eksekutif terhadap legislatif merupakan ciri khas pemerintahan presidensial.
Kedua jenis hubungan ini dapat dianggap sebagai
bentuk dasar dalam sistem pemerintahan demokrasi. Hampir semua negara demokrasi
di dunia boleh dikatakan cocok dengan salah satu di antara kedua bentuk dasar
tadi : parlementer atau presidensial. Contoh klasik bentuk parlementer
adalahInggris yang terkenal dengan sebutan model Westminster – disebut
begitu,karena parlemen Inggris bersidang di gedung Istana Westminster. Contoh klasik
bentuk presidensial adalah model Amerika Serikat, yang juga dapat disebut
sebagai model Washington.
Di luar kedua bentuk dasar tadi, bentuk-bentuk
antara juga dikenal yang dikategorikan sebagai bentuk campuran atau cangkokan
karena mencampurkan atau mencangkokan parlementarisme dan
presidensialisme.Sering disebut sebagai bentuk pemerintahan semi-presidensial.
Secara sangat longgar, di bawah rubrik ini dapat dimasukkan Austria,
Iceland,Irlandia, Prancis, Portugal, Sri Lanka, dan Finlandia. Yang melakukan pencangkokan
secara “paripurna” adalah Republik Kelima Prancis dan karena itu dijadikan
model bagi semi-presidensialisme.
Bentuk
pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 yang Asli, menerapkan pula
sejenis presidensialisme yang unik, yaitu presiden yang tidak dipilih langsung
oleh rakyat tetapi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Meskipun telah ditinggalkan
melalui Amandemen UUD ‘45, bentuk ini akan dibicarakanpula di bawah kategori
semi-presidensialisme.
Suatu
model lain yang diangkat oleh, dan boleh dikatakan penemuan,seorang ilmuwan
keturunan Belanda Arend Lijphart, dikenal dengan nama model demokrasi
consociational atau model konsensus. Model ini padadasarnya parlementer, dan
memang negara-negara yang menerapkannya,yaitu Belgia, Austria, dan Swis,
sebelumnya dengan begitu saja ditempatkandi bawah rubrik parlementer. Tetapi
berbeda dengan model Westminster yang didasarkan pada prinsip mayoritas, model
konsensus didasarkan pada prinsip powersharing – dalam hal ini, para elite
secara sadar memilih kerjasama untuk mengimbangi pembelahan negara dan
subkultur berbeda.
B.
Beberapa Model Bentuk Pemerintahan
1. Parlementarisme
Sejarah
parlementarisme bertalian erat dengan sejarah transformasi monarki-monarki di
Eropa, khususnya di Inggris (baca: the United Kingdom). Di Inggris, proses
transformasi itu berlangsung secara relative tenang, perlahan-lahan dan
bertahap yang kemudian sampai pada bentuk parlementarisme yang dikenal seperti
sekarang. Selain prosesnya evolusioner, sistem pemerintahan ini tidak bersumber
dari suatu gagasan pemikir besar dan bukan pula hasil kesepakatan yang
dituangkan dalam suatu konstitusi tertulis – bahkan Inggris hingga sekarang
tidak mengenal konstitusi tertulis.
Dalam garis besarnya, proses transformasi itu
berlangsung dalam tiga tahap, sekalipun peralihan dari satu tahap ke tahap yang
lain tidak selalu tampak dengan jelas (Douglas V. Verney, 1963). Tahap Pertama : Pada tahap ini, sering disebut sebagai tahap monarki absolut, dimana
raja memerintah secara mutlak dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
keseluruhan sistem politik. Apa yang disebut pemerintah tidak lebih adalah
sekretaris-sekretaris yang membantu raja dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Jika kemudian terdapat semacam “majelis” hanyalah dimaksudkan untuk mengetahui
pendapat umum dan untuk mencari dukungan, khususnya dukungan finansial bagi
kebijakan luar negeri sang raja.
Tahap
Kedua : Lambat-laun majelis tadi memiliki posisi tawar
yang lebih besar sehingga sanggup mengklaim yurisdiksi bagi dirinya sebagai kekuasaan
legislatif yang berbeda dari kekuasaan eksekutif raja. Untuk selanjutnya raja
pun semakin tergantung pada suatu eksekutif dan pada kemauan baik majelis. Di
Inggris, pada 1667 Raja Charles II memilih lima penasehat utama atas
pertimbangan kemampuan mengontrol suara di Majelis Rendah. Di sini kita berada
pada fase monarki konstitusional.
Tahap
III :
Tradisi menyeleksi penasehat-penasehat yang juga sebagai kepala-kepala
administrator di antara para anggota majelis yang berpengaruh terus berlangsung
dan akhirnya majelis mengambil alih tanggung jawab pemerintahan dan bertindak
sebagai sebuah parlemen. Sementara itu sang raja kehilangan kekuasaan
eksekutifnya yang diambil alih oleh para menteri yang menganggap majelis yang
berdaulat. Para menteri semakin tergantung pada majelis dan berhenti ketika
majelis menarik kepercayaannya.
Pengangkatan Sir Robert Walpole pemimpin partai Whig
sebagai menteri pertama pada 1721 di Inggris membuat preseden bahwa perdana
menteria dalah pemimpin mayoritas. Monarki pun berubah menjadi monarki parlementer.
§ Beberapa ciri parlementarisme
a) Peleburan
Kekuasaan
Pada akhir abad ke-18, pemerintahan
parlementer memperoleh bentuknya yang kurang lebih seperti yang dikenal
sekarang ini. Bentuk pemerintahan ini memiliki ciri-ciri tertentu, tetapi di
atas segalanya, sifat dasar dari
parlementarisme adalah peleburan
kekuasaan atau fusion of powers untuk dibedakan dari pemisahan kekuasaan
atau separation of powers yang merupakan sifat dasar presidensialisme. Dalam
parlementarisme berlaku ungkapan parlemen yang berdaulat – “parliamentis
sovereign”. Jadi sistem parlementer tidak memperkenankan suatu pemisahan antara
parlemen dan pemerintah (Giovanni Sartori, 1997).Secara konkrit peleburan
kekuasaan itu terwujud melalui kenyataan bahwa yang ditunjuk menjadi perdana
menteri adalah juga pemimpin dari partai atau koalisi mayoritas dalam parlemen.
Perdana menteri lalu menyusun kabinet yang terdiri atas rekan-rekan separtai
atau sekoalisi dan selanjutnya secara kolektif bertanggung jawab kepada parlemen.
Karena afiliasi partai atau koalisi yang sama, perdana menteri dapat berharap
kepada rekan-rekan separtai atau sekoalisi dalam parlemen untuk mendukung
kebijakan pemerintah dan menerjemahkannya ke dalam legislasi. Di Inggris ada
semacam konvensi bahwa anggota kabinet harus pula anggota parlemen– majelis
rendah atau majelis tinggi. Dalam kasus ini maka semakin sukar melihat
batas-batas antara eksekutif dan legislatif. Lagi pula, perlu disadari bahwa,
dalam model Westminster, istilah parlemen dapat berarti luas, yaitu meliputi
pemerintah, yaitu perdana menteri bersama kabinetnya. Jadi ungkapan parlemen
berdaulat menunjuk kepada Parlemen secara keseluruhan, yang mencakup
anggota-anggota pemerintah.
Kepala Negara terpisah dari Kepala
Pemerintahan. Dalam pemerintahan parlementer “eksekutif” dipecah menjadi dua
bagian, yaitu seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan dan raja
dalam monarki atau presiden dalam republik bertindak sebagai kepala negara.
Biasanya raja menduduki singgasananya melalui gelar yang diwarisi(di Malaysia,
pada tingkat federal, Raja dipilih di antara raja-raja negara bagian),sementara
presiden dipilih oleh parlemen atau parlemen plus.
Berbeda
dengan perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen,kedudukan kepala
negara tidak dapat diganggu gugat. Sering dikatakan bahwa kepala negara hanya
menjalankan peran seremonial dan simbolik, tetapi sebetulnya kepala negara,
khususnya raja-raja konstitusional, masih mempunyai prerogatif penting
sungguhpun pada umumnya tidak lagi menggunakannya. Malah secara tak terelakkan
kepala negara sering mengambil peran menentukan dalam suatu situasi
krisis,seperti beberapa kali terjadi di Thailand.
Salah satu fungsi kepala negara adalah
menunjuk (calon) kepala pemerintahan untuk menyusun kabinetnya. Tentu saja,
dalam menjalankanfungsi ini, kepala negara terikat pada hasil pemilihan umum
dan mesti menunjuk partai pemenang. Tetapi persoalannya tidaklah sesederhana
itu dalam hal hasil pemilihan umum menunjukkan tidak ada partai yang memperoleh
mayoritas mutlak. Situasinya semakin runyam jika yangdihadapi suatu sistem
multi-partai yang terfragmentasi sehingga kepala negara terpaksa menggunakan
kebijaksanaannya sendiri dalam menentukan(calon) kepala pemerintahan – meskipun
pada akhirnya parlemen juga yangmemutuskannya.
b)
Kabinet Bersifat Kolektif atau Kolegial
Para
menteri secara resmi diangkat oleh kepala negara, tetapi prinsipnya tetap
perdana menteri seorang diri yang bertanggung jawab atas komposisi dan
personalia kementerian – yang satu dan lain hal harus memperhatikan pendapat
partainya atau partai-partai yang diajak berkoalisi. Meskipun begitu, kabinet
dalam parlementarisme bersifat kolektif ataukolegial, yang berarti semua
keputusan diambil secara bersama. Para anggota kabinet secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri juga bertanggungjawab kepala parlemen – jadi, dalam
parlementarisme dikenal pertanggungjawaban menteri.Dengan sifat kabinet yang
kolektif itu, seorang perdana menteri lebih dianggap sebagai primus inter pares
– orang pertama di antara sesame rekan.
Dalam
prakteknya, seperti ditunjukkan oleh Margareth Thatcher,seorang perdana menteri
yang kuat dapat berperilaku sebagai orang pertama di atas sesama rekan.
Prinsip bahwa kabinet, yaitu perdana menteri dan
para menterinya,diperlakukan sebagai satu kolektivitas erat hubungannya dengan
sejarah parlementarisme: penyerahan kekuasaan eksekutif yang monarkis kepada suatu
dewan menteri (kabinet) berarti bahwa seorang pribadi tunggal, dalam hal ini
raja, diganti suatu badan kolektif (Douglas V. Verney, 1963). Tetapi terlepas dari keterangan ini, sesungguhnya
inner logic dari parlementarisme itu sendiri mengharuskan kabinet bersifat
kolektif: seseorang dapat menjadi menteri bertalian dengan dukungan dalam
parlemen, apalagi jika sang menteri juga seorang anggota parlemen.
c)
Eksekutif Bertanggung Jawab kepada
Legislatif
Secara
khusus soal ini perlu dibicarakan tersendiri sebagai ciri khusus parlementarisme.
Dengan tanggung jawab itu berarti bahwa eksekutif tergantung pada kepercayaan
legislatif dan dapat dipaksa mengundurkan diri dari jabatannya oleh suatu mosi
tidak percaya legislatif dan pada gilirannya kepala negara menunjuk seorang
(calon) perdana menteri baru.
Dalam
suatu sistem multipartai dan eksekutif merupakan cabinet koalisi, dapat
dibayangkan betapa mudahnya kedudukan pemerintah digoyahkan oleh suatu
perpecahan dalam koalisi. Masalahnya jika kemudian ternyata suatu koalisi baru
sukar terbentuk sehingga kekosongan pemerintahan berlarut-larut. Untuk
mengatasi masalah ini, di Jerman diperkenalkan apa yang disebut “mosi tidak
percaya konstruktif” yang mewajibkan setiap mosi sekaligus menyertakan
kesepakatan koalisi baru.
Sebaliknya, dalam suatu sistem dua-partai, seperti
Inggris, dan terlebih-lebih dalam sistem kepartaian dengan satu partai yang
memegang hegemoni dalam setiap pemilihan, seperti India dan Jepang di masa
lalu,maka perubahan pemerintahan sering sukar terjadi. Situasi seperti ini
seringdituding sebagai kediktatoran partai – suatu tudingan yang
agaknyaberlebihan karena kekuasaan partai tetap bersifat kolektif dan
kepemimpinanpartai dapat berubah. Selain itu tingkat otonomi anggota partai
tetap adasehingga memungkinkan mereka sewaktu-waktu bersikap lain
daripartainya.
d)
Kepada Eksekutif Dapat Mengusulkan
Pembubaran Legislatif
Jika
kabinet dapat diturunkan oleh parlemen melalui mosi tidakpercaya, sebaliknya
sebagai imbangan, dalam parlementarisme, perdanamenteri dapat merekomendasikan
kepada kepala negara untukmembubarkan parlemen dan mengumumkan suatu percepatan
pemilihanumum. Kekuasaan pemerintah untuk meminta pembubaran parlemenmerupakan
salah satu ciri khas parlementarisme. Tetapi, bagaimanapun,pimpinan partai yang
berkuasa harus mempertimbangkan untung rugi suatupemilihan umum yang dipercepat
– yang biasanya memperhatikan hasiljajak pendapat umum.
Pembubaran
parlemen itu sebetulnya berarti pula pembubaranpemerintah. Dalam suatu situasi
pemerintah kehilangan dukungan diparlemen, pemerintah memilih salah satu di
antara dua: mundur ataumeminta pembubaran parlemen. Tetapi pembubaran itu mencakup
pulapemerintah – sungguhpun pemerintah masih dalam kedudukan demisionersebelum
parlemen baru terbentuk. Dengan kata lain, situasi konflikeksekutif-legislatif
diserahkan kepada para pemilih untuk menyelesaikannya.Partai yang Kalah Menjadi
OposisiIstilah oposisi dan partai oposisi dalam pemakaian sehari-haridianggap
bukan hukum parlementarisme. Tetapi dipandang dari segirancang-bangun peleburan
kekuasaan, yang berhadapan dalam parlemenadalah antara partai yang berkuasa
versus partai minoritas atau, dengan katalain, antara pemerintah versus partai
oposisi. Situasinya berbeda denganlogika rancang-bangun pemisahan kekuasaan. Di
sini yang berhadapanadalah institusi versus institusi, atau lebih tepatnya,
institusi kepresidenanversus institusi legislatif.
Dalam
model Westminster, partai minoritas disebut sebagai oposisiloyal, sebuah
istilah yang berasal dari sejarah Inggris, yang berarti bahwasungguhpun suatu
partai politik tidak setuju terhadap kebijakan partaimayoritas, partai itu
tetap setia kepada mahkota dan negara. Dengan katalain, kedudukan sebagai
oposisi mendapat tempat terhormat dalam konstitusiuntuk mengawasi pemerintah.
Pelembagaan oposisi dalam modelWestminster adalah sedemikian rupa sehingga ada
pengaturan tempat dudukdalam Majelis Rendah: Pemerintah dan Oposisi duduk
berhadap-hadapanyang masing-masing diberi tempat di sisi kanan dan kiri
pimpinan majelisdengan para pemimpin partai mayoritas dan para pemimpin partai
oposisiduduk di bangku depan. Dalam menjalankan perannya, oposisi
membentuk“kabinet bayangan” sebagai mitra-tanding kabinet dan sebagai persiapan
jikatercipta peluang untuk mengambil alih kekuasaan.
2. Presidensialisme
Sejarah
pemerintahan presidensial tidak dapat dilepaskan dari sejarah demokrasi di
Amerika Serikat. Tetapi berbeda dengan sejarah parlementarisme yang merupakan
hasil suatu evolusi, orang-orang Amerika menciptakan suatu sistem baru sebagai
hasil suatu revolusi. Adalah penting untuk diingat pula bahwa presidensialisme
Amerika tidak diciptakan, sepertihalnya parlementarisme
Inggris, sebagai tanggapan terhadap feodalisme dan sejarah monarki. Para
penyusun konstitusi Amerika, dengan menggunakan prinsip-prinsip demokratis,
menciptakan suatu sistem sebagai tanggapan terhadap pengalaman buruk mereka
sebagai jajahan. Mereka juga sedikit banyaknya turut diwarnai oleh kekhawatiran
akan suatu tirani mayoritas yang membahayakan negara-negara bagian maupun
kebebasan individu.
Dengan
latar belakang seperti itulah model Washington lahir yang kemudian banyak ditiru bangsa-bangsa lain,
khususnya di Amerika Latin.Bentuk pemerintahan ini adalah penemuan para
delegasi dalam Konvensi Konstitusi Amerika yang berlangsung pada 1787. Sebagian
besar delegasi mengagumi bentuk pemerintahan Inggris yang waktu itu boleh
dikatakan mempraktekkan pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif,
danyudikatif. Ketika itu Inggris masih berada pada tahap kedua transformasi monarkial
atau fase monarki konstitusional. Walaupun para delegasi itu berupaya menyamai
kebajikan konstitusi Inggris, suatu monarki jelas bukan pilihan mereka.
Menghadapi kebingungan dengan masalah eksekutif ini,mereka bergulat hampir dua
bulan sebelum sampai pada pemecahan berupa bentuk pemerintahan presidensial
yang dikenal dewasa ini (Robert A. Dahl,2000).
Para
peserta Konvensi 1787, tentu saja, tidak pernah membayangkan bahwa monarki
konstitusional Inggris yang mereka kagumi ternyata mengalami perubahan drastis
dan berkembang menjadi monarki parlementer. Sebetulnya para penyusun Konstitusi
1787 hampir memutuskan untuk menciptakan suatu sistem yang lebih parlementer daripada
presidensial melalui kerangka Virginia Plan. Rancangan konstitusiini memasukkan
pemilihan “presiden” oleh legislatif nasional untuk jangka waktu tertentu.
Konvensi sempat memungut suara sampai tiga kali dengan hasil mendukung usul
itu. Tetapi akhirnya keputusan final Konvensi adalah menyerahkan pemilihan
presiden kepada suatu electoral college.
§ Beberapa Ciri Presidensialisme
a)
Pemisahan Kekuasaan
Sering
dikatakan, dan hal ini dianut oleh tidak sedikit ilmuwan, termasuk di Amerika
Serikat sendiri, bahwa pemerintahan presidensial didasarkan pada prinsip dasar
pemisahan kekuasaan atau separation ofpowers yang berbeda dan dihadapkan pada
prinsip peleburan kekuasaanatau fusion of powers pada parlementarisme. Penamaan
ini yang bersumber pada teori Montesquieu yang turut mengilhami para penyusun
konstitusi Amerika Serikat masih perlu diklarifikasi. Dalam teori mungkin dapat
dibayangkan suatu trias politica yang terpisah, tetapi dalam praktek di dalam masyarakat
yang kompleks suatu pemisahan seperti itu merupakan suatu kemustahilan.
Dalam
kehidupan politik nyata, berbagai cabang kekuasaan harusdikoordinasikan dan
tidak terelakkan terjadinya tumpang tindih. Di AmerikaSerikat, presiden
menjalankan kekuasaan legislatif ketika menandatanganiatau memveto rancangan
undang-undang yang dikirim oleh Kongres.
Sebaliknya, Kongres menjalankan kewenangan eksekutif
ketika meratifikasi perjanjian internasional dan mengkonfirmasikan pengangkatan
pejabat. Contoh Kasus yang ironis : di
daerah / provinsi NTT bahkan DPRDnya
membantu menyalurkan dana Bansos yang kemudian menuai kritik dan masalah.
Selain
itu kekuasaan Mahkamah Agung untuk menyatakan suatu undang-undang atau tindakan
eksekutif sebagai inkonstitusional pada dasarnya merupakan perembesan ke dalam
kegiatan legislatif dan eksekutif. Sebaliknya, sidang impeachment oleh Kongres
berarti memasuki suatukekuasaan yudikatif.
Jadi,
sebetulnya, tidak ada pemisahan kekuasaan yang sering digambarkan sebagai sifat
dasar presidensialisme. Yang ada adalah pemisahan institusi yang berbeda dengan
peleburan kekuasaan (dalam hal ini antara legislatif dan eksekutif) yang
merupakan sifat dasar parlementarisme. Pemisahan institusi ini mempunyai
implikasi - implikasi,negatif maupun positif, terhadap bekerjanya sistem
presidensialisme.
b)
Kepala Pemerintahan Sekaligus Kepala
Negara
Dalam
presidensialisme tidak ada pemisahan antara kepala negaradan kepala
pemerintahan seperti pada parlementarisme. Presiden sebagaikepala pemerintahan
merangkap juga sebagai kepala negara. Mungkintimbul kesan bahwa jabatan rangkap
presiden yang demikian itu setaradengan jabatan rangkap raja pada masa monarki
konstitusional.Sesungguhnya ada perbedaan mendasar di dalamnya: pada
monarkipraparlementer yang konstitusional, raja menjadi kepala
pemerintahankarena ia kepala negara. Pada presidensialisme, justru sebaliknya.
Aspekseremonial dari posisinya hanyalah suatu pencerminan dari
prestisepolitiknya (Douglas V. Verney, 1963).
Penyatuan kedua jabatan itu, sedikit banyaknya,
mengandung ambiguitas. Selaku kepala
pemerintahan, seorang presiden merupakan wakil dari para pemilihnya, bahkan
mewakili partainya yang telah mengantarnya ke dalam kekuasaan, sementara selaku
kepala negara ia simbol negara yang seyogyanya berdiri di atas semua golongan.
Tidak mudah untuk menggabungkan kedua peran itu dan tidak mudah untuk
memastikan apakah presiden tidak menyalahgunakan perannya selaku kepala negara
untuk kepentingan yang bersifat partisan.
c)
Presiden Sebagai Jabatan Unipersonal
Prinsip
eksekutif tunggal pada presidensialisme bukan saja ditandai oleh penyatuan
jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan melainkan juga karena jabatan itu
cenderung mempribadi (personalized). Meskipun dalam presidensialisme dikenal
jabatan wakil presiden tetapi selamapresiden masih berfungsi, seorang wakil
presiden biasanya tidak lebih dariseorang pembantu presiden seperti halnya
dengan menteri. Bahkan bagiseorang menteri yang notabene ditunjuk dan tidak
dipilih masih lebihmemiliki yurisdiksi tertentu dibandingkan dengan seorang
wakil presidenyang dipilih.
Yang
ingin ditekankan di sini bahwa berbeda dengan pemerintahan parlementer yang
bersifat kolektif, pemerintahan presidensial bersifat tunggal. Para menteri
yang mengepalai departemen merupakan bawahan presiden. Pemakaian istilah
secretary (sekretaris) di Amerika Serikat untuk jabatan ini sangat boleh jadi
tidak lepas dari prinsip ini. Dengan perkataan lain, seorang perdana menteri
dengan kabinetnya hanyalah “orang pertama diantara sesama rekan”, sementara
seorang presiden dengan para menterinya adalah “orang pertama di atas
rekan-rekan”, bahkan ia seorang primus solus – “orang pertama yang utama”.
Menurut
Douglas V. Verney (1963), perkataan “kabinet” adalah satudi antara beberapa
istilah parlementer yang diambil di luar konteks olehorang-orang Amerika.
Pemakaiannya sekadar untuk menggambarkan rapat-rapatPresiden dengan para
Sekretarisnya, tetapi bukan suatu Kabinet dalamarti parlementer.
d)
Legitimasi Ganda dan Masa Jabatan Tetap
(belum)
Berbeda
dengan parlementarisme yang bersandar pada legitimasidemokratis tunggal yang
dimiliki oleh legislatif, presidensialisme memilikiapa yang disebut legitimasi
demokratis ganda. Baik presiden, yang dipilih secara langsung atau secara
populer (di Amerika Serikat melalui electoralcollege), maupun legislatif yang
juga dipilih oleh rakyat, masing-masing memiliki legitimasinya sendiri. Dengan
legitimasi terpisah ini, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baik presiden
maupun legislatif dipilih untuk jangka waktu tertentu, maka keberadaan presiden
tidak tergantung padalegislatif, dan sebaliknya, keberadaan legislatif tidak
tergantung pada presiden. Dengan kata lain, berbeda dengan parlementarisme yang
mengenal pertanggungjawaban eksekutif, dalam presidensialisme, presiden tidak bertanggung
jawab terhadap legislatif.
Dengan demikian, dalam presidensialisme, presiden
tetap dalam jabatannya untuk jangka waktu tertentu secara konstitusional (di
AmerikaSerikat, empat tahun), terlepas dari perubahan mayoritas dalam
legislatif.
Dengan
kata lain, presiden tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif, kecuali melalui
impeachment untuk suatu pelanggaran hukum yang serius yangbiasanya melalui
prosedur yang sangat rumit. Sebaliknya, presiden tidakdapat memaksa legislatif
mendukung program-programnya dengan ancaman pembubaran parlemen. Berbeda dengan
parlementarisme, presiden dapat membubarkan
atau meminta membubarkan legislatif.
Meskipun
tidak tergantung pada legislatif bagi kelangsungan jabatannya, presiden tetap
membutuhkan kerja sama legislatif bagipelaksanaan kebijakan-kebijakannya yang
harus mendapat persetujuan legislatif. Dalam hal mayoritas presiden serupa
dengan mayoritas legislatif,yaitu berasal dari partai yang sama, maka segala
sesuatunya dapatdiharapkan berjalan lancar. Namun dapat terjadi bahwa mayoritas
ituberbeda, dalam arti mayoritas legislatif dikuasai oleh partai “lawan”. Dalam
hal ini tercipta apa yang disebut divided
government atau pemerintahan
yangterbelah yang sedikit banyaknya akan menyulitkan presiden dalam menjalankan
tugas-tugasnya. Di Amerika Serikat, presiden diperlengkapi dengan hak veto
untuk mengimbangi pengaruh mayoritas dalam legislatif. Dengan senjata itu presiden
dapat menolak hasil legislasi (rancangan undang-undang) yang disodorkan
legislatif dan mengembalikannya kepada legislatif. Untuk tetap memberlakukan
hasil legislasi itu, legislatif memerlukan mayoritas duapertigasuara, suatu
mayoritas yang tidak mudah mencapainya. Masalahnya, jika hasil pemungutan suara
memenuhi syarat mayoritas tersebut dan presiden tetap bersikukuh dengan
sikapnya, maka terciptalah suatu situasi deadlock atau gridlock, yang berarti
kelumpuhan sistem. Konstitusi tidak menyediakan suatu cara untuk menyelesaikan
kemacetan eksekutif-legislatif tersebut. Di Indonesia, konstitusi tidak
memberikan hak veto kepada presiden. Tetapi dalam hal perundang-undangan pada
umumnya, presiden mempunyai kedudukan setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat
dalam proses legislasi. Dalam soal ini tidak ada ancaman kemacetan. Hanya saja,
dalam penyusunan anggaran penerimaan dan belanja negara, wewenang sepenuhnya di
tangan DPR. Jadi, suka atau tidak suka, presiden harus menerima RAPBN yang
disodorkan oleh DPR.
e)
Alternatifnya kemacetan (Checks and
Balances)
Di
bagian lain telah dikemukakan bahwa rancang bangun presidensialisme cenderung
menghadapkan institusi versus institusi, dan bukannya partai versus partai,
seperti halnya dalam parlementarisme.
Kecenderungan ini merupakan akibat logis dari
penerapan prinsip checksand balances (pengecekan dan perimbangan) antara
institusi-institusi yangterpisah. Diuraikan secara terbalik, dalam
presidensialisme, institusi-institusidengan sengaja dipisahkan agar institusi-institusi
saling mengecek dansaling mengimbangi.
Dalam
model Washington, sebagaimana untuk sebagian telahdisinggung di atas, di bawah
prinsip checks and balances, kekuasaan Kongres membuat undang-undang dicek oleh
kekuasaan hak veto presiden. Selanjutnya,
pengangkatan pejabat eksekutif ditundukkan pada pengesahan Senat yang karenanya
dapat meniadakan keputusan eksekutif. Selanjutnya,ada kekuasaan Mahkamah Agung
untuk menyatakan pengundangan legislatif sebagai tindak konstitusional. Di lain
pihak, dibawah konstitusi, pengangkatan hakim-hakim merupakan tanggung jawab
eksekutif, yang biasanya tunduk pada nasehat dan persetujuan Senat. Maka dapat
dikatakan bahwa prinsip checks and balances, dalam halini checks and balances
antar institusi, merupakan ciri khas presidensialisme. Sejauh ini, prinsip
tersebut berjalan baik-baik saja diAmerika Serikat, walaupun harus segera
ditambahkan bahwa belakanganmodel Washington semakin ditantang oleh gejala
divided government.Asumsi dasar mengenai sistem presidensial, tulis Giovanni
Sartori (1997) adalah bahwa sistem ini kondusif bagi pemerintahan yang kuat dan
efektif, tetapi asumsi ini berdiri di atas es tipis.
Persoalannya
menjadi lebih parah tatkala presidensialisme dikawinkan dengan sistem
multi-partai. Seperti terlihat di Amerika Latin, kombinasi ini menguatkan
kecenderungan terjadi gridlock. Dan celakanya, tak ada jalan keluar yang
konstitusional sehingga yang ditempuh biasanya adalah cara-carayang tidak
demokratis.
3. Semi Presidensialisme
Menurut
luar Rahman Tolleng, di luar kedua bentuk dasar, parlementer dan presidensial,
terdapat bentuk cangkokan antara kedua bentuk dasar tadi yang disebut sebagai bentuk
pemerintahan semi-presidensial. Bentuk pemerintahan ini sering digambarkan
sebagai eksekutif dua kutub – sehubungan dengan adanya seorang presiden yang
dipilih secara populer dengan masa jabatan tertentu dan tidak tergantung pada
legislatif dan adanya seorang perdana menteriyang ditunjuk oleh presiden tetapi
tergantung pada dukungan mayoritas dalam parlemen.
Dewasa
ini sebagai model sering ditunjuk Republik Kelima Prancis,sungguhpun sebetulnya
satu di antara demokrasi pertama yang menerapkanbentuk semi-presidensial adalah
Republik Weimar (1919) yang kemudianmengalami kehancuran sesudah Hitler merebut
kekuasaan. Di luar Prancismasih ada lima semi-presidensial yang telah lama
berkiprah, yaitu Finlandia,Austria, Irlandia, dan Iceland, dan terakhir
Portugal melalui Konstitusi 1975. Meskipun keenam negara itu dapat ditempatkan
di bawah rubrik semipresidensialisme,dalam praktek mereka dapat dibedakan dari
segi perilakulembaga kepresidenan. Dalam kaitan ini, Maurice Duverger (Arend
Lijphart, 2002) menggolongkannya ke dalam tiga kelompok :
1. Tiga negara
dengan kepresidenan boneka, yaitu Austria, Irlandia, dan Iceland, yang praktek
politiknya lebih parlementer;
2. Satu negara dengan kepresidenan yang maha kuasa,
yaitu Prancis; dan
3. Dua negara dengan kepresidenan dan perdana
menteri yang seimbang, yaitu Finlandia dan
Portugal.
Republik
Kelima Prancis,Semi-presidensialisme Prancis tidak dapat dilepaskan dari
sejarah kegagalan parlementarisme Republik Keempat (1946-58) yang melambangkan
bentuk pemerintahan yang tidak seimbang. Majelis Nasional, majelis rendah dari
parlemen, memiliki suatu monopoli kekuasaan yang konstitusional. Pemerintah
bergonta-ganti rata-rata sekali dalam enam bulan.Akibatnya bukannya demokrasi
yang stabil melainkan kelumpuhan politikdan kemarahan publik. Ketika Republik
Keempat pada akhirnya ditumbangkan di bawah pimpinan Charles de Gaulle, sang
arsitek Republik Kelima, bandul pun bergerak ke arah ekstrem yang lain:
Konstitusi Republik Kelimamendelegasikan kekuasaan lebih besar kepada presiden.
Meskipun begitu,konstitusi tidak memilih presidensialisme murni. Di samping
presiden yang dipilih langsung untuk jangka waktu tertentu berdiri pula seorang
perdanamenteri atas tanggung jawab parlementer. Selain sebagai kepala negara,
secara resmi kekuasaan presidendibatasi pada peran khusus, yaitu urusan luar
negeri dan pertahanan,sedangkan peran pemerintah selebihnya berada di tangan
perdana menteri dan kabinetnya. Sepintas lalu, pembagian kerja terlihat
sederhana, tetapi hubungan-hubungan kekuasaan dalam realitas politik antara
kedua kutub eksekutif ini jauh lebih rumit dan pelik. Kerumitan itu tersimpul
dalam suatupertanyaan yang tidak mudah menjawabnya: Siapakah kepala
pemerintahanyang sebenarnya?
Dalam
suatu situasi bahwa presiden dan perdana menteri memilikimayoritas yang sama
dalam parlemen, maka perdana menteri hanya menjadialter ego dari presiden.
Dalam situasi ini sistem praktis bekerja sebagai sistem presidensial.
Sebaliknya, dalam hal presiden tidak memilikimayoritas dalam parlemen, maka
secara potensial timbul konflik antara presiden dan perdana menteri yang
didukung oleh parlemen. Presiden karenaitu dihadapkan pada tiga pilihan:
membubarkan parlemen, meletakkan jabatan, atau menyerah kepada kenyataan. Dalam
hal pilihan terakhir yangdiambil berlangsunglah apa yang disebut cohabitation
atau hidup bersama (lebih tepatnya kumpul kebo) antara presiden dan perdana
menteri. Dan dalam kasus ini sistem praktis bekerja sebagai parlementer.Kalau
begitu, apakah sistem semi-presidensial layak disebut sebagai sintesa antara
sistem parlementer dan presidensial? Maurice Duverger mengatakan tidak, dan
sebagai gantinya ia menunjuknya sebagai perselang selingan antara fase
presidensial dan parlementer (Giovanni Sartori, 1997).
Berdasarkan
kerangka analisis di atas, terlihat bahwa semi-presidensialisme juga menghadapi
potensi divided government atau pemerintahan terpisah, seperti halnya pada
presidensialisme murni. Ada bahaya gridlock. Akan tetapi, semi-presidensialisme
memiliki jalan keluar yang konstitusional. “Semi parlementarisme” Menurut UUD
1945 Asli Bentuk pemerintahan yang dianut dalam UUD 1945 (sebelum amandemen)
tidak tergolong parlementer ataupun presidensial, dan tidak pula tergolong
semi-presidensial yang umum dikenal. Karena Presiden tidak dipilih secara
langsung dan tidak ada jabatan perdana menteri. Tetapi UUD 1945(sebelum
amandemen) tetap menerapkan semacam eksekutif tunggal dengan masa jabatan
tetap, yang disebut presiden dan melekatkan aspek parlementer pada jabatan itu.
Jadi, bentuk ini juga sejenis cangkokan, hanya jauh dari kriteria
semi-persidensial. Barangkali dapat disebut sebagai semi parlementer. Dengan
pencangkokan seperti itu timbul masalah. Bagaimanakah sistem ini bekerja
dipandang dari segi eksekutif-legislatif? Saling tergantung atau tidak
tergantung? Adanya aspek parlementer itu, yaitu presiden dipilih dengan suara
terbanyak oleh MPR, berarti presiden tergantung pada suatu mayoritas di lembaga
itu. Apakah ketergantungan ini terbatas pada waktu pemilihan atau berlaku terus
sepanjang presiden menghabiskan masa jabatannya? Konstitusi, khususnya batang
tubuh, tidak menjawab pertanyaan itu secara jelas. Kelemahan ini belakangan
dicoba diatasi melalui Ketetapan MPR, tetapi cara ini pada gilirannya
dipersoalkan sebagai tindakan inkonstitusional. Konflik konstitusional ini
meledak pada masa jabatan Presiden Abdurrahman Wahid. Timbulnya situasi ini
dapat dipahami karena barusesudah Reformasi rakyat Indonesia berkesempatan
melaksanakan UUD1945 secara demokratis dan murni. Pada masa revolusi
kemerdekaan, dengan menggunakan pasal-pasal peralihan, UUD 1945 dijalankan,
kalau tidak diubah menjadi, parlementer. Sesudah pemberlakuan kembali konstitusi
ini melalui Dekrit 5 Juli 1959, dalam periode demokrasi terpimpin maupun dalam
periode Orde Baru, pelaksanaannya dilakukan secara otoriter. Sejauh ini tidak
ditemukan bentuk pemerintahan di dunia yang menyerupai “semi-parlementarisme”
UUD 1945 (sebelum amandemen).
Bagaimana
para Founding Fathers sampai pada bentuk pemerintahan cangkokan yang unik
seperti ini, barangkali menarik untuk dipelajari.Mungkin secara kebetulan saja
bahwa Konvensi Konstitusi Amerika Serikat 1787 sebenarnya pernah
mempertimbangkan untuk memilih model ini. Apayang disebut Rancangan Virginia,
seperti telah dibicarakan pada bagian lain, memasukkan pemilihan presiden oleh
legislatif nasional. Persoalan ini hanya sebagai persoalan akademis, karena
melalui amandemen UUD 1945, system itu telah ditinggalkan dan Indonesia beralih
kepada bentuk pemerintahan presidensial yang murni.
4.
Consociationalisme
/ Konsensus
Menurut
Rahman Tolleng, Consociationalisme sebagai suatu pendekatan dalam mengatur perikatan
dalam masyarakat politik, khususnya sebagai bentuk pemerintahan, pertama kali
diidentifikasikan oleh Arend Lijphart, seorang ilmuwan Amerika keturunan
Belanda. Tidak diketahui dengan persis asalusul kata consociational – untuk
sekadar menduga-duga, kemungkinan sebagai gabungan kata to console yang artinya
menghibur, menyenangkan, dan kata association yang artinya perkumpulan,
gabungan. Lijphart sendiri sekali-sekali mempertukarkannya dengan kata
consensual (kata sifat consensus), malahan terakhir ia lebih banyak menyebut
modelnya sebagai model konsensus. Jadi intinya, consociationalisme adalah
sebuah pendekatan yang secara sadar melibatkan semua pihak yang berkepentingan
demi mengimbangi atau menetralisasikan perbedaan-perbedaan – dalam negara, yang
disebabkan oleh pembelahan masyarakat dalam subkultur berbeda. Arend Lijphard
sampai pada model alternatif ini ketika ia mulai menganalisis kasus yang
menyimpang, dengan mengambil Negeri Belanda sebagai suatu kasus khusus,
mengeritik Almond dan kawan-kawan yang berpendapat bahwa ada suatu hubungan
negatif yang tak terelakkan antara masyarakat majemuk (dicirikan oleh budaya
politik terfragmentasi) dan stabilitas demokrasi. Disini ia lalu
menggeneralisasikan model demokrasi consociational bagi negara-negara Eropa
yang lain, terutama Swis, Belgia,dan Austria.
§ Beberapa model Consociationalisme
a.
Model Konsensus vs Model Mayoritas
Lijphart
beranjak lebih lanjut untuk membedakan antara sistem politik majoritarian, yang
secara logis didasarkan pada prinsip mengkonsentrasikan sebanyak mungkin
kekuasaan di tangan mayoritas, dan sistem politikconsociational, yang
didasarkan pada prinsip power sharing atau pembagian kekuasaan, penyebaran, dan
pembatasan kekuasaan dalam berbagai cara.
Dalam
analisis mengenai sejumlah negara (Lijphart 1984, 1999) menemukan sejumlah
dimensi yang memisahkan model consociational dengan model Westminster.
Lebih lanjut Lijphart (1999) membagi dalam dua
kelompok dimensi yang membedakan kedua sistem, yang masing-masing terdiri atas
lima karakteristik. Kelompok pertama, yang disebutnya sebagai dimensi eksekutif-partai,
meliputi susunan kekuasaan eksekutif, sistem kepartaian dan pemilihan, dan
kelompok kepentingan. Sementara kelompok kedua, disebut sebagai dimensi
federal-kesatuan yang umumnya dihubungkan secara kontras antara pemerintahan
federal dan kesatuan.Yang penting disajikan di sini cukup lima dimensi yang
termasuk dalam kelompok pertama yang bertalian langsung dengan pokok pembicaraan,
yaitu bentuk pemerintahan. Kelima perbedaan pada dimensi eksekutif-partai
adalah sebagai berikut:
1. Konsentrasi
kekuasaan eksekutif dalam kabinet mayoritas partai tunggal versus eksekutif
berdasarkan power sharing atau pembagiankekuasaan dalam koalisi multi-partai
yang luas.
2. Hubungan
eksekutif-legislatif dengan eksekutif yang dominan versus keseimbangan
kekuasaan antara eksekutif-legislatif.
3. Sistem
kepartaian dwi-partai versus multi-partai.
4. Sistem pemilihan majoritarian dan
disproporsional versus perwakilan yang proporsional.
5. Sistem
kelompok kepentingan yang pluralis dengan persaingan yangmerupakan pertarungan
bebas (free-for-all) di antara kelompok-kelompok versus sistem kelompok
kepentingan yang terkoordinasikandan “korporatis” yang ditujukan untuk kompromi
dan kebersamaan.
b. Prototipe Swis
Swis
merupakan sebuah negara yang menerapkan secara penuh model demokrasi consociational. Swis adalah sebuah
masyarakat yang sangat majemuk yang terbagi sepanjang beberapa garis pembelahan
: suku, agama ,bahasa dan wilayah. Satu dan lain hal karena kemajemukan ini,
selain menerapkan model konsensus bagi bentuk pemerintahannya, juga memilih federalisme
(dalam konstitusi disebut konfederasi) bagi bentuk negaranya. Sebagai negara
federal, kekuasaan dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah-pemerintah
sebanyak 24 canton dan enam setengah canton.
Dalam
banyak hal, status setengah-canton setara dengan canton, kecuali dalam hal
jumlah kursi dalam Dewan Federal, eksekutif negara itu, dan bobot suara pada
setiap amandemen konstitusi. Dalam kerangka federalisme,Swis juga termasuk
negara yang sangat desentralistik di
dunia.Kemajemukan itu juga terefleksi dalam sistem kepartaian Swis.Pembelahan
agama memecah Demokrat-Kristen yang, terutama didukungoleh kalangan Katolik
yang taat, dari Demokrat-Sosial dan Demokrat-Radikal, yang menarik sebagian
besar dukungannya dari kalangan Katolikyang tidak atau jarang ke gereja dan
dari kalangan Protestan. Pembelahan sosial ekonomi lebih lanjut memisahkan
Demokrat-Sosial, terutama ditopang oleh kelas pekerja, dari Demokrat Radikal,
yang mempunyai pendukung lebih banyak datang dari kelas menengah. Partai Rakyat
Swis terutama kuat di kalangan para petani Protestan. Pembelahan bahasa tidak menyebabkan
pemisahan dalam sistem kepartaian Swis, sungguhpun dukungan partai Rakyat Swis
terutama datang dari kalangan berbahasa Jerman, dan ketiga partai besar
merupakan aliansi yang secara relatif longgardi antara partai-partai canton
yang mengandung pembelahan bahasa sebagai pembeda utama.
§ Ciri Prototipe Swis
a.
Eksekutif berdasarkan Power Sharing.
Eksekutif
Nasional Swis yangterdiri atas tujuh orang merupakan contoh dari suatu koalisi
luas. Ketigapartai besar – Demokrat-Kristen, Demokrat-Sosial, dan
Demokrat-Radikal,yang masing-masing menduduki seperempat bagian kursi dalam
majelisrendah – dan partai Rakyat Swis yang menduduki seperdelapan bagian
kursi,membagi ketujuh posisi eksekutif itu menurut komposisi 2:2:2:1. Komposisi
ini disebut sebagai magic formula yang merupakan kesepakatan dalamkonvensi 1959
yang dimaksudkan untuk mempertahankan keseimbangan politik di Swis. Sebagai
kriteria tambahan, komposisi ini harus sekaligusmencakup perwakilan
kelompok-kelompok linguistik dalam perbandinganyang kasar: empat atau lima
berbahasa Jerman, satu atau dua berbahasa Prancis, dan kerapkali seorang
berbahasa Italia. Selain itu tiga canton harus selalu terwakili.
b. Dewan
Federal mempunyai masa jabatan selama 4 tahun. Ketua dan Wakilnya dipilih di
antara ketujuh anggota dengan ketua sebagai Presiden dan wakil ketua sebagai
Wakil Presiden. Kedua jabatan itu tidak boleh dipegang dua kali berturut-turut,
tetapi seorang mantan Wakil Presiden dapat dipilih sebagai Presiden pada
periode berikutnya.
c. Presiden
merangkapsebagai kepala negara.
d. Keseimbangan
Kekuasaan Eksekutif-Legilatif.
Berbeda dengan yang lain, model konsensus
Swis sama sekali bukan parlementer. Dewan Federal tidak bertanggung jawab
kepada legislatif. Jika usul pemerintah ditolak oleh legislatif, Dewan Federal
atau anggota yang mengajukan usul itu tidak mundur. Permisahan kekuasaan ini
menjadikan eksekutif maupun legislative lebih independen, dan hubungan di
antara keduanya jauh lebih seimbang dibandingkan dengan hubungan
kabinet-parlemen dalam model Westminster. Legislatif Swis terdiri dari dua
kamar, yaitu Dewan Nasional yang dipilih langsung di antara partai-partai yang
bersaing, dan Dewan Negara, yang merupakan utusan setiap Kanton, masing-masing
sekitar 1 sampai 2 orang.
e.
Perwakilan Proporsional.
Sistem multi-partai Swis yang telah dibicarakan
di atas adalah sistem kepartaian tanpa satu pun partai yang dapat mendekati
kedudukan mayoritas. Pada pemilihan 1995 untuk Dewan Nasional, lima belas
partai memenangi kursi, tetapi bagian besar kursi ini, yaitu 162 dari 200,
dipegang oleh keempat partai besar yang diwakili dalam Dewan Federal. Pemilihan
dijalankan menurut sistem proporsional (PR) yang menjadi faktor kedua disamping
faktor pembelahan sosial sebagai pendorong munculnya sistem multi-partai.
Tujuan dasar penerapan sistem proporsional adalah untuk membagi kursi
parlementer di antara partai-partai menurut proporsi suara yang mereka peroleh.
c. Consociationalisme
di Indonesia
Tanpa disadari,
sebetulnya consociationalisme sebagai suatu pendekatan juga merasuki kehidupan
politik di Indonesia. Pada tingkat gagasan, dalam batas-batas tertentu,
konsepsi Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme) dan Kabinet Kaki Empat Soekarno
juga dijiwai gagasan consociationalisme. Gagasan itu sendiri ditolak oleh
sejumlah partai, khususnya Masjumi, karena tidak rela duduk semeja dengan PartaiKomunis
Indonesia. Soekarno lalu memaksakan konsepsinya, dan dengan demikian praktek
ini tidak dapat lagi disebut consociational.
Selain itu, walaupun
sama sekali tidak sempurna, praktek reformasi sejak keruntuhan Soeharto telah
memperagakan ciri-ciri consociational dalam berbagai bentuk susunan power
sharing dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati (Leonard C.
Sebastian, 2004). Kabinet masing-masing praktis bersifat koalisi yang mencakup
semua partai besar.
Presiden SBY,
sungguhpun ia seorang presiden yang dipilih langsung, tanpa kecuali juga
menyusun kabinet atas dasar power sharing yang memasukkan banyak wakil-wakil
partai. Kalau diamati, pada tingkat legislatif, di pusat maupun di daerah, pemilihan
pimpinannya juga mengandung ciri-ciri consociational. Di daerah-daerah tertentu
praktek consociationalisme tidaklah terlampau sukar menemukannya dalam
penentuan komposisi pemerintahan.
III.
Dampak Institusi (Presidensialisme & Parlementarisme)
a) Perspektif 1 : Adam Przewarski et. al
Haruskah
kita berharap bahwa demokrasi bertahan lebih lama dibawah satu sistem
institusional dibandingkan dengan yang lain? Analisis kita terbatas pada sepasang ciri-ciri
institusional, yang diringkaskan sebagai parlementarisme versus presidensialisme.
Oleh karena itu disini kita menguji hipotesa Juan Linz, yang memberikan
beberapa pertimbangan mengapa demokrasi parlementer terbukti lebih berusia lama
dibandingkan dengan demokrasi presidensial.
Salah
satu argumen Linz bahwa taruhan di bawah presidensialisme lebih besar, karena
perlombaan memperebutkan kepresidenan hanya mempunyai satu pemenang tunggal.
Linz mencatat bahwa seorang calon presiden yang kalah tidak mempunyai peran
resmi dalam politik dan besar kemungkinan tidak menjadi anggota legislatif, sementara
dibawah sistem parlementer calon perdana menteri yang kalah akan menjadi
pemimpin oposisi.
Alasan
kedua kenapa demokrasi presidensial mungkin kurang dapat bertahan lama karena
sistem demokrasi ini lebih mungkin menimbulkan kelumpuhan legislatif. Kelumpuhan
seperti itu dapat berlangsung di bawah kedua sistem; di bawah parlementarisme
ketika tidak ada koalisi mayoritas dapat dibentuk, dan di bawah
presidensialisme ketika legislatif dikendalikan oleh mayoritas yang bermusuhan
dengan presiden tetapi tidak cukup besar untuk selalu mengesampingkan veto
presiden.
Di bawah sistem presidensial, karena mempunyai masa
jabatan tertentu, eksekutif dapat bertahan hidup disamping legislatif yang
bermusuhan, menimbulkan kemacetan di antara cabang eksekutif dan legislatif. Di
bawah kondisi seperti itu, tidak ada orang yang dapat memerintah. ( Sumber: Adam Przewarski et. Al, “What
Makes Democracies Endure?,” Consolidatingthe Third Wave Democracies: Themes and
Perspectives, Larry Diamond et. al (ed),Baltimore: The John Hopkins University
Press, 1997).
Linz
benar mengenai daya tahan pilihan susunan institusional. Selama periode yang
dipertimbangkan, 14 demokrasi (atau 28 persen dari 50 kasus) gugur di bawah
sistem parlementer. Hanya satu (12,5 persen dari 78 kasus) yang gugur di bawah
sistem campuran, dan 24 (52 persen dari 46 kasus) yang gugur di bawah
presidensialisme. Di antara demokrasi-demokrasi yang gugur selama periode yang
diteliti ini, sistem parlementer rata-rata bertahan selama delapan tahun,
sementara mitra lawannya yang presidensial bertahan selama sembilan tahun.
Tetapi sistem parlementer yang masih berjalan hingga 1990 berusia jauh lebih
tua: rata-rata sekitar 43 tahun, dibandingkan dengan usia 22 bagi rezim-rezim
presidensial. Probabilitas suatu demokrasi akan gugur di bawah presidensialisme
selama setiap tahun tertentu dalam studi Adam Przewarski adalah 0,049;
probabilitas yang sebanding di bawahparlementarisme adalah 0,014. Jika
perbedaan ini tampak kecil, berpikir dari segi lamanya hidup yang diharapkan: harapan hidup (life expentancy) dibawah
presidensialisme adalah kurang dari 20 tahun, sementara di bawah parlementarisme
adalah 71 tahun.
Scott Mainwaring, sebagaimana Alfred Stepan dan
Cindy Skach, juga benar: demokrasi kurang mungkin bertahan bilamana menggabungkan
presidensialisme dengan sistem kepartaian yang terfragmentasi.
Menggabungkan
presidensialisme dengan suatu legislatif di mana tidak ada partai tunggal
dengan status mayoritas merupakan suatu ciuman maut:sistem seperti itu hanya
dapat berharap hidup selama 15 tahun. Demokrasi presidensial dengan suatu
partai tunggal yang mempunyai mayoritas legislatif dapat berharap hidup selama
26 tahun. “Kemacetan” atau“deadlock”, suatu situasi dengan bagian kursi partai
terbesar antara sepertiga dan setengah, bahkan lebih mematikan bagi rezim
presidensial.
Presidensialisme yang demikian gugur pada tingkat
0,038 (dengan harapan hidup selama 26 tahun) jika tidak ada deadlock dan pada
tingkat 0,091(dengan harapan hidup 11 tahun) jika ada deadlock. Analisis statistik
memberikan bukti-bukti yang menyokong parlementarisme. Pengharapan hidup sistem
presidensial tergantung pada tingkat perkembangan pada pertumbuhan ekonomi dan
pada kehadiran mayoritas legislatif. Sebaliknya, bagi sistem parlementer,
distribusi kursi ataupun pertumbuhan ekonomi tidak penting secara statistik
sebagai penentu daya tahan demokrasi. Singkat kata, kelangsungan hidup
demokrasi memang tergantung pada sistem kelembagaannya. Rezim parlementer
bertahan lebih lama, jauh lebih lama dari rezim presidensial.
Institusi-institusi pemilihan yang menghasilkan mayoritas adalah kondusif bagi
kelangsungan hidup sistem presidensial dan sistem presidensial yang menghadapi
kemacetan legislatif secara khusus rapuh. Kedua sistem rawan terhadap kinerja
ekonomi yang buruk, tetapi demokrasi presidensial lebih sedikit kemungkinan
untuk bertahan sungguhpun ketika ekonomi tumbuh dibandingkan dengan system parlementer
ketika ekonomi merosot.
§ Pemilihan institusi
Karena
demokrasi parlementer bertahan lebih lama, maka merupakan teka teki mengapa
begitu banyak demokrasi mengadopsi presidensialisme. Apakah yang menentukan
pilihan awal dalam institusi-institusi demokratis? Banyak jawaban dapat
dikumpulkan dari pandangan sepintas pada sejarah. negara-negara yang semula
merupakan monarki tetapi tidak mengalami revolusi dalam penyerahan tanggung
jawab pemerintahan dari raja ke parlemen berakhir dengan sistem parlementer.
Negara-negara yang rajanya ditumbangkan (Perancis pada 1848 dan kembali pada
1875, Jerman pada 1919) dan jajahan-jajahan yang memberontak terhadap kekuasaan
raja (AS dan Amerika Latin pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19) mengganti
raja dengan presiden. Seperti Simon Bolivar suatu waktu mengatakannya : “Kami
memilih raja yang kami sebut presiden”. Negara-negara yang muncul dari dominasi
kolonial sesudah Perang Dunia II secara khusus mewarisi parlementarisme dari
para penjajah. Bagaimanapun, secara khas, negara-negara yang sama ini
melembagakan sistem presidensial jika dan ketika demokrasi yang pertama mereka
pilih runtuh. Begitu pula secara khas, kediktatoran yang mengalami
demokratisasi cenderung memeluk presidensialisme. Menurut perhitungan kami, di
antara 35 negara yang mengalami demokratisasi antara 1974 dan 1990, 19
mengambil sistem presidensial, 13 memilih parlementarisme, dan 3 memilih sistem
campuran. Jika taruhan politik sesungguhnya lebih tinggi di bawah
presidensialisme, maka sukar melihat kenapa sistem ini muncul di bawah
kondisi-kondisi yang memungkinkan partai-partai mengerti dan tidak cenderung
mengambil resiko. Satu penjelasan mungkin adalah bahwa partai-partai terlampau optimistis:
masing-masing memproyeksikan dirinya sebagai pemenang dalam pemilihan dan
menganggap bahwa dirinya akan meraih jabatan presiden. Tetapi, kami curiga
bahwa pilihan presidensialisme itu justru bukan keputusan politik. Namun kemungkinan
besar bahwa hal itu mencerminkan peran politik militer yang terus berlanjut,
yang tampak mempunyai preferensi rezim presidensial, barangkali karena rezim
seperti itu memberikan suatuhirarki yang jelas. Dengan alasan ini cukup bagi
kaum militer untuk memperjuangkan presidensialisme tatkala isu institusi
demokratis muncul pada agenda transisi. Pola empiris tampak menyokong dugaan
ini: jika 10 diantara 17 rezim demokratis yang timbul dari kediktatoran sipil
tergoda padapresidensialisme, dan sejumlah besar, yaitu 22 di antara 28
demokrasi yangmuncul dari kediktatoran militer mengambil pilihan yang sama.
Jadi presidensialisme tampak sekurang-kurangnya untuk sebagian merupakan warisan
pemerintahan militer.
2. Perspektif 2 : Giovanni Sartori
Isu
awal yang diangkat adalah mempertanyakan
apakah parlementarisme dapat menolong ? Apakah
sistem parlementer lebih unggul dari sistem presidensial? Dalam pandangan Sartori dikemukakan bahwa mengenai transisi dari sistem yang menyerupai
Amerika ke suatu sistem yang menyerupai Eropa atas dasar peringatan yang
sederhana bahwa demokrasi parlementer tidak dapat berkinerja dalam setiap
macamnya yang banyak jumlahnya—kecuali kalau dibantu oleh partai-partai yang
cocok dengan parlementer, yaitu partai-partai yang telah tersosialisasikan
(melalui kegagalan, usianya, dan berbagai insentif yang tepat) ke dalam
organisasi yang secara relatif padu (cohesive)dan atau disiplin. Untuk
mengingatkan kita, yang dikatakan di atas tidak selalu berlaku bagi sistem presidensial,
dengan alasan karena kita tahu bahwa di bawah kondisi-kondisi pemerintah yang
terbelah (divided government) kemacetan dapat dihindarkan justru oleh ketidak disiplinan
partai. Sebaliknya, partai-partai yang disiplin merupakan syarat yang perlu bagi
“bekerjanya” sistem parlementer. Dengan kata lain, dengan partai-partai yang
tidak disiplin, sistem parlementer menjadi sistem majelis yangtidak bekerja.
Maka pertanyaannya : jika negara-negara Amerika
Latin mengadopsi suatu sistem parlementer, akankah kinerja negara-negara itu
menjadi lebih baik dibandingkan dengan sistem majelis dari banyak negara Eropa
selama sampai tahun 1920-an dan 1930-an? Saya (Sartori) sangat meragukannya karena dengan
jelas persoalannya bahwa bagian besar Amerika Latin tidak memiliki dan masih
jauh untuk mendapatkan partai-partai yang cocok dengan system parlementer.
Brasil benar-benar sesuai dengan kenyataan ini; dan karenaBrasil
mempertimbangkan sejauh mengajukan suatu referendum, pada 1993,untuk pilihan
parlementarisme, saya beralih sebentar dengan contoh Brasil.Boleh jadi tidak
ada negara di dunia yang sekarang ini sebagai antipartai,baik dalam teori
maupun dalam praktek, seperti di Brasil. Para politisi memperlakukan partai
mereka sebagai barang sewaan. Mereka sering kali beralih partai, memberi suara
yang menentang garis partai, dan menolak setiap jenis disiplin partai atas
dasar bahwa kebebasan mereka untuk mewakili konstituensinya tidak dapat dicampuri.
Jadi, partai benar-benarmerupakan entitas yang mudah berubah; dan karena itu
presiden Brasil dibiarkan mengambang pada ruang vakum, di atas suatu parlemen
yang tak mau patuh dan jelas tercabik-cabik (atomized). Dapatkah kita
mengharapkan dengan lingkungan seperti ini bahwa peralihan ke suatu sistem
parlementer akan menghasilkan partai yang padu, dan ini diperlukan karena dalam
system yang baru itu partai-partai dibutuhkan untuk menopang suatu pemerintah yang
berasal dari parlemen? Sesungguhnya ini merupakan argumen para pencetus
referendum (yang telah dikalahkan). Tetapi tidak ada bukti-bukti perbandingan
dan juga historis yang mendukung harapan itu.
Dibandingkan dengan partai-partai Brasil,
partai-partai Jerman selama periode Weimar merupakan “partai model”; namun
fragmentasi partai-parta itu tidak pernah dapat diatasi dan kinerja
parlementernya antara 1913-33tidak pernah mengalami perbaikan dan juga tidak
memberi kemampuan memerintah. Tidak ada yang berubah dalam perilaku atau sifat
pokok partai-partai selama Republik Prancis Ketiga dan Keempat. Usia rata-rata pemerintah
selama masa empat puluh tahun dari Republik Ketiga (1875-1914) adalah sembilan
bulan. Hal yang sama juga berlaku pada Italia sebelum-fasis. Persoalannya ialah
bahwa keterpaduan dan disiplin partai(dalam pemungutan suara di parlemen) tidak
pernah merupakan umpan balik (feedback) bagi pemerintah parlementer. Jika suatu
sistem berdasarkan majelis, teratomisasikan, tidak mau patuh, yang bagaikan
magma yang panasdi bawah permukaan, oleh kelembamannya sendiri sistem itu akan
tetap sebagaimana adanya.
Saya tidak dapat membayangkan suatu system kepartaian
yang berkembang ke dalam “sistem” yang benar-benar tersusun sebagai partai
massa berbasis–organisasi yang kuat atas dasar pembelajarandi dalam parlemen.
Metamorfosa atau perubahan bentuk dari system kepartaian yang tidak terstruktur
menjadi terstruktur selalu dipicu olehtantangan dan penularan dari luar. Partai
orang-orang terkemuka (party ofnotables) di masa lalu menghilang atau berubah
arah sebagai tanggapan terhadap tantangan yang diciptakan partai-partai massa
(sebagian besar antisistem)yang bercirikan ideologi dan semangat yang kuat.
Semua unsur yang dahulu ada itu, sekarang tidak ditemukan di Brasil. Lagi pula,
kredo dan retorika anti-partai yang merasuki negara itu menciptakan jenis
partai yangcocok dengan sistem parlementer bukan saja mustahil, melainkan juga
tidakdapat dibayangkan. Jadi persoalannya bahwa kultur dan tradisi politik
Brasil sekarang ini menghidupkan partai-partai yang tidak cocok dengan system parlementer.
Di bawah lingkungan seperti itu suatu percobaan parlementer yang menyebabkan
Brasil keluar dari kekacauan ke dalam jenis pemerintahan parlementer yang
efisien, menurut pendapat saya, menentang semua ketidak mungkinan.
Di lain pihak, di Amerika Latin, ada tiga negara
penting yang diperkirakan mungkin menghasilkan—dari segi sistem
kepartaiannya—suatu peralihan ke parlementarisme, yaitu Chili dan kemudian
Argentina dan Venezuela yang masing-masing memilik dua-partai. Chili mempunyai susunan
multi-partai yang menyerupai Eropa di daratan. Akan tetapi, Chilijuga mempunyai
masa lalu dengan “pluralisme yang terpolarisasikan,”dengan polarisasi kuat yang
dibarengi dengan fragmentasi partai yang besar.
Atas latar belakang ini, apakah bijaksana bagi Chili
untuk mengadop sisistem parlementer? Saya meragukannya. Jika orang-orang Chili memutuskan
untuk meninggalkan sistem presidensialnya, mereka sebaiknya diberi nasehat yang
baik, yang menurut pendapat saya, untuk mengupayakan suatu pemecahan yang
semi-presidensial dan bukan parlementer. Argentina malahan suatu sistem
presidensial dua-partai yang mendekati kemungkinan menikmati mayoritas yang
tidak terpisah. Sebagai suatu pertanyaan yang menduga-duga, akankah Argentina
memperoleh manfaat dari suatu transformasi parlementer? Sekali lagi saya meragukannya.
Partai-partai Argentina bukanlah partai yang “kokoh”. Yang mempertahankan
kebersamaan mereka dan menghasilkan penggabungan diri mereka adalah sistem
presidensial, yaitu kepentingan dalam memenangi hadiah yang tak-dapat dibagi : kepresidenan. Jadi kita mengharapkan suatu susunan
berbeda untuk menghasilkan suatu fragmentasi partai yang sebenarnya tidak
dibutuhkan oleh Argentina. Selanjutnya Venezuela tampaksebagai satu-satunya
negara Amerika Selatan yang mampu—atas dasar kedua partainya yang kuat dan
disiplin—untuk mengambil resiko suatupercobaan parlementer. Tetapi pada 1933
sistem dua-partai Venezuela pecahberantakan. Oleh karena itu saya terdorong
untuk menyimpulkan bahwakeberagaman parlementarisme yang sangat boleh jadi akan
muncul dilintasan sebagian besar Amerika Latin bakal berupa bentuk majelis
dengan kemungkinan yang terburuk.
Dalam
sistem presidensial kinerja pemerintahan dinilai kurang baik sebagaimana
dikemukakan Linz di negara-negara dengan pembelahan yang dalam dan dengan suatu
sistem kepartaian terfragmentasi, adalah benar sekali. Tetapidapatkah
negara-negara itu berkinerja lebih baik—dengan kondisi-kondisitetap serupa di
bawah bentuk parlementer? Apabila faktor-faktor lain tidakberubah, saya pikir
tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar