Rabu, 27 April 2016

MODUL MATA KULIAH PEMERINTAHAN NASIONAL




MATA KULIAH

PEMERINTAHAN NASIONAL

Deskripsi Mata Kuliah :
            Mata kuliah ini menelaah dan menjelaskan tentang bentuk-bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan, tujuan dan fungsi pemerintahan, faktor lingkungan dalam penyelenggaraan pemerintahan, demokrasi desentralisasi dan otonomi  dalam penyelenggaraan pemerintahan, lembaga dan birokrasi pemerintahan, hubungan pusat-daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, dibahas juga konsep reinventing government dan good governance.


Capaian Pembelajaran :
            Setelah menempuh mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan  dapat memahami dan mampu menjelaskan tentang pemerintahan  nasional dengan berbagai problematikanya

Rincian Kajian Mata Kuliah Pemerintahan Nasional :
  1. Pendahuluan
  2. Bentuk-bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahan
  3. Tujuan dan fungsi pemerintahan
  4. Faktor lingkungan dalam penyelenggaraan  pemerintahan
  5. Demokrasi, desentralisasi dan otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan
  6.  Lembaga dan birokrasi pemerintahan nasional 
  7. Lembaga Legislatif (Parlemen: MPR, DPR, DPD), Eksekutif (Presiden dan Menteri-Menteri), Yudikatif (MK, MA, Pengadilan,dll)
  8. Hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
  9. Politik dan kebijakan pemerintahan 
  10. Reinventing government dan good governance
  11. Tantangan dan Masa Depan Pemerintahan Nasional






Daftar Pustaka :

Madison, James, The Federalist, The Modern Library, Random House Inc.
Friedrich, Carl, Trends of Federalism in Theory and Practice, (chapter 1,2),             Frederick A Praeger Publishers, 1968.
Smith, Graham, Federalisme, Pilihan Masyarakat Majemuk, cetakan 1, Penerbit      Solidaritas Indonesia,1999.
Teori Federalisme, kumpulan makalah studi kasus, Perpustakaan S2 Politik Lokal dan        Otonomi Daerah.
Kramer, Jutta, Federalism and Civil Society, An International Sympusium,             Nomos Verlogs gessellschaft Baden-baden, 1999.
Elazar, Daniel J, Exploring Federalism, The University of Alabama Press T uscaloosa, Alabama, 1987.
Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia.
LAN RI, 2006, Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI. Jakarta : LAN





BAHAN PENGANTAR DISKUSI  (BENTUK NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN)

BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Pengantar

            Secara umum pemerintahan diartikan sebagai perbuatan, cara, atau tindakan / urusan dari badan atau orang-orang yang memerintah. Pemerintahan juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau keputusan pemerintah dalam kerangka membangun dan menata kepentingan pelayanan publik, baik dalam bentuk produk perundang-undangan, maupun dalam bentuk program dan kegiatan pembangunan bagi masyarakat.
            Pemerintahan Nasional  dapat dipahami  urusan dari   sejumlah tugas dan fungsi baik secara vertikal maupun horisontal  dalam suatu organisasi pusat atau nasional (negara) berdasarkan norma  dan  gagasan sistematis untuk mengatur, mengurus dan mewujudkan kepentingan rakyat. Dan untuk melaksanakan dan mewujudkan   kepentingan rakyat  dibutuhkan suatu wadah atau organisasi yang bernama negara.
Dalam mendirikan sebuah negara,  setidaknya diperlukan sejumlah syarat pokok antara lain : harus ada pemerintahan yang berdaulat, rakyat, wilayah dan pengakuan. Pemerintahan dalam arti luas, pada umumnya mencakup eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sedangkan dalam arti sempit adalah eksekutif sendiri, yakni kepala pemerintahan beserta kabinetnya.
            Untuk mengetahui Pemerintah Nasional suatu negara,  setidaknya dapat dicerna dari bentuk pertanggungjawaban atau relasi antara pemerintah / kepala pemerintahan dengan rakyatnya. Menurut Maswadi Rauf, (2009:23) ada dua bentuk sistem pemerintahan, yakni sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan  presidensial.  Sistem pemerintahan presidensial dengan beberapa perkecualian telah digunakan dalam masa kemerdekaan  Indonesia. Perkecualian tersebut adalah digunakannya sistem parlementer pada beberapa periode masa berlakunya UUD 1945, yaitu pada tahun 1945-1949 di masa konstitusi RIS, 27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950. Dan pada masa UUD Sementara 1950, yang berlangsung dari Tahun 1950 s/d 1959. Dan selanjutnya  dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memberlakukan kembali UUD 1945, yaitu memberi kesempatan  sekali lagi bagi penggunaan sistem presidensial. Sedangkan menurut Inu Kencana Syafiie (1992) secara umum ada dua bentuk negara, yakni negara kerajaan dan negara Republik. Sedangkan sistem pemerintahan pada umumnya terdiri dari beberapa bentuk, yaitu :
1.      Sistem Pemerintahan Parlementer, yang kemudian dibagi lagi menjadi sistem pemerintahan parlementer bercorak Republik dan   Kerajaan. Dalam sistem ini akan dilakukan pengawasan yang ketat terhadap eksekutif oleh pihak legislatif. Dengan demikian parlemen diberikan kekuasaan yang besar agar eksekutif dapat memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah /eksekutif selaku perdana menteri bersama kabinetnya bertanggung jawab kepada parlemen. Contohnya Malaysia.
2.      Sistem Pemerintahan Campuran, yang kemudian dibagi lagi menjadi sistem pemerintahan campuran bercorak Desentralisasi dan Sentralisasi.  Dalam sistem ini akan dipadukan sejumlah hal-hal terbaik dari sistem parlementer dan presidensial, dengan harapan dapat menciptakan pemerintahan yang lebih demokratis  dan sejahtera bagi rakyat. Misalnya negara  Indonesia dan Perancis.
3.      Sistem Pemerintahan Presidensial, yang kemudian dibagi lagi menjadi sistem pemerintahan presidensial bercorak Serikat dan Kesatuan. Dalam sistem ini presiden memiliki kekuasaan yang kuat, karena selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Oleh karena itu agar tidak menciptakan pemerintahan yang diktator dan otoriter maka diperlukan check and balance antar lembaga tinggi negara, seperti negara AS.
4.      Sistem pemerintahan Proletariat, yang kemudian dibagi lagi menjadi sistem pemerintahan proletariat bercorak multi partai dan mono partai. Dalam sistem ini yang diupayakan sebenarnya adalah kesejahteraan rakyat, tetapi karena kemudian rakyat banyak tersebut dihimpun dalam organisasi kepartaian komunis, akhirnya melahirkan dominasi partai tunggal yang memiliki kekuasaan mutlak, Contohnya Republik Cina.



B.     Klasifikasi Struktur Organisasi Negara dan Pemerintah
            Sebelum mendalami materi ini, setidaknya  perlu dijelaskan lebih awal secara eksplisit apa yang dimaksud dengan “negara”. Negara menunjuk pada suatu gejala historis, yaitu seperangkat institusi atau organisasi yang berinteraksi dalam suatu cara yang kurang lebih terkoordinasi di dalam suatu batas-batas wilayah yang ditetapkan. Secara ringkas dapat dirumuskan bahwa negara adalah suatu organisasi, yang mengontrol alat-alat koérsi yang utama didalam suatu wilayah tertentu, otonom, tersentralisasikan dan secara formal terkoordinasikan.
            Dalam tradisi Anglo-Saxon, “negara” cenderung dianggap sebagai sinonim dengan “pemerintah”. Lain halnya dengan tradisi kontinental yang membuat perbedaan di antara “negara” sebagai istilah umum dan abstrak yang menunjuk pada institusi-institusi politik dan “pemerintah” sebagai salah satu unsurnya, yaitu cabang eksekutif, yang berdampingan dengan cabang-cabang yang lain: legislatif, yudikatif, birokrasi, dan militer.
             Sejak zaman Yunani kuno, perdebatan yang serius telah berlangsung mengenai masalah pengklasifikasian negara menurut bentuk pemerintahannya. Cara yang paling mudah untuk membedakan bentuk-bentuk pemerintah itu adalah melalui kategori monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Tetapi perdebatan di sekitar pengklasifikasian itu lebih bersifat normatif dari pada empiris. Yang mereka persoalkan lebih banyak mengenai sisi baik dan sisi buruk dari suatu bentuk  pemerintahan.Aristoteles, misalnya, kemudian tampil dengan sebuah skema tentang bentuk pemerintahan yang ideal dengan pasangannya yang buruk yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.1  Skema Bentuk Pemerintahan
Bentuk  / Corak IdealNegara
Pemerintah
Bentuk Pembusukan
Monarki
Satu Orang
Tirani
Aristokrasi
Sedikit Orang
Oligarki
Politeia
Banyak Orang
Demokrasi

            Pengklasifikasian seperti itu sangat menyederhanakan dan sangat menggeneralisasikan persoalan bentuk pemerintahan sehingga kurang bisa membantu untuk memberi pemahaman tentang struktur organisasi negara yang jauh lebih kompleks.  Suatu pendekatan teoritis yang lebih objektif dan empiris, dan karena itu secara umum dapat diterima, adalah mengklasifikasikan negara dan pemerintahannya menurut dimensi khusus struktur organisasi negara. Setidaknya, ada tiga pendekatan yang masing-masingnya menyangkut dimensi penting struktur organisasi negara yang dapat dirumuskan dalam bentuk tiga pertanyaan (D. George Kousoulas, 1968):
1. Apakah kedudukan kepala negara turun temurun atau dipilih?Jawaban atas pertanyaan ini menerangkan apakah sebuah Negara merupakan bentuk negara monarki atau republic ?
2. Apakah eksekutif secara konstitusional bertanggung jawab terhadap legislatif atau tidak? Jawaban atas pertanyaan kedua ini menentukan bentuk pemerintahan negara itu parlemen atau presidensial ?
3. Apakah secara konstitusional ada pemisahan kekuasaan memerintah antara         pemerintah pusat dan pemerintah regional atau tidak ?
            Jawaban atas pertanyaan ketiga ini menunjuk apakah negara yang bersangkutan termasuk jenis federal /serikat atau kesatuan.Dengan memeriksa konstitusi masing-masing, maka dapat ditentukan misalnya, Inggris dan Jepang tergolong negara monarki, parlementer, dan kesatuan; Italia dan Yunani tergolong negara republik, parlementer, dan kesatuan; Amerika Serikat dan Venezuela tergolong negara republik,presidensial, dan federal; Indonesia dan Kolombia tergolong Negara berbentuk republik - kesatuan  dengan bentuk pemerintahan presidensial; Belgia, Australia, dan Malaysia tergolong negara monarki, parlementer, dan federal; Kanada, Jerman, dan India tergolong negara republik, parlementer, dan federal. Ada sedikit kesukaran dalam menentukan tata nama bagi ketigaklasifikasi di atas. Untuk klasifikasi parlementer dan presidensial,tampaknya dapat diterima untuk menyebutnya sebagai “bentuk pemerintahan”. Tetapi bagi penamaan kedua klasifikasi yang lain masih terdapat kesimpang-siuran. Beberapa sarjana menyebutkan bentuk negara sebagai monarki atau republik, sebagian lagi mengartikan bentuk Negara sebagai negara kesatuan atau negara federal (Muh. Kusnadi dan Bintan R.Saragih, 2000). UUD(S) 1950 mengikuti yang terakhir dengan pasal 1 ayat 1yang berbunyi: “Republik Indonesia ... ialah suatu negara hukum yang  demokratis dan berbentuk kesatuan,” sedangkan UUD 1945 menganut yang pertama melalui bunyi pasal 1 ayat 1: “Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik.”
            Dalam dunia demokrasi, perbedaan antara monarki dan republik tidak lagi terlalu berarti. Raja-raja dalam sistem demokrasi boleh dikatakan hanya menjalankan peran seremonial dan simbolik. Satu-satunya perbedaan penting bahwa monarki dengan sendirinya parlementer, sementara republic dapat berupa parlementer atau presidensial. Meskipun begitu, patut dicatat bahwa ada beberapa sarjana  karena satu dan lain hal,sebagai bentuk penolakan terhadap hegemoni liberalisme dalam demokrasi, kemudian  menghidupkan kembali gagasan-gagasan republikanisme (Philip Pettit, 1997; John. W. Maynor, 2003).























BAB II
BENTUK  NEGARA  DAN SISTEM PEMERINTAHAN

1.      Bentuk Negara
A.    Negara Federal vs Negara Kesatuan
            Beberapa pertanyaan kunci yang patut diajukan dalam pembahasan materi  ini adalah :  pertama,  Apa perbedaan antara negara kesatuan dan negara federal? dan kedua, sebutkan beberapa contoh negara kesatuan dan negara federal ? Dan salah satu pertanyaan  lanjutan adalah ketika kita mulai membicarakan klasifikasi negara adalah : Apakah secara konstitusional ada pemisahan atau tidak kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah regional ? Jawaban atas pertanyaan itu menerangkan apakah negara yang bersangkutan termasuk jenis federal atau kesatuan. Klasifikasi yang dihasilkannya kita sebut bentuk negara. Semua negara modern di dunia dewasa ini niscaya tergolong ke dalam salah satu bentuk negara federal atau kesatuan. Dengan mengatakan hal ini tidaklah berarti bahwa semua negara federal dan semua negara kesatuan itu seragam. Pada kenyataannya, ada banyak ragam negara federal,sebagaimana juga ada banyak ragam negara kesatuan. Meskipun begitu tidak ada negara modern sekarang ini yang sama sekali tidak termasuk ke dalam kedua bentuk negara itu.Klasifikasi di atas sekaligus menetapkan sifat dasar negara federal,yaitu adanya pembagian kekuasaan secara konstitusional antara pemerintah pusat dan pemerintah regional, sementara pada negara kesatuan tidak ada pembagian kekuasaan seperti itu. Kedua sifat dasar ini perlu diklarifikasi lebih lanjut, yakni :
Pertama, tidak dapat dibantah di dalam negara kesatuan yang menganut otonomi luas, mungkin saja pemerintah regional mempunyai kekuasaan yang cukup besar yang hampir menyamai kekuasaan pemerintah regional dalam negara federal. Tetapi dipandang dari segi sumber kekuasaan, bagaimanapun, kekuasaan pemerintah regional dalam negara kesatuan bukanlah hasil suatu pembagian kekuasaan, melainkan akibat dari suatu penyerahan atau delegasi kekuasaan. Atau dengan kata  lain, kekuasaan regional itu berasal dari pemerintah pusat, kekuasaan itu mengalir dari atas ke bawah. Lain halnya pada negara federal. Kekuasaan semula dianggap milik regional dan karena itu dapat diangankan (imagined) bahwa dalam negara federal, penyerahan kekuasaan berjalan dari pemerintah regional kepada pemerintah pusat. Kekuasaan (seolah-olah) mengalir dari bawah keatas.
Kedua, pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah regional dijamin secara konstitusional. Artinya, pembagian kekuasaan itu tercantum dalam konstitusi, sementara delegasi kekuasaan pada negara kesatuan hanya diatur dalam undang-undang. Konstitusi federal dengan tegas mencantumkan kekuasaan atau wewenang yang diserahkan kepada pemerintah pusat, dan wewenang apa saja yang tersisa menjadi  milik  pemerintah regional. Sebaliknya, pada negara kesatuan, melalui undang-undang,pusatlah yang menentukan kekuasaan apa saja yang diserahkan kepada pemerintah regional dan setiap saat kekuasaan itu dapat dicabut atau diubah.Konstitusi tentu saja dapat diubah. Tetapi berbeda dengan undang-undang,prosedur perubahan konstitusi jauh lebih sukar.
Ketiga, dalam negara federal, sebetulnya tidak dikenal istilah pemerintah pusat, sebagaimana yang telah digunakan di atas. Berbeda dengan negara kesatuan yang memiliki “pemerintah pusat”, bentuk federal memiliki “pemerintah federal” atau “pemerintah nasional”. Jadi, jika negara kesatuan memiliki “pusat” kekuasaan, maka negara federal dapat dikatakan memiliki banyak “pusat”, yaitu unit-unit yang membentuk negara federal itu dan pemerintah federal itu sendiri. Prinsip politik yang menjiwai federalism adalah bagaimana koordinasi yang baik dapat berlangsung di antara pusat-pusat kekuasaan itu.
            Sampai di sini, barangkali perbedaan antara negara federal dan kesatuan kelihatan cukup jelas. Tetapi apapun yang dikatakan mengenai hubungan antara pemerintah federal dan entitas-entitas yang menyusunnya,dan antara pemerintah pusat negara kesatuan dan wilayah-wilayahnya,dalam praktek selalu ada derajat interdependensi yang tinggi di antara kedua tingkat pemerintahan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Persaingan antar-negara terutama di bidang ekonomi, tuntutan pemerintahan yang kian kompleks, dan meningkatnya partisipasi pada tingkat bawah menyebabkan timbulnya perkembangan yang agak aneh berupa pergerakan yang saling mendekati di antara federalisme dan unitarisme. Negara federal cenderung memperluas kekuasaan dan tanggung jawabnya, sementara dalam negara-negara kesatuan, dengan posisi tawar daerah yang semakin besar,pemerintah pusat kian dipaksa melonggarkan kekangan atau kekuasaannya. Di atas segalanya, kedua bentuk negara ini masih bertahan dengan keunggulan dan kekurangan masing-masing. Menurut Gavin Drewry (1995), label kesatuan berarti ketangguhan nasional dan kesatuan tujuan, khususnya dalam gelanggang internasional dan militer. Sementara label federalis menekankan suatu komitmen pada nilai-nilai demokrasi yang majemuk dan suatu kehendak untuk mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan berbeda dari penduduk yang beragam, khususnya dalam kebijakan dalam negeri. Terlepas dari penilaian ini, negara kesatuan dianggap cocok dengan negara kecil dari segi wilayah. Dengan bentuk kesatuan, negara kecil dapat menghilangkan duplikasi kegiatan dan kemungkinan konflik antara berbagai tingkat pemerintah. Sebaliknya, negara federal dianggap sebagai metode memerintah yang ampuh bagi negara-negara besar dan multikultural,terutama untuk menanggulangi potensi-potensi konflik akibat fragmentasi teritorial dan kultural pada umumnya.
            Dewasa ini dari kurang lebih 19 negara federal di dunia ada belasan negara federal demokratis, antara lain Amerika Serikat, Jerman, Kanada,Swis, Austria, Belgia, Australia, India, Malaysia, Spanyol, dan Brasil. Bentuk negara kesatuan tak terbilang jumlahnya, yang demokratis diantaranya adalah Inggris, Prancis, Yunani, Jepang, Filipina, Korea Selatan,dan Indonesia.














B.     Federalisme vs Konfederasi
1.            Federalisme
            Perkataan federalisme sering disenapaskan dengan negara federal atau federation, selama ini diindonesiakan sebagai “federasi”. Tetapi sebetulnya federalisme dapat diibaratkan sebagai sebuah spesies yang terdiri dari berbagai genus (Daniel J. Elazar, 1995). Federation atau negara federal adalah spesis yang paling dikenal dari berbagai spesis lain, yang secara khusus akan dibicarakan lagi nanti. Jenis federalisme yang lain adalah confederation atau konfederasi adalah suatu situasi di mana beberapa negara berkumpul untuk menciptakan pemerintahan umum dengan tujuan terbatas yang berfungsi melalui negara-negara anggota yang tetap merupakan negara berdaulat penuh. Sebelum beralih ke bentuk federal, “Amerika Serikat” sebelumnya merupakan bentuk konfederasi. Patut dicatat,bahwa Swis, melalui konstitusinya, menyebut dirinya sebagai konfederasi tetapi kalau ditilik lebih dalam negara itu sebenarnya negara federal biasa.
            Dewasa ini ada beberapa  konfederasi supra nasional, yaitu Uni Eropa,Caribbean Community and Common Market (Caricom – meliputi Antiguadan Barbude, Bahamas, Barbados, Belize, Dominika, Grenade, Guyana,Jamaika, dll.), dan Commonwealth of Independent States (CIS – meliputiArmenia, Azerbaijan, Belarus, Georgia, Kazakstan, Moldeva, Ukraina,Uzbekistan, dll.)
            Pengalaman federasi bukanlah hal yang baru dalam pengaturan kehidupan  masyarakat. Namun teoritisasi mengenai federasi, terutama dalam bentuk modernnya, merupakan hal yang relatif baru. Israel kuno telah menyusun struktur masyarakatnya  dalam 12 bani, antara lain Bani Qainuqa, Bani Nadhir, Bani Quraizhah.Pengalaman beberapa kawasan di Indonesia, juga mengungkapkan telah berlangsungnya pengaturan politik yang bercorak federatif. Dari Maluku Utara, misalnya, dahulu dikenal ada  4 kerajaan yakni Ternate, Tidore, Moti dan Makian. Ke-4 kerajaan tersebut lahir karena wilayah gunung mereka ditumbuhi pohon cengkeh sehingga akhirnya berkembanglah wilayah itu menjadi kerajaan-kerajaan. Karena kemudian cengkeh menguasai perdagangan dunia, maka pada tahun 1257 dibentuklah Konfederasi Maloko Kie Raha (Konfederasi empat kerajaan Maloko), yang merupakan bentuk  integrasi dari empat Kesultanan yang ada di Maluku Utara itu, yakni Kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo (Kerajaan Moti pindah ke Jailolo) dan Bacan (Kerajaan Makian pindah ke Pulau Kasiruta dan menjadi Kerajaan Bacan). Keempat kesultanan itu dipimpin oleh 4 Sultan yang merupakan saudara sekandung di mana Sultan Ternate yang paling kecil. Namun kemudian Kerajaan Ternate-lah yang menjadi pusat pemerintahan Konfederasi Maloko Kie Raha. Ke-4 kesultanan tersebut bersekutu dalam wadah konfederasi yang merupakan satu kerajaan Islam. Konfederasi tersebut dipahami sebagai satu kontrak sosial dari kumpulan interaksi dan didalam nilai, badan ini adalah satu misi moral.  Pada perkembangannya kemudian hanya Kesultanan Ternate dan Tidore saja yang yang mampu melakukan ekspansi keluar Maluku Utara, contohnya seperti Tidore yang melakukan ekpansi ke Seram dan Papua serta Ternate yang sampai ke Indonesia bagian Tengah bahkan Philipina. Dalam perkembangan kesultanan selama tiga abad (dari abad XIII sampai abad XVI) Kesultanan Ternate merebut hegemoni di Maluku Utara dan kesultanan Jailolo, Tidore dan Bacan berada dibawah naungannya. Kesultanan Ternate mencapai masa jayanya dibawah pemerintahan Sultan Baabullah(1570-1583).
§  Perkembangan Federasi dari Masa ke Masa
Bentuk federasi paling tua dapat ditemukan di benua Eropa, namun konsep federasi  baru muncul  setelah dibentuknya federasi Amerika, ia  dimunculkan  sebagai bentuk tengah  kontestasi negara-negara bagian. Amerika membentuk negara federasi pada akhir tahun 1787, ketika para pembentuk konstitusi Amerika memilih pengaturan politik  bercorak federatif sebagai bentuk negara merdeka.
Pasca perang dingin, federasi muncul dan meluas sebagai tema penting. Revolusi federal sedang melanda dunia,  demikian dikatakan Elazar, untuk menggambarkan hal di atas. Ini  dikarenakan munculnya gerakan-gerakan nasionalis serta muncul, meluasnya ketegangan etnik. Di Eropa, federasi muncul untuk menegaskan identitas baik lokal maupun dalam kesatuan yang lebih luas dan sebagai negosiasi untuk memecahkan masalah politik dan kekuasaan pada masyarakat etno-regional. Di Afrika Selatan -- yang dibentuk hanya dalam waktu 24 jam setelah politik apartheid runtuh -- federasi dimaksudkan untuk melahirkan pemerintah yang lebih adil.
            Pengalaman yang diungkapkan berbagai pengaturan federasi menunjukan sangat beragamnya makna federasi. Federasi dapat dimengerti sebagai sistem kepentingan bersama, common defense, sebagaimana Mongolia pada masa Jengis Khan. Dapat pula dimengerti sebagai bentuk tengah antara konfederasi dan negara kesatuan, sebagaimana pengalaman Amerika Serikat. Atau sebagai proyek khusus  menghadapi persoalan tertentu – seperti sejarah kehadiran federasi di sejumlah Negara untuk mengakomodasi keunikan, bahasa, misalnya, seperti terlihat dari pengalaman Papua, Aceh di Indonesia, Qubec di Canada, dsbnya.  Pengalaman sejumlah tempat tersebut menunujukan adanya penerapan prinsip “desentralisasi asimetris” dengan diberikannya otonomi khusus.
2.       Asal Muasal Federasi
            Proses kehadiran federasi pun juga beragam. Federasi Jerman terbentuk karena perubahan konstitusi yang dilakukan oleh Sekutu ketika Jerman kalah perang  melawan Sekutu  tahun 1948. Federasi di India merupakan warisan kolonial (coloniallegacy), sejak awal India didesain sebagai negara federasi oleh Inggris. Di Amerika Serikat, federasi terbentuk sebagai kompromi antara kehendak konfederasi, bahkan pembentukan Negara merdeka dengan hasrat sentralisasi yang kuat. Di Uni Soviet, federasi terbentuk sebagai akibat dari perubahan konfigurasi politik menyusul tumbangnya regim feodalisme. Sementara di Spanyol, federasi terbentuk sebagai akibat perubahan konstitusi menyusul meninggalnya Franco sebagai symbol dari kekuatan politik militer-represif yang sentralistik.
            Federasi berasal dari kata foedus yang berarti perjanjian. Johannes Althusius (1562-1638) dalam bukunya Politica (1603, 1610)  memformulasikan konsep federalisme sebagai berikut:
On all levels the union (consociatio) is composed of the units of the preceding lower level --  the village  was a federal of union of families, the town a union of a guilds, the province a union of a towns, villages, the kingdom or state a union of such provinces, and the empire  a union of such states and free cities -- so that when we arrive at the top, the members of a state (regnum) neither individual persons nor families, guilds, or other such lower communities, but only the provinces and free cities
Berbeda dengan konsep Althusian yang melihat federasi sebagai kumpulan provinces dan free cities, konsep federasi Amerika memandang bahwa federasi merupakan kumpulan individu warga negara.
Sebagai ideologi, federalisme mempercayai bahwa pengaturan ideal urusan-urusan antar manusia adalah dengan melihat perbedaan dalam persatuan. Dalam konteks ini, federalisme dikenal sebagai:
a)      Ideologi pemusatan tanpa harus mempromosikan sentralisme, atau desentralisasi
b)      Doktrin penyeimbang, sebagaimana disebutkan Proudhon (bapak federasi modern) 250 tahun lalu,  hanya federasi longgar yang dapat memberikan solusi efektif terhadap masalah kunci dari organisasi sosio-politis rekonsiliasi antara kekuasaan dan kebebasan. Ia merumuskan Negara Federal ataupun federalisme sebagai:
·         penghalang sentralisasi dan penyeragaman, sebaliknya menjadi pendorong distribusi kekuasaan dan penjamin keanekaragaman
·         penakhluk autoritarianisme sekaligus karib demokrasi
·         musuh ketertinggalan ekonomi sekaligus sahabat kemajuan ekonomi.
·         senjata pamungkas bagi ketimpangan sosial dan spatial sekaligus alat mempromosikan keadialan sosial serta kesimbangan antar daerah.
Dicey, memperlebarnya dengan mengidentifikasi ide federal sebagai penuh dengan cita-cita mencapai keseimbangan antara sentralisasi  dan desentralisasi, mencerminkan keinginan masyarakat untuk persatuan tetapi bukan kesatuan (union but not unity). Dalam konteks ini, ide federasi singkatnya adalah semacam kompromi yang ditunjang oleh gambaran saling kontrol antara kesatuan dan perbedaan, otonomi dan kedaulatan, nasional dan regional.
c)      Proyek teritorial dan non teritorial dalam masyarakat multietnis.





3.      Prasyarat Federasi
Syarat menjadi federasi : perasaan nasional, sense of nationality diantara negara bagian. Sense nationality tersebut diwujudkan dalam persatuan bukan  kesatuan. Sense atau feeling ini bisa dibangun dengan adanya imajinasi – seperti diistilahkan  Bennedict Anderson dengan imagine comunity-nya -- atau cita-cita bersama.
Ciri dasar federasi :
1.      Negara bagian terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik nasional
2.      Adanya sistem perwakilan wilayah di tingkat pengambilan keputusan nasional. Jumlah wakil rakyat di Jerman untuk tiap negara bagian tidaklah sama, tergantung jumlah penduduk, kontribusi negara, sejarah. Bavaria adalah negara bagian dari Jerman yang paling banyak wakil rakyatnya, yaitu 5. Negara dengan kontribusi yang sedikit hanya memiliki wakil 2 atau 3 orang saja.
3.      Keputusan masuk atau keluarnya negara bagian dalam suatu federasi dilakukan melalui mekanisme politik yang rumit.
4.      Adanya kesatuan kekuasaan tertinggi yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa antar negara bagian, Supreme Court di Amerika contohnya. Dan ini adalah perbedaan fundamental  bentuk negara federal dengan kesatuan, setiap sengketa diselesaikan melalui mekanisme hukum bukan secara politis.
5.      Negara-negara bagian disusun dalam suatu tingkatan
6.      Masing-masing negara bagian memiliki kostitusi sendiri
7.      Adanya supremasi konstitusi
8.      Ada distribusi kekuasaan federasi dengan negara bagian
Sampai dengan tahun 1990-an federasi seringkali  dikontraskan dengan kesatuan, ini dikarenakan negara  kesatuan identik dengan sentralisasi dan negara federasi identik dengan desentralisasi. Selain itu negara federasi juga mulai mengadopsi elemen-elemen negara kesatuan, begitu juga sebaliknya. Hans Linch (1997)  mengatakan dikotomi antara federasi dengan kesatuan adalah hal yang tidak relevan, hampir semua negara kesatuan bergerak ke arah federal. Dikotomi Negara kesatuan dan federasi hanya relevan ketika negara kesatuan identik dengan sentralisasi dan negara federal dimaknai sebagai penyebaran kekuasaan. Graham Smith menyatakan, satu dari sepuluh struktur negara federal di dunia saat ini tidak bisa dibedakan lagi dengan struktur negara kesatuan. Sehingga letak persoalannya adalah pada substansi dan prosedur  pengelolaan  kekuasaan negara, apakah ia dikelola mengikuti prinsip desentralisasi atau sentralisasi,  bukan pada bentuk negara-federasi atau kesatuan.
Kropotkin, seorang teoritikus federasi, menyebutkan  bentuk negara kesatuan adalah inkarnasi setan, dikotori kepentingan borjuis, para nasionalis yang anti segala hal berbau asing (xenopobhic). Ia merumuskan Negara federal sebagai “malaikat penyelamat”. Sejumlah ahli menyimpulkan rata-rata negara demokratis dan makmur adalah negara federal. Tetapi kesimpulan seperti ini akan menyesatkan. Karena kesimpulan  semacam ini secara sengaja memilih sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman sebagai contoh kisah sukses negara federal. Sedangkan negara dunia ketiga seperti Indonesia dipilih secara sengaja sebagai representasi dari negara kesatuan.
Bekas negara Uni Soviet dan Yugoslavia adalah contoh federasi yang tidak demokratis dan tidak makmur secara ekonomi. Bahkan Duchacek menyebut negara-negara komunis tersebut sebagai federasi-federasi palsu. Di kawasan Asia Tenggara, Myanmar tetap menjadi negara otoriter dan terbelakang baik ketika berbentuk negara kesatuan maupun ketika masih berbentuk federasi antara tahun 1947 dan 1974. Brasil, salah satu negara di kawasan Amerika Latin, mengalami nasib yang sama. India adalah contoh negara federal yang gagal dari sudut ekonomi sekalipun berhasil dari sudut demokrasi.Tetapi sebutan palsu juga dapat diberikan pada negara kesatuan yang sentralistik. Lebih lagi, pelabelan palsu tidak sendirinya menggugurkan kenyataan bahwa bekas Uni soviet dan sejumlah negara di Eropa Timur lainnya adalah negara federal
Pada saat bersamaan terdapat banyak negara demokratis dan maju, misalnya Perancis, Inggris-sekalipun sejumlah ahli menyebut Inggris sebagai varian  negara federal- dan Jepang yang juga merupakan negara kesatuan. Seorang ahli Federasi, King, memperingatkan, “....kisah federasi berisi sama banyaknya mengenai keberhasilan dan kehancuran”. Riker, seorang pemikir federasi, di tahun 1964 mengingatkan, adalah kekeliruan ideologis untuk mengkaitkan federasi dengan jaminan kebebasan, tanpa meneliti jenis hak dan kebebasan budaya serta bagaimana hak dan kebebasan ini diterapkan secara sosial maupun spatial.
Apa yang disebut sebagai penyakit negara kesatuan yaitu sentralisasi dan penyeragaman bisa dengan mudah ditemukan dalam negara federal, sama mudahnya pada negara kesatuan, bekas Uni soviet adalah buktinya. Autoritarianisme juga bisa tumbuh subur di negara federal seperti di banyak negara Amerika Latin. Sementara ketimpangan antar kelompok dan daerah menjadi gejala di banyak negara, baik ia berbentuk federasi atau kesatuan.
Asumsi ancaman separatisme atau disintegrasi akan berlalu dengan diterapkannya bentuk negara federal lebih sebagai mitos ketimbang realitas. Walaupun  Kanada selalu dirujuk sebagai salah satu contoh federasi yang stabil, Kanada hingga kini tetap dihadapkan pada ancaman keluarnya Quebec melalui referendum yang terus berulang. Padahal Kanada sudah memberlakukan prinsip “asimetris” dalam format federasinya, yaitu Quebec diberi hak istimewa lewat diterimanya penggunaan bi-lingual bahasa Inggris dan Perancis  di seluruh sektor publik bahkan di lingkungan perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 40 orang.
Hal yang sama juga dialami Spanyol. Paska era kediktatoran Franco, pertengahan tahun 1970-an, Spanyol memutuskan untuk menjadi negara federal. Disamping untuk kepentingan demokrasi, langkah ini diyakini kan mengurangi hasrat warga Basque untuk menuntut kemerdekaan.Tetapi tetap saja, perubahan menjadi negara federal tidak  mengurangi  hasrat sebagian warga Basque untuk menuntut kemerdekaan. Gerakan separatis ETA, sejak akhir Desember 1999 bahkan kembali angkat senjata setelah 24 bulan diam untuk meprjuangkan kemerdekaan Basque dari Spanyol. Awal Maret 2001, sejumlah tokoh belia mereka yang tergabung dalam “Haika” (Raising up) ditangkap pihak kepolisian Spanyol. Sementara pemberontakan suku Karen di Myanmar masih sama intensnya saat ini dibandingkan ketika ia berbentuk federasi hingga tahun 1974.
Pada tingkat yang lebih praktis, negara federal dianggap lebih unggul dalam memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang lebih efisien  kepada masyarakat.. Dalam konteks ini Newton menyatakan, ”satu-satunya yang bisa kita simpulkan dengan penuh keyakinan adalah bahwa di bawah kondisi-kondisi yang belum bisa dipahami sepenuhnya, mungkin penguasa lokal bertindak lebih besar atau lebih kecil atau kurang ekonomis”.
Federalisme juga bukanlah hal yang statis, federalisme merupakan proses dan masih terus berproses. Bila mencermati evolusi federalisme Amerika Serikat akan diketahui bahwa federalisme di Amerika Serikat telah mengalami paling tidak 4 tahapan evolusi, dari “dual” federalism atau “state mercantilism” (1790-1860), “a centralizing” federalism (1860-1933), the new deals “cooperative” federalism hingga the “creative” federalism yang muncul belum lama ini.
            Rujukan pada Amerika Serikat sebagai prototipe ideal federalisme – sebagaimana dikatakan Duchacek bahwa federasi yang ideal bila dapat disejajarkan dengan model Amerika -- mengaburkan fakta bahwa bentuk-bentuk federalisme sangat beragam. Data hingga tahun 1988 menunjukkan, sekitar 35% dari 185 negara didunia saat itu  mengambil bentuk federasi. Tetapi bentuknya  sangat bervariasi, yang mengambil bentuk federasi murni seperti Amerika Serikat (18 negara), federal arrangement, seperti Inggris (17 negara), associated states seperti Monaco terhadap Perancis (23 negara). Faktor sejarah, sosio kultural, sosio ekonomi, sosio politik, geografi etnik akan mempengaruhi bentuk sebuah negara.
§  Bentuk Federal
            Salah satu genus federalisme yang kurang dikenal, tapi sesungguhnyan penting adalah bentuk federasi. Jika di Indonesiakan menjadi “federasi” –jadi sama dengan pengindonesiaan federation. Suatu federasi  adalah suatu susunan yang terdiri atas suatu negara kecil secara konstitusional terikat dengan suatu negara besar (the federate power) dalam cara asimetris. Didunia ini cukup banyak bentuk federasi. Dapat disebutkan di antaranya,Amerika Serikat dengan Puerto Rico dan Northern Marianas, Denmark dengan Greenland dan Faroe Islands, United Kingdom dengan Guernsey,Isle of Man, Jersey, India dengan Kashmir, dan Portugal dengan Macao.Negara induk atau federate power dapat berupa federal atau kesatuan.Sambil lalu, patut dicatat, Alfred Stepan (1999) menganjurkan agar Indonesia membangun bentuk federasi dengan Aceh dan Papua. Menilikisinya, Nota Kesepahaman RI-GAM juga mengarah ke bentuk federasi.
Masih dapat ditambahkan sebagai genus federalisme, yaitu associatestate yang secara nominal berdaulat tetapi secara konstitusional terikat dengan atau tergantung pada negara lain untuk tujuan-tujuan tertentu,misalnya Monaco dengan Prancis, Republik Palau dengan Amerika Serikat,dan San Marino dengan Italia. Yang terakhir condominium, yaitu negara yang secara bersama-sama diawasi oleh dua negara atau lebih. MisalnyaPrancis dan Spanyol atas Andorra.
§  Ciri-ciri Tambahan Negara Federal (Supremasi hukum, non centralisasi, ada kekuasaan judicial review yang dipegang oleh MA atau MK)
            Ketika membandingkan negara federal dan negara kesatuan, telah dibahas ciri dasar negara federal dan beberapa ciri tambahan yang menyertainya. Untuk mengulangi, ciri dasar itu (istilah disesuaikan) adalah adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah nasional dan pemerintah unit-unit yang lebih rendah. Pembagian kekuasaan itu dijamin dalam konstitusi, maka ciri tambahan negara federal adalah supremasi konstitusi.
            Sudah dikemukakan pula, bahwa negara federal tidak mengenal “pemerintah pusat”, seperti pada negara kesatuan. Jadi, non centralization merupakan ciri tambahan lain bagi bentuk federal.Di luar itu dapat ditunjuk pula sebagai ciri tambahan, yaitu adanya legislative dua-kamar dengan majelis federal yang kuat untuk mewakili wilayah-wilayah yang membentuk federasi itu. Wilayah atau unit yang membentuk negara federal diberi nama bermacam-macam, seperti negara bagian (di Amerika Serikat, India, Australia, Malaysia, dan Venezuela), provinsi (Kanada), canton (Swis), region atau wilayah (Belgia). Ciri lain adalah bersangkut paut dengan kekuasaan pengadilan untuk memutuskan jikaterjadi konflik antara pemerintah federal dan pemerintah daerah – yaitu,kekuasaan judicial review yang dipegang oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Berbeda degan negara kesatuan, kehadiran kedua lembaga ini mutlak bagi negara federal.
            C.F. Strong (2004) hanya menunjuk tiga ciri negara federal, yaitu (1)supremasi konstitusi; (2) pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan negara bagian; dan (3) suatu kewenangan tertinggi untuk menyelesaikan  segala persengketaan yang mungkin timbul di antara pemerintah federal danpemerintah negara bagian. Sebaliknya, Daniel J. Elazar (1995), seorang ilmuwan yang banyak mendalami federalisme, menyebutkan enam prinsip dasar federalisme yaitu (1) tidak tersentralisasikan (noncentralization); (2)condong pada demokrasi; (3) membangun suatu sistem checks and balances;(4) bekerja melalui proses tawar-menawar terbuka; (5) mempunyai konstitusi tertulis; dan (6) adanya unit-unit yang pasti (fixed units).
            Dikatakan bahwa demokrasi federal bersandar pada suatu sistem checks and balances. Negara harus disusun sedemikian rupa sehingga setiap institusi dicek/dikoresi dan diimbangi oleh institusi-institusi lain yang mempunyai kekuasaan konstitusional dan yang cukup otonom untuk menopang dirinya secara politik dan sosial. Sementara prinsip fixed units berhubungan dengandemarkasi atau batas pemisah dalam negara yang harus ditetapkan secarakonstitusional. Pemisahan dapat bersifat teritorial, consociational, ataukeduanya.

C.    Negara Federal dari  Segi Proses Pembentukannya

            Sering kita membayangkan bahwa suatu negara federal terbentuk melalui proses sebagai berikut: Sejumlah negara berdaulat secara sukarela berkumpul dengan tujuan menyatukan diri tetapi berkeinginan untuk tetap mempertahankan sebagian kekuasaan masing-masing sebagai syarat penyatuan itu. Setelah melalui perundingan mereka pun sepakat bergabung dalam sebuah negara federal. Proses inilah yang memang dilalui oleh Amerika Serikat – negara federal pertama di dunia. Suatu kompromi yang cerdas dan pragmatis di antara negara-negara yang bersaing di satu pihak dan kebutuhan untuk bersatu dan bekerja sama di lain pihak. Kompromi itu dicapai dalam Konvensi Tahun 1787.Tidak semua negara federal melalu proses ini, karena negara federalpun dapat dibentuk oleh negara-negara merdeka dan berdaulat sebelumnya. Selain AmerikaSerikat, yang melalui proses ini adalah Swis dan Australia. Sebagian yang lain memutuskan menjadi federal setelah melihat bahwa keberagaman masyarakatnya terancam kelanggengannya jika tetap bertahan sebagai negara kesatuan. Contohnya Belgia. Negara ini berbentuk kesatuan dan tersentralisasikan untuk jangka waktu yang lama. Sejak 1970, Belgia secara berangsur-angsur bergerak menuju desentralisasi dan federalisme. Dan baru pada 1993 Belgia secara resmi menjadi negara federal.
Hampir sama dengan Juan J. Linz (2001), Alfred Stepan (1999) menamai negara federal yang dihasilkan oleh proses pertama sebagai coming-together-federalism atau federalisme berkumpul-untuk bersatu. Sedangkan hasil dari proses kedua disebutnya sebagai holding-together-federalism atau federalisme mempertahankan-kebersamaan. Ditambahkan suatu federalisme jenis lain yang disebutnya putting-together-federalism atau federalisme memaksakan-kebersamaan yang tidak demokratis seperti USSR.

D.    Negara Federal Simetris dan Asimetris
            Negara federal juga dapat dibedakan dari segi apakah kompetensi atau wewenang unit-unit yang menyusun negara federal itu seragam atau tidak.Jika seragam, yang berarti semua unit lebih kecil menikmati kekuasaan yang setara dan mempunyai suatu hubungan serupa dengan pemerintah federal,maka negara federal itu disebut simetris. Sebaliknya, jika tidak seragam,yang berarti bahwa ada satu unit atau lebih yang diberi wewenang khususyang tidak diserahkan kepada unit-unit selebihnya, maka negara federal itu disebut asimetris. Jenis federacy, seperti yang telah dibicarakan ini adalah federalisme asimetris karena unit yang lebih kecil jelas mempunyai kedudukan yang berbeda dibandingkan dengan unit-unit lain dari negara induk (the federate power).
            Negara federal klasik, seperti Amerika Serikat, biasanya bersifat simetris. Federalisme klasik ini dianggap tidak cukup sensitif terhadap kebutuhan kultural yang khas dan kebutuhan-kebutuhan lain dalam suatu komunitas tertentu. Tidak mengherankan jika sejumlah negara federal,seperti Swis, Kanada, India, dan Rusia, memilih bentuk yang asimetris. Model federal seperti ini dengan sendirinya tidak diperlukan jika tujuannya hanya untuk mengakomodasikan satu atau dua kelompok minoritas. Dalam situasi yang demikian cukup diterapkan bentuk federacy bagi kelompok minoritas yang bersangkutan.Belgia merupakan contoh negara federal asimetris dengan susunan yang sangat rumit. Susunan federalnya berlapis dua : lapis pertama terdiri atas tiga region (wilayah) yang dibatasi secara geografis – Flander,Wallonia, dan ibu kota Brussel yang bilingual, sedang lapis kedua terdiri atas dua komunitas yang berbahasa Belanda dan berbahasa Prancis dan komunitas berbahasa Jerman yang jumlahnya jauh lebih kecil. Setiap region dan komunitas mempunyai legislatif dan eksekutifnya sendiri, kecuali bahwa pemerintah komunitas Flander yang berbahasa Belanda juga bertindak sebagai pemerintah untuk region Flander.
E.     Unitarisme (Kata Kunci: peranti asimetri, otonomi, otonomi khusus, kriteria unitarisme,  masyarakat multicultural)
            Berbeda dengan negara federal, bentuk unitarisme tidak mengenai pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah unit yang lebih rendah. Pemerintah pusat memegang kedudukan tertinggi dan memiliki  kekuasaan penuh dalam pemerintahan di seluruh negara tanpa adanya batasan konstitusi yang memberikan kekuasaan kepada unit-unit pemerintahyang lebih rendah. Dalam negara kesatuan pemerintah pusat dapat, dan biasanya  melimpahkan kekuasaan  kepada unit-unit yang lebih rendah. Namun pelimpahan itu tidak oleh konstitusi, melainkan melalui undang-undang yang sekurang-kurangnya di atas kertas, setiap saat dengan mudah dapat ditarik kembali. Jadi, bagaimanapun besarnya kekuasaan yang dilimpahkan, kekuasaan tetap sepenuhnya di tangan pusat. Sekadar untuk menegaskan kembali, maka dapat disimpulkan sebagai ciri tambahan unitarisme, yang bersumber pada ciri dasarnya, yaitu tidak adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah, yang ada adalah adanya : (1) kekuasaan eksekutif dan legislatif yang terpusat dan (2)kekuasaan itu tidak dapat dibagi dengan unit yang lebih rendah. Kedua ciri tambahan itu oleh C.F. Strong—baginya, ini merupakan sifat penting negara kesatuan—disebut sebagai supremasi parlemen pusat dan (3) tidak adanya badan-badan berdaulat tambahan.
            Ciri-ciri unitarisme yang disebutkan di atas tampaknya perlu diberi kualifikasi lebih lanjut. Dalam perkembangan kehidupan ketatanegaraan dewasa ini terlihat ada kecenderungan negara-negara unitaris untuk mengadopsi institusi-institusi independen, tidak terkecuali institusi-institusiyang aslinya ditemukan dalam presidensialisme yang federal seperti lembaga judicial review dan bank sentral yang independen-terutama jika diangkat sebagai ketentuan konstitusi, sedikit banyaknya akan mengikis supremasi parlemen, misalnya: dapat ditambahkan pula, negara-negara kesatuan yang multikultural dan multietnis, demi mempertahankan“kesatuan”nya seringkali  harus memberi konsesi yang bersifat federal - dan hal ini berarti melemahkan unitarisme negara itu.

F.           Bentuk Negara Kesatuan

            Semua negara yang dapat disebut sebagai unitaris di dunia satu sama lain mempunyai perbedaan yang sangat besar dipandang dari segi hubungan konstitusional dan institusional antara pemerintah pusat, regional, dan lokal. Negara-negara itu berbeda, misalnya, dari segi luasnya wewenang pemerintahan yang dilimpahkan dan pada tingkat mana bobot otonomi diberikan. Tetapi negara-negara itu juga dapat berbeda dalam banyak hal lain sehingga praktis sukar diklasifikasikan.Setiap negara kesatuan boleh dikatakan mempunyai keunikannya sendiri (Gavin Drewry, 1995). Prancis, misalnya, yang mempunyai tradisi unitaris yang sangat kuat, menggunakan jaringan “pengawas” (prefect) yang diangkat secara sentral untuk mengawasi pejabat daerah. Pada awal 1980-an  terlihat adanya desentralisasi kekuasaan dari prefect ini kepada kekuasaan   lokal tetapi tidak sampai pada tingkat mengubah sifat kesatuan Negara          Prancis. Di sisi lain, Inggris memberi suatu variasi lain yang aneh. Dari Tahun 1920 sampai Tahun 1973 lingkungan khusus Irlandia Utara diakomodasikan dengan suatu susunan kuasi-federal sehingga provinsi itu mempunyai eksekutif dan legislatif yang setengah berjarak dengan kekuasaan besar. Sementara itu  Skotlandia dan Wales merupakan bangsa di dalam bangsa – tunduk pada kekuasaan pemerintah Inggris dan Parlemennya tetapi dengan susunan administratif berbeda melalui kementerian teritorial. Seperti telah disinggung sebelumnya, Inggris juga mempunyai tiga federasi.
·         Bentuk Asimetri dalam Unitarisme
          Mengkaji  tentang keunikan unitarisme Inggris mengantarkan kita ke dalam masalah penerapan peranti/bentuk asimetri dalam negara kesatuan. Seperti terlihat, Inggris banyak memakai peranti itu dalam susunan ketatanegaraannya. Inggris mempunyai tiga federasi, sementara untuk Skotlandia dan Wales berlaku susunan administratif tersendiri. Malah,asimetris itu terlihat sampai sejauh melimpahkan kekuasaan yang setidaknya secara teknis berwujud pemerintahan sendiri bagi Irlandia Utara. Inggris pun terkesan lebih menyerupai negara federal sehingga timbul pertanyaan: Apakah United Kingdom masih layak disebut negara kesatuan?Jawaban atas pertanyaan itu harus dikembalikan kepada criteria unitarisme. Sejauh ini semua pelimpahan kompetensi itu bersumber dari keputusan Parlemen Westminster dan tak kurang pentingnya penyelenggaraannya pun tetap di bawah pengawasan Westminster. Hasil legislasi untuk hal-hal tertentu di Irlandia Utara, misalnya, mensyaratkan persetujuan Menteri Urusan Irlandia Utara dan Parlemen. Dengan demikian,dapat disimpulkan bahwa United Kingdom tetap unitaris betapapun besarnya wewenang khusus yang diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Meskipun begitu ada catatan kecil. Berbagai keputusan Westminster dalam soal ini sebetulnya lebih didorong oleh tuntutan masyarakat setempat sehingga pemberian status khusus itu dapat dipandang sebagai semacam perjanjian yang kedudukannya setingkat dengan konstitusi. Lebih lanjut, juga cukupberalasan untuk mengatakan apa yang disebut sebagai supremasi Westminster di sini, dalam banyak hal, lebih merupakan persetujuan proforma.
            Pembahasan kasus Inggris di atas bertalian dengan batas-batas penerapan peranti asimetri dalam negara kesatuan. Dalam federalisme,penerapan peranti itu boleh dikatakan sesuai dengan logika federalisme,  sungguhpun bukannya tak ada persoalan di situ, yaitu konflik antara hak-hak dan kesetaraan individu versus hak-hak dan nilai-nilai kolektif. Bagaimana jika dalam unitarisme? Sampai sejauh mana peranti asimetri itu dapat diterapkan dalam susunan ketatanegaraan unitaris yang biasanya dianggap menekankan keseragaman atau kesatuan dalam pemerintahan dan hukum? Pertanyaan paling pokok, yang juga berlaku dalam federalisme, sampai dimana otonomi kultural, misalnya, dapat “membelakangi” hak-hak individu yang diakui  oleh konstitusi? Pertanyaan itu terlampau pelik untuk dijawab disini. Tetapi apapun jawabannya, satu hal yang pasti: prinsip asimetri merupakan peranti yang ampuh dan kadang-kadang diperlukan untuk menyelesaikan konflik dalam masyarakat multikultural.
            Indonesia sendiri sejak awal telah menerapkan peranti asimetri dalam susunan ketatanegaraannya yang memberikan status istimewa kepada daerahYogyakarta. Dalam perjalanannya kemudian, status khusus juga diberikan kepada Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Peranti asimetri ini merupakan pengejawantahan Pasal 18 UUD 1945 asli yang mengakui “hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Dengan sedikit perubahan, hasil amandemen UUD 1945 masih mempertahankan prinsipasimetri itu dalam bab Pemerintahan Daerah. Dipandang dari sudut kepentingan masyarakat multikultural, ketentuan UUD 1945 tersebut patut dihargai sebagai suatu penemuan yang cerdas dari Founding Fathers Indonesia. Berkumpul untuk Mempertahankan dan Memaksakan Hidup bersama dalam kebersamaan yang penuh keragaman.

























II. Bentuk & Sistem Pemerintahan

A.    Pengantar
            Sesuai dengan uraian di muka, segera dapat dirumuskan di sini bahwa“bentuk pemerintahan” berbicara tentang struktur kekuasaan negara dari segi relasi antara cabang-cabang pemerintahan yang ditentukan oleh konstitusi,khususnya relasi antara eksekutif dan legislatif. Dengan kata lain, relasi eksekutif-legislatif merupakan esensi dari “bentuk pemerintahan”. Relasi atau interaksi itu berbeda pada setiap negara yang tentu saja hanya dapat dipahami secara mendalam dengan mengkaji pula sistem kepartaian negara itu, termasuk sistem pemilihan yang dianutnya. Tetapi titik berat pembicaraan sekarang hanyalah pada ciri-ciri umum setiap jenis “bentuk pemerintahan” yang ada dalam praktek demokrasi di dunia.
            Bentuk pemerintahan pada dasarnya menekankan relasi yang berbeda antara eksekutif dan legislatif dalam dua jenis bentuk pemerintahan: dalam hal eksekutif bertanggung jawab terhadap legislatif, dan karena itu tergantung pada, legislatif maka kita memperoleh pemerintahan parlementer, sedangkan sebaliknya kemandirian kekuasaan eksekutif terhadap legislatif merupakan ciri khas pemerintahan presidensial.
Kedua jenis hubungan ini dapat dianggap sebagai bentuk dasar dalam sistem pemerintahan demokrasi. Hampir semua negara demokrasi di dunia boleh dikatakan cocok dengan salah satu di antara kedua bentuk dasar tadi : parlementer atau presidensial. Contoh klasik bentuk parlementer adalahInggris yang terkenal dengan sebutan model Westminster – disebut begitu,karena parlemen Inggris bersidang di gedung Istana Westminster. Contoh klasik bentuk presidensial adalah model Amerika Serikat, yang juga dapat disebut sebagai model Washington.
Di luar kedua bentuk dasar tadi, bentuk-bentuk antara juga dikenal yang dikategorikan sebagai bentuk campuran atau cangkokan karena mencampurkan atau mencangkokan parlementarisme dan presidensialisme.Sering disebut sebagai bentuk pemerintahan semi-presidensial. Secara sangat longgar, di bawah rubrik ini dapat dimasukkan Austria, Iceland,Irlandia, Prancis, Portugal, Sri Lanka, dan Finlandia. Yang melakukan pencangkokan secara “paripurna” adalah Republik Kelima Prancis dan karena itu dijadikan model bagi semi-presidensialisme.
            Bentuk pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 yang Asli, menerapkan pula sejenis presidensialisme yang unik, yaitu presiden yang tidak dipilih langsung oleh rakyat tetapi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Meskipun telah ditinggalkan melalui Amandemen UUD ‘45, bentuk ini akan dibicarakanpula di bawah kategori semi-presidensialisme.
            Suatu model lain yang diangkat oleh, dan boleh dikatakan penemuan,seorang ilmuwan keturunan Belanda Arend Lijphart, dikenal dengan nama model demokrasi consociational atau model konsensus. Model ini padadasarnya parlementer, dan memang negara-negara yang menerapkannya,yaitu Belgia, Austria, dan Swis, sebelumnya dengan begitu saja ditempatkandi bawah rubrik parlementer. Tetapi berbeda dengan model Westminster yang didasarkan pada prinsip mayoritas, model konsensus didasarkan pada prinsip powersharing – dalam hal ini, para elite secara sadar memilih kerjasama untuk mengimbangi pembelahan negara dan subkultur berbeda.

B. Beberapa Model Bentuk Pemerintahan
1. Parlementarisme
            Sejarah parlementarisme bertalian erat dengan sejarah transformasi monarki-monarki di Eropa, khususnya di Inggris (baca: the United Kingdom). Di Inggris, proses transformasi itu berlangsung secara relative tenang, perlahan-lahan dan bertahap yang kemudian sampai pada bentuk parlementarisme yang dikenal seperti sekarang. Selain prosesnya evolusioner, sistem pemerintahan ini tidak bersumber dari suatu gagasan pemikir besar dan bukan pula hasil kesepakatan yang dituangkan dalam suatu konstitusi tertulis – bahkan Inggris hingga sekarang tidak mengenal konstitusi tertulis.
Dalam garis besarnya, proses transformasi itu berlangsung dalam tiga tahap, sekalipun peralihan dari satu tahap ke tahap yang lain tidak selalu tampak dengan jelas (Douglas V. Verney, 1963). Tahap Pertama : Pada tahap ini,  sering disebut sebagai tahap monarki absolut, dimana raja memerintah secara mutlak dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keseluruhan sistem politik. Apa yang disebut pemerintah tidak lebih adalah sekretaris-sekretaris yang membantu raja dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jika kemudian terdapat semacam “majelis” hanyalah dimaksudkan untuk mengetahui pendapat umum dan untuk mencari dukungan, khususnya dukungan finansial bagi kebijakan luar negeri sang raja.
Tahap Kedua : Lambat-laun majelis tadi memiliki posisi tawar yang lebih besar sehingga sanggup mengklaim yurisdiksi bagi dirinya sebagai kekuasaan legislatif yang berbeda dari kekuasaan eksekutif raja. Untuk selanjutnya raja pun semakin tergantung pada suatu eksekutif dan pada kemauan baik majelis. Di Inggris, pada 1667 Raja Charles II memilih lima penasehat utama atas pertimbangan kemampuan mengontrol suara di Majelis Rendah. Di sini kita berada pada fase monarki  konstitusional.
Tahap III : Tradisi menyeleksi penasehat-penasehat yang juga sebagai kepala-kepala administrator di antara para anggota majelis yang berpengaruh terus berlangsung dan akhirnya majelis mengambil alih tanggung jawab pemerintahan dan bertindak sebagai sebuah parlemen. Sementara itu sang raja kehilangan kekuasaan eksekutifnya yang diambil alih oleh para menteri yang menganggap majelis yang berdaulat. Para menteri semakin tergantung pada majelis dan berhenti ketika majelis menarik kepercayaannya.
Pengangkatan Sir Robert Walpole pemimpin partai Whig sebagai menteri pertama pada 1721 di Inggris membuat preseden bahwa perdana menteria dalah pemimpin mayoritas. Monarki pun berubah menjadi monarki parlementer.
§  Beberapa ciri  parlementarisme
a)      Peleburan Kekuasaan
      Pada akhir abad ke-18, pemerintahan parlementer memperoleh bentuknya yang kurang lebih seperti yang dikenal sekarang ini. Bentuk pemerintahan ini memiliki ciri-ciri tertentu, tetapi di atas segalanya, sifat dasar dari parlementarisme adalah peleburan kekuasaan atau fusion of powers untuk dibedakan dari pemisahan kekuasaan atau separation of powers yang merupakan sifat dasar presidensialisme. Dalam parlementarisme berlaku ungkapan parlemen yang berdaulat – “parliamentis sovereign”. Jadi sistem parlementer tidak memperkenankan suatu pemisahan antara parlemen dan pemerintah (Giovanni Sartori, 1997).Secara konkrit peleburan kekuasaan itu terwujud melalui kenyataan bahwa yang ditunjuk menjadi perdana menteri adalah juga pemimpin dari partai atau koalisi mayoritas dalam parlemen. Perdana menteri lalu menyusun kabinet yang terdiri atas rekan-rekan separtai atau sekoalisi dan selanjutnya secara kolektif bertanggung jawab kepada parlemen. Karena afiliasi partai atau koalisi yang sama, perdana menteri dapat berharap kepada rekan-rekan separtai atau sekoalisi dalam parlemen untuk mendukung kebijakan pemerintah dan menerjemahkannya ke dalam legislasi. Di Inggris ada semacam konvensi bahwa anggota kabinet harus pula anggota parlemen– majelis rendah atau majelis tinggi. Dalam kasus ini maka semakin sukar melihat batas-batas antara eksekutif dan legislatif. Lagi pula, perlu disadari bahwa, dalam model Westminster, istilah parlemen dapat berarti luas, yaitu meliputi pemerintah, yaitu perdana menteri bersama kabinetnya. Jadi ungkapan parlemen berdaulat menunjuk kepada Parlemen secara keseluruhan, yang mencakup anggota-anggota pemerintah.
      Kepala Negara terpisah dari Kepala Pemerintahan. Dalam pemerintahan parlementer “eksekutif” dipecah menjadi dua bagian, yaitu seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan dan raja dalam monarki atau presiden dalam republik bertindak sebagai kepala negara. Biasanya raja menduduki singgasananya melalui gelar yang diwarisi(di Malaysia, pada tingkat federal, Raja dipilih di antara raja-raja negara bagian),sementara presiden dipilih oleh parlemen atau parlemen plus.
Berbeda dengan perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen,kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat. Sering dikatakan bahwa kepala negara hanya menjalankan peran seremonial dan simbolik, tetapi sebetulnya kepala negara, khususnya raja-raja konstitusional, masih mempunyai prerogatif penting sungguhpun pada umumnya tidak lagi menggunakannya. Malah secara tak terelakkan kepala negara sering mengambil peran menentukan dalam suatu situasi krisis,seperti beberapa kali terjadi di Thailand.
      Salah satu fungsi kepala negara adalah menunjuk (calon) kepala pemerintahan untuk menyusun kabinetnya. Tentu saja, dalam menjalankanfungsi ini, kepala negara terikat pada hasil pemilihan umum dan mesti menunjuk partai pemenang. Tetapi persoalannya tidaklah sesederhana itu dalam hal hasil pemilihan umum menunjukkan tidak ada partai yang memperoleh mayoritas mutlak. Situasinya semakin runyam jika yangdihadapi suatu sistem multi-partai yang terfragmentasi sehingga kepala negara terpaksa menggunakan kebijaksanaannya sendiri dalam menentukan(calon) kepala pemerintahan – meskipun pada akhirnya parlemen juga yangmemutuskannya.
b)      Kabinet Bersifat Kolektif atau Kolegial
            Para menteri secara resmi diangkat oleh kepala negara, tetapi prinsipnya tetap perdana menteri seorang diri yang bertanggung jawab atas komposisi dan personalia kementerian – yang satu dan lain hal harus memperhatikan pendapat partainya atau partai-partai yang diajak berkoalisi. Meskipun begitu, kabinet dalam parlementarisme bersifat kolektif ataukolegial, yang berarti semua keputusan diambil secara bersama. Para anggota kabinet secara bersama-sama atau sendiri-sendiri juga bertanggungjawab kepala parlemen – jadi, dalam parlementarisme dikenal pertanggungjawaban menteri.Dengan sifat kabinet yang kolektif itu, seorang perdana menteri lebih dianggap sebagai primus inter pares – orang pertama di antara sesame rekan.
            Dalam prakteknya, seperti ditunjukkan oleh Margareth Thatcher,seorang perdana menteri yang kuat dapat berperilaku sebagai orang pertama di atas sesama rekan.
Prinsip bahwa kabinet, yaitu perdana menteri dan para menterinya,diperlakukan sebagai satu kolektivitas erat hubungannya dengan sejarah parlementarisme: penyerahan kekuasaan eksekutif yang monarkis kepada suatu dewan menteri (kabinet) berarti bahwa seorang pribadi tunggal, dalam hal ini raja, diganti suatu badan kolektif (Douglas V. Verney, 1963). Tetapi  terlepas dari keterangan ini, sesungguhnya inner logic dari parlementarisme itu sendiri mengharuskan kabinet bersifat kolektif: seseorang dapat menjadi menteri bertalian dengan dukungan dalam parlemen, apalagi jika sang menteri juga seorang anggota parlemen.
c)      Eksekutif Bertanggung Jawab kepada Legislatif
            Secara khusus soal ini perlu dibicarakan tersendiri sebagai ciri khusus parlementarisme. Dengan tanggung jawab itu berarti bahwa eksekutif tergantung pada kepercayaan legislatif dan dapat dipaksa mengundurkan diri dari jabatannya oleh suatu mosi tidak percaya legislatif dan pada gilirannya kepala negara menunjuk seorang (calon) perdana menteri baru.
            Dalam suatu sistem multipartai dan eksekutif merupakan cabinet koalisi, dapat dibayangkan betapa mudahnya kedudukan pemerintah digoyahkan oleh suatu perpecahan dalam koalisi. Masalahnya jika kemudian ternyata suatu koalisi baru sukar terbentuk sehingga kekosongan pemerintahan berlarut-larut. Untuk mengatasi masalah ini, di Jerman diperkenalkan apa yang disebut “mosi tidak percaya konstruktif” yang mewajibkan setiap mosi sekaligus menyertakan kesepakatan koalisi baru.
Sebaliknya, dalam suatu sistem dua-partai, seperti Inggris, dan terlebih-lebih dalam sistem kepartaian dengan satu partai yang memegang hegemoni dalam setiap pemilihan, seperti India dan Jepang di masa lalu,maka perubahan pemerintahan sering sukar terjadi. Situasi seperti ini seringdituding sebagai kediktatoran partai – suatu tudingan yang agaknyaberlebihan karena kekuasaan partai tetap bersifat kolektif dan kepemimpinanpartai dapat berubah. Selain itu tingkat otonomi anggota partai tetap adasehingga memungkinkan mereka sewaktu-waktu bersikap lain daripartainya.
d)     Kepada Eksekutif Dapat Mengusulkan Pembubaran Legislatif
            Jika kabinet dapat diturunkan oleh parlemen melalui mosi tidakpercaya, sebaliknya sebagai imbangan, dalam parlementarisme, perdanamenteri dapat merekomendasikan kepada kepala negara untukmembubarkan parlemen dan mengumumkan suatu percepatan pemilihanumum. Kekuasaan pemerintah untuk meminta pembubaran parlemenmerupakan salah satu ciri khas parlementarisme. Tetapi, bagaimanapun,pimpinan partai yang berkuasa harus mempertimbangkan untung rugi suatupemilihan umum yang dipercepat – yang biasanya memperhatikan hasiljajak pendapat umum.
            Pembubaran parlemen itu sebetulnya berarti pula pembubaranpemerintah. Dalam suatu situasi pemerintah kehilangan dukungan diparlemen, pemerintah memilih salah satu di antara dua: mundur ataumeminta pembubaran parlemen. Tetapi pembubaran itu mencakup pulapemerintah – sungguhpun pemerintah masih dalam kedudukan demisionersebelum parlemen baru terbentuk. Dengan kata lain, situasi konflikeksekutif-legislatif diserahkan kepada para pemilih untuk menyelesaikannya.Partai yang Kalah Menjadi OposisiIstilah oposisi dan partai oposisi dalam pemakaian sehari-haridianggap bukan hukum parlementarisme. Tetapi dipandang dari segirancang-bangun peleburan kekuasaan, yang berhadapan dalam parlemenadalah antara partai yang berkuasa versus partai minoritas atau, dengan katalain, antara pemerintah versus partai oposisi. Situasinya berbeda denganlogika rancang-bangun pemisahan kekuasaan. Di sini yang berhadapanadalah institusi versus institusi, atau lebih tepatnya, institusi kepresidenanversus institusi legislatif.
            Dalam model Westminster, partai minoritas disebut sebagai oposisiloyal, sebuah istilah yang berasal dari sejarah Inggris, yang berarti bahwasungguhpun suatu partai politik tidak setuju terhadap kebijakan partaimayoritas, partai itu tetap setia kepada mahkota dan negara. Dengan katalain, kedudukan sebagai oposisi mendapat tempat terhormat dalam konstitusiuntuk mengawasi pemerintah. Pelembagaan oposisi dalam modelWestminster adalah sedemikian rupa sehingga ada pengaturan tempat dudukdalam Majelis Rendah: Pemerintah dan Oposisi duduk berhadap-hadapanyang masing-masing diberi tempat di sisi kanan dan kiri pimpinan majelisdengan para pemimpin partai mayoritas dan para pemimpin partai oposisiduduk di bangku depan. Dalam menjalankan perannya, oposisi membentuk“kabinet bayangan” sebagai mitra-tanding kabinet dan sebagai persiapan jikatercipta peluang untuk mengambil alih kekuasaan.

2.      Presidensialisme
            Sejarah pemerintahan presidensial tidak dapat dilepaskan dari sejarah demokrasi di Amerika Serikat. Tetapi berbeda dengan sejarah parlementarisme yang merupakan hasil suatu evolusi, orang-orang Amerika menciptakan suatu sistem baru sebagai hasil suatu revolusi. Adalah penting untuk diingat pula bahwa presidensialisme Amerika tidak diciptakan, sepertihalnya  parlementarisme Inggris, sebagai tanggapan terhadap feodalisme dan sejarah monarki. Para penyusun konstitusi Amerika, dengan menggunakan prinsip-prinsip demokratis, menciptakan suatu sistem sebagai tanggapan terhadap pengalaman buruk mereka sebagai jajahan. Mereka juga sedikit banyaknya turut diwarnai oleh kekhawatiran akan suatu tirani mayoritas yang membahayakan negara-negara bagian maupun kebebasan individu.
            Dengan latar belakang seperti itulah model Washington lahir yang  kemudian banyak ditiru bangsa-bangsa lain, khususnya di Amerika Latin.Bentuk pemerintahan ini adalah penemuan para delegasi dalam Konvensi Konstitusi Amerika yang berlangsung pada 1787. Sebagian besar delegasi mengagumi bentuk pemerintahan Inggris yang waktu itu boleh dikatakan mempraktekkan pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, danyudikatif. Ketika itu Inggris masih berada pada tahap kedua transformasi monarkial atau fase monarki konstitusional. Walaupun para delegasi itu berupaya menyamai kebajikan konstitusi Inggris, suatu monarki jelas bukan pilihan mereka. Menghadapi kebingungan dengan masalah eksekutif ini,mereka bergulat hampir dua bulan sebelum sampai pada pemecahan berupa bentuk pemerintahan presidensial yang dikenal dewasa ini (Robert A. Dahl,2000).
            Para peserta Konvensi 1787, tentu saja, tidak pernah membayangkan bahwa monarki konstitusional Inggris yang mereka kagumi ternyata mengalami perubahan drastis dan berkembang menjadi monarki parlementer. Sebetulnya para penyusun Konstitusi 1787 hampir memutuskan untuk menciptakan suatu sistem yang lebih parlementer daripada presidensial melalui kerangka Virginia Plan. Rancangan konstitusiini memasukkan pemilihan “presiden” oleh legislatif nasional untuk jangka waktu tertentu. Konvensi sempat memungut suara sampai tiga kali dengan hasil mendukung usul itu. Tetapi akhirnya keputusan final Konvensi adalah menyerahkan pemilihan presiden kepada suatu electoral college.
§  Beberapa Ciri Presidensialisme
a)      Pemisahan Kekuasaan
            Sering dikatakan, dan hal ini dianut oleh tidak sedikit ilmuwan, termasuk di Amerika Serikat sendiri, bahwa pemerintahan presidensial didasarkan pada prinsip dasar pemisahan kekuasaan atau separation ofpowers yang berbeda dan dihadapkan pada prinsip peleburan kekuasaanatau fusion of powers pada parlementarisme. Penamaan ini yang bersumber pada teori Montesquieu yang turut mengilhami para penyusun konstitusi Amerika Serikat masih perlu diklarifikasi. Dalam teori mungkin dapat dibayangkan suatu trias politica yang terpisah, tetapi dalam praktek di dalam masyarakat yang kompleks suatu pemisahan seperti itu merupakan suatu kemustahilan.
            Dalam kehidupan politik nyata, berbagai cabang kekuasaan harusdikoordinasikan dan tidak terelakkan terjadinya tumpang tindih. Di AmerikaSerikat, presiden menjalankan kekuasaan legislatif ketika menandatanganiatau memveto rancangan undang-undang yang dikirim oleh Kongres.
Sebaliknya, Kongres menjalankan kewenangan eksekutif ketika meratifikasi perjanjian internasional dan mengkonfirmasikan pengangkatan pejabat. Contoh Kasus yang ironis : di daerah / provinsi NTT  bahkan DPRDnya membantu menyalurkan dana Bansos yang kemudian menuai kritik dan masalah.
            Selain itu kekuasaan Mahkamah Agung untuk menyatakan suatu undang-undang atau tindakan eksekutif sebagai inkonstitusional pada dasarnya merupakan perembesan ke dalam kegiatan legislatif dan eksekutif. Sebaliknya, sidang impeachment oleh Kongres berarti memasuki suatukekuasaan yudikatif.
            Jadi, sebetulnya, tidak ada pemisahan kekuasaan yang sering digambarkan sebagai sifat dasar presidensialisme. Yang ada adalah pemisahan institusi yang berbeda dengan peleburan kekuasaan (dalam hal ini antara legislatif dan eksekutif) yang merupakan sifat dasar parlementarisme. Pemisahan institusi ini mempunyai implikasi - implikasi,negatif maupun positif, terhadap bekerjanya sistem presidensialisme.
b)         Kepala Pemerintahan Sekaligus Kepala Negara
            Dalam presidensialisme tidak ada pemisahan antara kepala negaradan kepala pemerintahan seperti pada parlementarisme. Presiden sebagaikepala pemerintahan merangkap juga sebagai kepala negara. Mungkintimbul kesan bahwa jabatan rangkap presiden yang demikian itu setaradengan jabatan rangkap raja pada masa monarki konstitusional.Sesungguhnya ada perbedaan mendasar di dalamnya: pada monarkipraparlementer yang konstitusional, raja menjadi kepala pemerintahankarena ia kepala negara. Pada presidensialisme, justru sebaliknya. Aspekseremonial dari posisinya hanyalah suatu pencerminan dari prestisepolitiknya (Douglas V. Verney, 1963).
Penyatuan kedua jabatan itu, sedikit banyaknya, mengandung ambiguitas. Selaku kepala pemerintahan, seorang presiden merupakan wakil dari para pemilihnya, bahkan mewakili partainya yang telah mengantarnya ke dalam kekuasaan, sementara selaku kepala negara ia simbol negara yang seyogyanya berdiri di atas semua golongan. Tidak mudah untuk menggabungkan kedua peran itu dan tidak mudah untuk memastikan apakah presiden tidak menyalahgunakan perannya selaku kepala negara untuk kepentingan yang bersifat partisan.
c)         Presiden Sebagai Jabatan Unipersonal
            Prinsip eksekutif tunggal pada presidensialisme bukan saja ditandai oleh penyatuan jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan melainkan juga karena jabatan itu cenderung mempribadi (personalized). Meskipun dalam presidensialisme dikenal jabatan wakil presiden tetapi selamapresiden masih berfungsi, seorang wakil presiden biasanya tidak lebih dariseorang pembantu presiden seperti halnya dengan menteri. Bahkan bagiseorang menteri yang notabene ditunjuk dan tidak dipilih masih lebihmemiliki yurisdiksi tertentu dibandingkan dengan seorang wakil presidenyang dipilih.
            Yang ingin ditekankan di sini bahwa berbeda dengan pemerintahan parlementer yang bersifat kolektif, pemerintahan presidensial bersifat tunggal. Para menteri yang mengepalai departemen merupakan bawahan presiden. Pemakaian istilah secretary (sekretaris) di Amerika Serikat untuk jabatan ini sangat boleh jadi tidak lepas dari prinsip ini. Dengan perkataan lain, seorang perdana menteri dengan kabinetnya hanyalah “orang pertama diantara sesama rekan”, sementara seorang presiden dengan para menterinya adalah “orang pertama di atas rekan-rekan”, bahkan ia seorang primus solus – “orang pertama yang utama”.
            Menurut Douglas V. Verney (1963), perkataan “kabinet” adalah satudi antara beberapa istilah parlementer yang diambil di luar konteks olehorang-orang Amerika. Pemakaiannya sekadar untuk menggambarkan rapat-rapatPresiden dengan para Sekretarisnya, tetapi bukan suatu Kabinet dalamarti parlementer.
d)        Legitimasi Ganda dan Masa Jabatan Tetap (belum)
            Berbeda dengan parlementarisme yang bersandar pada legitimasidemokratis tunggal yang dimiliki oleh legislatif, presidensialisme memilikiapa yang disebut legitimasi demokratis ganda. Baik presiden, yang dipilih secara langsung atau secara populer (di Amerika Serikat melalui electoralcollege), maupun legislatif yang juga dipilih oleh rakyat, masing-masing memiliki legitimasinya sendiri. Dengan legitimasi terpisah ini, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baik presiden maupun legislatif dipilih untuk jangka waktu tertentu, maka keberadaan presiden tidak tergantung padalegislatif, dan sebaliknya, keberadaan legislatif tidak tergantung pada presiden. Dengan kata lain, berbeda dengan parlementarisme yang mengenal pertanggungjawaban eksekutif, dalam presidensialisme, presiden tidak bertanggung jawab terhadap legislatif.
Dengan demikian, dalam presidensialisme, presiden tetap dalam jabatannya untuk jangka waktu tertentu secara konstitusional (di AmerikaSerikat, empat tahun), terlepas dari perubahan mayoritas dalam legislatif.
            Dengan kata lain, presiden tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif, kecuali melalui impeachment untuk suatu pelanggaran hukum yang serius yangbiasanya melalui prosedur yang sangat rumit. Sebaliknya, presiden tidakdapat memaksa legislatif mendukung program-programnya dengan ancaman pembubaran parlemen. Berbeda dengan parlementarisme, presiden  dapat membubarkan atau meminta membubarkan legislatif.
            Meskipun tidak tergantung pada legislatif bagi kelangsungan jabatannya, presiden tetap membutuhkan kerja sama legislatif bagipelaksanaan kebijakan-kebijakannya yang harus mendapat persetujuan legislatif. Dalam hal mayoritas presiden serupa dengan mayoritas legislatif,yaitu berasal dari partai yang sama, maka segala sesuatunya dapatdiharapkan berjalan lancar. Namun dapat terjadi bahwa mayoritas ituberbeda, dalam arti mayoritas legislatif dikuasai oleh partai “lawan”. Dalam hal ini tercipta apa yang disebut divided government atau pemerintahan yangterbelah yang sedikit banyaknya akan menyulitkan presiden dalam menjalankan tugas-tugasnya. Di Amerika Serikat, presiden diperlengkapi dengan hak veto untuk mengimbangi pengaruh mayoritas dalam legislatif. Dengan senjata itu presiden dapat menolak hasil legislasi (rancangan undang-undang) yang disodorkan legislatif dan mengembalikannya kepada legislatif. Untuk tetap memberlakukan hasil legislasi itu, legislatif memerlukan mayoritas duapertigasuara, suatu mayoritas yang tidak mudah mencapainya. Masalahnya, jika hasil pemungutan suara memenuhi syarat mayoritas tersebut dan presiden tetap bersikukuh dengan sikapnya, maka terciptalah suatu situasi deadlock atau gridlock, yang berarti kelumpuhan sistem. Konstitusi tidak menyediakan suatu cara untuk menyelesaikan kemacetan eksekutif-legislatif tersebut. Di Indonesia, konstitusi tidak memberikan hak veto kepada presiden. Tetapi dalam hal perundang-undangan pada umumnya, presiden mempunyai kedudukan setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam proses legislasi. Dalam soal ini tidak ada ancaman kemacetan. Hanya saja, dalam penyusunan anggaran penerimaan dan belanja negara, wewenang sepenuhnya di tangan DPR. Jadi, suka atau tidak suka, presiden harus menerima RAPBN yang disodorkan oleh DPR.
e)      Alternatifnya kemacetan (Checks and Balances)
            Di bagian lain telah dikemukakan bahwa rancang bangun presidensialisme cenderung menghadapkan institusi versus institusi, dan bukannya partai versus partai, seperti halnya dalam parlementarisme.
Kecenderungan ini merupakan akibat logis dari penerapan prinsip checksand balances (pengecekan dan perimbangan) antara institusi-institusi yangterpisah. Diuraikan secara terbalik, dalam presidensialisme, institusi-institusidengan sengaja dipisahkan agar institusi-institusi saling mengecek dansaling mengimbangi.
            Dalam model Washington, sebagaimana untuk sebagian telahdisinggung di atas, di bawah prinsip checks and balances, kekuasaan Kongres membuat undang-undang dicek oleh kekuasaan hak veto presiden.  Selanjutnya, pengangkatan pejabat eksekutif ditundukkan pada pengesahan Senat yang karenanya dapat meniadakan keputusan eksekutif. Selanjutnya,ada kekuasaan Mahkamah Agung untuk menyatakan pengundangan legislatif sebagai tindak konstitusional. Di lain pihak, dibawah konstitusi, pengangkatan hakim-hakim merupakan tanggung jawab eksekutif, yang biasanya tunduk pada nasehat dan persetujuan Senat. Maka dapat dikatakan bahwa prinsip checks and balances, dalam halini checks and balances antar institusi, merupakan ciri khas presidensialisme. Sejauh ini, prinsip tersebut berjalan baik-baik saja diAmerika Serikat, walaupun harus segera ditambahkan bahwa belakanganmodel Washington semakin ditantang oleh gejala divided government.Asumsi dasar mengenai sistem presidensial, tulis Giovanni Sartori (1997) adalah bahwa sistem ini kondusif bagi pemerintahan yang kuat dan efektif, tetapi asumsi ini berdiri di atas es tipis.
            Persoalannya menjadi lebih parah tatkala presidensialisme dikawinkan dengan sistem multi-partai. Seperti terlihat di Amerika Latin, kombinasi ini menguatkan kecenderungan terjadi gridlock. Dan celakanya, tak ada jalan keluar yang konstitusional sehingga yang ditempuh biasanya adalah cara-carayang tidak demokratis.

3.      Semi Presidensialisme
            Menurut luar Rahman Tolleng, di luar kedua bentuk dasar, parlementer dan presidensial, terdapat bentuk cangkokan antara kedua bentuk dasar tadi yang disebut sebagai bentuk pemerintahan semi-presidensial. Bentuk pemerintahan ini sering digambarkan sebagai eksekutif dua kutub – sehubungan dengan adanya seorang presiden yang dipilih secara populer dengan masa jabatan tertentu dan tidak tergantung pada legislatif dan adanya seorang perdana menteriyang ditunjuk oleh presiden tetapi tergantung pada dukungan mayoritas dalam parlemen.
            Dewasa ini sebagai model sering ditunjuk Republik Kelima Prancis,sungguhpun sebetulnya satu di antara demokrasi pertama yang menerapkanbentuk semi-presidensial adalah Republik Weimar (1919) yang kemudianmengalami kehancuran sesudah Hitler merebut kekuasaan. Di luar Prancismasih ada lima semi-presidensial yang telah lama berkiprah, yaitu Finlandia,Austria, Irlandia, dan Iceland, dan terakhir Portugal melalui Konstitusi 1975. Meskipun keenam negara itu dapat ditempatkan di bawah rubrik semipresidensialisme,dalam praktek mereka dapat dibedakan dari segi perilakulembaga kepresidenan. Dalam kaitan ini, Maurice Duverger (Arend Lijphart, 2002) menggolongkannya ke dalam tiga kelompok :
1. Tiga negara dengan kepresidenan boneka, yaitu Austria, Irlandia, dan Iceland, yang praktek politiknya lebih parlementer;
2. Satu negara dengan kepresidenan yang maha kuasa, yaitu Prancis; dan
3. Dua negara dengan kepresidenan dan perdana menteri yang seimbang, yaitu Finlandia   dan Portugal.
            Republik Kelima Prancis,Semi-presidensialisme Prancis tidak dapat dilepaskan dari sejarah kegagalan parlementarisme Republik Keempat (1946-58) yang melambangkan bentuk pemerintahan yang tidak seimbang. Majelis Nasional, majelis rendah dari parlemen, memiliki suatu monopoli kekuasaan yang konstitusional. Pemerintah bergonta-ganti rata-rata sekali dalam enam bulan.Akibatnya bukannya demokrasi yang stabil melainkan kelumpuhan politikdan kemarahan publik. Ketika Republik Keempat pada akhirnya ditumbangkan di bawah pimpinan Charles de Gaulle, sang arsitek Republik Kelima, bandul pun bergerak ke arah ekstrem yang lain: Konstitusi Republik Kelimamendelegasikan kekuasaan lebih besar kepada presiden. Meskipun begitu,konstitusi tidak memilih presidensialisme murni. Di samping presiden yang dipilih langsung untuk jangka waktu tertentu berdiri pula seorang perdanamenteri atas tanggung jawab parlementer. Selain sebagai kepala negara, secara resmi kekuasaan presidendibatasi pada peran khusus, yaitu urusan luar negeri dan pertahanan,sedangkan peran pemerintah selebihnya berada di tangan perdana menteri dan kabinetnya. Sepintas lalu, pembagian kerja terlihat sederhana, tetapi hubungan-hubungan kekuasaan dalam realitas politik antara kedua kutub eksekutif ini jauh lebih rumit dan pelik. Kerumitan itu tersimpul dalam suatupertanyaan yang tidak mudah menjawabnya: Siapakah kepala pemerintahanyang sebenarnya?
            Dalam suatu situasi bahwa presiden dan perdana menteri memilikimayoritas yang sama dalam parlemen, maka perdana menteri hanya menjadialter ego dari presiden. Dalam situasi ini sistem praktis bekerja sebagai sistem presidensial. Sebaliknya, dalam hal presiden tidak memilikimayoritas dalam parlemen, maka secara potensial timbul konflik antara presiden dan perdana menteri yang didukung oleh parlemen. Presiden karenaitu dihadapkan pada tiga pilihan: membubarkan parlemen, meletakkan jabatan, atau menyerah kepada kenyataan. Dalam hal pilihan terakhir yangdiambil berlangsunglah apa yang disebut cohabitation atau hidup bersama (lebih tepatnya kumpul kebo) antara presiden dan perdana menteri. Dan dalam kasus ini sistem praktis bekerja sebagai parlementer.Kalau begitu, apakah sistem semi-presidensial layak disebut sebagai sintesa antara sistem parlementer dan presidensial? Maurice Duverger mengatakan tidak, dan sebagai gantinya ia menunjuknya sebagai perselang selingan antara fase presidensial dan parlementer (Giovanni Sartori, 1997).
            Berdasarkan kerangka analisis di atas, terlihat bahwa semi-presidensialisme juga menghadapi potensi divided government atau pemerintahan terpisah, seperti halnya pada presidensialisme murni. Ada bahaya gridlock. Akan tetapi, semi-presidensialisme memiliki jalan keluar yang konstitusional. “Semi parlementarisme” Menurut UUD 1945 Asli Bentuk pemerintahan yang dianut dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) tidak tergolong parlementer ataupun presidensial, dan tidak pula tergolong semi-presidensial yang umum dikenal. Karena Presiden tidak dipilih secara langsung dan tidak ada jabatan perdana menteri. Tetapi UUD 1945(sebelum amandemen) tetap menerapkan semacam eksekutif tunggal dengan masa jabatan tetap, yang disebut presiden dan melekatkan aspek parlementer pada jabatan itu. Jadi, bentuk ini juga sejenis cangkokan, hanya jauh dari kriteria semi-persidensial. Barangkali dapat disebut sebagai semi parlementer. Dengan pencangkokan seperti itu timbul masalah. Bagaimanakah sistem ini bekerja dipandang dari segi eksekutif-legislatif? Saling tergantung atau tidak tergantung? Adanya aspek parlementer itu, yaitu presiden dipilih dengan suara terbanyak oleh MPR, berarti presiden tergantung pada suatu mayoritas di lembaga itu. Apakah ketergantungan ini terbatas pada waktu pemilihan atau berlaku terus sepanjang presiden menghabiskan masa jabatannya? Konstitusi, khususnya batang tubuh, tidak menjawab pertanyaan itu secara jelas. Kelemahan ini belakangan dicoba diatasi melalui Ketetapan MPR, tetapi cara ini pada gilirannya dipersoalkan sebagai tindakan inkonstitusional. Konflik konstitusional ini meledak pada masa jabatan Presiden Abdurrahman Wahid. Timbulnya situasi ini dapat dipahami karena barusesudah Reformasi rakyat Indonesia berkesempatan melaksanakan UUD1945 secara demokratis dan murni. Pada masa revolusi kemerdekaan, dengan menggunakan pasal-pasal peralihan, UUD 1945 dijalankan, kalau tidak diubah menjadi, parlementer. Sesudah pemberlakuan kembali konstitusi ini melalui Dekrit 5 Juli 1959, dalam periode demokrasi terpimpin maupun dalam periode Orde Baru, pelaksanaannya dilakukan secara otoriter. Sejauh ini tidak ditemukan bentuk pemerintahan di dunia yang menyerupai “semi-parlementarisme” UUD 1945 (sebelum amandemen).
            Bagaimana para Founding Fathers sampai pada bentuk pemerintahan cangkokan yang unik seperti ini, barangkali menarik untuk dipelajari.Mungkin secara kebetulan saja bahwa Konvensi Konstitusi Amerika Serikat 1787 sebenarnya pernah mempertimbangkan untuk memilih model ini. Apayang disebut Rancangan Virginia, seperti telah dibicarakan pada bagian lain, memasukkan pemilihan presiden oleh legislatif nasional. Persoalan ini hanya sebagai persoalan akademis, karena melalui amandemen UUD 1945, system itu telah ditinggalkan dan Indonesia beralih kepada bentuk pemerintahan presidensial yang murni.
4.      Consociationalisme / Konsensus
            Menurut Rahman Tolleng, Consociationalisme sebagai suatu pendekatan dalam mengatur perikatan dalam masyarakat politik, khususnya sebagai bentuk pemerintahan, pertama kali diidentifikasikan oleh Arend Lijphart, seorang ilmuwan Amerika keturunan Belanda. Tidak diketahui dengan persis asalusul kata consociational – untuk sekadar menduga-duga, kemungkinan sebagai gabungan kata to console yang artinya menghibur, menyenangkan, dan kata association yang artinya perkumpulan, gabungan. Lijphart sendiri sekali-sekali mempertukarkannya dengan kata consensual (kata sifat consensus), malahan terakhir ia lebih banyak menyebut modelnya sebagai model konsensus. Jadi intinya, consociationalisme adalah sebuah pendekatan yang secara sadar melibatkan semua pihak yang berkepentingan demi mengimbangi atau menetralisasikan perbedaan-perbedaan – dalam negara, yang disebabkan oleh pembelahan masyarakat dalam subkultur berbeda. Arend Lijphard sampai pada model alternatif ini ketika ia mulai menganalisis kasus yang menyimpang, dengan mengambil Negeri Belanda sebagai suatu kasus khusus, mengeritik Almond dan kawan-kawan yang berpendapat bahwa ada suatu hubungan negatif yang tak terelakkan antara masyarakat majemuk (dicirikan oleh budaya politik terfragmentasi) dan stabilitas demokrasi. Disini ia lalu menggeneralisasikan model demokrasi consociational bagi negara-negara Eropa yang lain, terutama Swis, Belgia,dan Austria.
§  Beberapa model Consociationalisme
a.       Model Konsensus vs Model Mayoritas
            Lijphart beranjak lebih lanjut untuk membedakan antara sistem politik majoritarian, yang secara logis didasarkan pada prinsip mengkonsentrasikan sebanyak mungkin kekuasaan di tangan mayoritas, dan sistem politikconsociational, yang didasarkan pada prinsip power sharing atau pembagian kekuasaan, penyebaran, dan pembatasan kekuasaan dalam berbagai cara.
            Dalam analisis mengenai sejumlah negara (Lijphart 1984, 1999) menemukan sejumlah dimensi yang memisahkan model consociational dengan model Westminster.
Lebih lanjut Lijphart (1999) membagi dalam dua kelompok dimensi yang membedakan kedua sistem, yang masing-masing terdiri atas lima karakteristik. Kelompok pertama, yang disebutnya sebagai dimensi eksekutif-partai, meliputi susunan kekuasaan eksekutif, sistem kepartaian dan pemilihan, dan kelompok kepentingan. Sementara kelompok kedua, disebut sebagai dimensi federal-kesatuan yang umumnya dihubungkan secara kontras antara pemerintahan federal dan kesatuan.Yang penting disajikan di sini cukup lima dimensi yang termasuk dalam kelompok pertama yang bertalian langsung dengan pokok pembicaraan, yaitu bentuk pemerintahan. Kelima perbedaan pada dimensi eksekutif-partai adalah sebagai berikut:
1.      Konsentrasi kekuasaan eksekutif dalam kabinet mayoritas partai tunggal versus eksekutif berdasarkan power sharing atau pembagiankekuasaan dalam koalisi multi-partai yang luas.
2.      Hubungan eksekutif-legislatif dengan eksekutif yang dominan versus keseimbangan kekuasaan antara eksekutif-legislatif.
3.      Sistem kepartaian dwi-partai versus multi-partai.
4.       Sistem pemilihan majoritarian dan disproporsional versus perwakilan yang proporsional.
5.      Sistem kelompok kepentingan yang pluralis dengan persaingan yangmerupakan pertarungan bebas (free-for-all) di antara kelompok-kelompok versus sistem kelompok kepentingan yang terkoordinasikandan “korporatis” yang ditujukan untuk kompromi dan kebersamaan.

b. Prototipe Swis
            Swis merupakan sebuah negara yang menerapkan secara penuh model  demokrasi consociational. Swis adalah sebuah masyarakat yang sangat majemuk yang terbagi sepanjang beberapa garis pembelahan : suku, agama ,bahasa dan wilayah. Satu dan lain hal karena kemajemukan ini, selain menerapkan model konsensus bagi bentuk pemerintahannya, juga memilih federalisme (dalam konstitusi disebut konfederasi) bagi bentuk negaranya. Sebagai negara federal, kekuasaan dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah-pemerintah sebanyak 24 canton dan enam setengah canton.
            Dalam banyak hal, status setengah-canton setara dengan canton, kecuali dalam hal jumlah kursi dalam Dewan Federal, eksekutif negara itu, dan bobot suara pada setiap amandemen konstitusi. Dalam kerangka federalisme,Swis juga termasuk negara yang sangat desentralistik  di dunia.Kemajemukan itu juga terefleksi dalam sistem kepartaian Swis.Pembelahan agama memecah Demokrat-Kristen yang, terutama didukungoleh kalangan Katolik yang taat, dari Demokrat-Sosial dan Demokrat-Radikal, yang menarik sebagian besar dukungannya dari kalangan Katolikyang tidak atau jarang ke gereja dan dari kalangan Protestan. Pembelahan sosial ekonomi lebih lanjut memisahkan Demokrat-Sosial, terutama ditopang oleh kelas pekerja, dari Demokrat Radikal, yang mempunyai pendukung lebih banyak datang dari kelas menengah. Partai Rakyat Swis terutama kuat di kalangan para petani Protestan. Pembelahan bahasa tidak menyebabkan pemisahan dalam sistem kepartaian Swis, sungguhpun dukungan partai Rakyat Swis terutama datang dari kalangan berbahasa Jerman, dan ketiga partai besar merupakan aliansi yang secara relatif longgardi antara partai-partai canton yang mengandung pembelahan bahasa sebagai pembeda utama.

§  Ciri Prototipe Swis
a.       Eksekutif berdasarkan Power Sharing.
      Eksekutif Nasional Swis yangterdiri atas tujuh orang merupakan contoh dari suatu koalisi luas. Ketigapartai besar – Demokrat-Kristen, Demokrat-Sosial, dan Demokrat-Radikal,yang masing-masing menduduki seperempat bagian kursi dalam majelisrendah – dan partai Rakyat Swis yang menduduki seperdelapan bagian kursi,membagi ketujuh posisi eksekutif itu menurut komposisi 2:2:2:1. Komposisi ini disebut sebagai magic formula yang merupakan kesepakatan dalamkonvensi 1959 yang dimaksudkan untuk mempertahankan keseimbangan politik di Swis. Sebagai kriteria tambahan, komposisi ini harus sekaligusmencakup perwakilan kelompok-kelompok linguistik dalam perbandinganyang kasar: empat atau lima berbahasa Jerman, satu atau dua berbahasa Prancis, dan kerapkali seorang berbahasa Italia. Selain itu tiga canton harus selalu terwakili.
b.      Dewan Federal mempunyai masa jabatan selama 4 tahun. Ketua dan Wakilnya dipilih di antara ketujuh anggota dengan ketua sebagai Presiden dan wakil ketua sebagai Wakil Presiden. Kedua jabatan itu tidak boleh dipegang dua kali berturut-turut, tetapi seorang mantan Wakil Presiden dapat dipilih sebagai Presiden pada periode berikutnya.
c.       Presiden merangkapsebagai kepala negara.
d.      Keseimbangan Kekuasaan Eksekutif-Legilatif.
      Berbeda dengan yang lain, model konsensus Swis sama sekali bukan parlementer. Dewan Federal tidak bertanggung jawab kepada legislatif. Jika usul pemerintah ditolak oleh legislatif, Dewan Federal atau anggota yang mengajukan usul itu tidak mundur. Permisahan kekuasaan ini menjadikan eksekutif maupun legislative lebih independen, dan hubungan di antara keduanya jauh lebih seimbang dibandingkan dengan hubungan kabinet-parlemen dalam model Westminster. Legislatif Swis terdiri dari dua kamar, yaitu Dewan Nasional yang dipilih langsung di antara partai-partai yang bersaing, dan Dewan Negara, yang merupakan utusan setiap Kanton, masing-masing sekitar 1 sampai 2 orang.

e.       Perwakilan Proporsional.
Sistem multi-partai Swis yang telah dibicarakan di atas adalah sistem kepartaian tanpa satu pun partai yang dapat mendekati kedudukan mayoritas. Pada pemilihan 1995 untuk Dewan Nasional, lima belas partai memenangi kursi, tetapi bagian besar kursi ini, yaitu 162 dari 200, dipegang oleh keempat partai besar yang diwakili dalam Dewan Federal. Pemilihan dijalankan menurut sistem proporsional (PR) yang menjadi faktor kedua disamping faktor pembelahan sosial sebagai pendorong munculnya sistem multi-partai. Tujuan dasar penerapan sistem proporsional adalah untuk membagi kursi parlementer di antara partai-partai menurut proporsi suara yang mereka peroleh.
c.    Consociationalisme di Indonesia
Tanpa disadari, sebetulnya consociationalisme sebagai suatu pendekatan juga merasuki kehidupan politik di Indonesia. Pada tingkat gagasan, dalam batas-batas tertentu, konsepsi Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme) dan Kabinet Kaki Empat Soekarno juga dijiwai gagasan consociationalisme. Gagasan itu sendiri ditolak oleh sejumlah partai, khususnya Masjumi, karena tidak rela duduk semeja dengan PartaiKomunis Indonesia. Soekarno lalu memaksakan konsepsinya, dan dengan demikian praktek ini tidak dapat lagi disebut consociational.
Selain itu, walaupun sama sekali tidak sempurna, praktek reformasi sejak keruntuhan Soeharto telah memperagakan ciri-ciri consociational dalam berbagai bentuk susunan power sharing dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati (Leonard C. Sebastian, 2004). Kabinet masing-masing praktis bersifat koalisi yang mencakup semua partai besar.
Presiden SBY, sungguhpun ia seorang presiden yang dipilih langsung, tanpa kecuali juga menyusun kabinet atas dasar power sharing yang memasukkan banyak wakil-wakil partai. Kalau diamati, pada tingkat legislatif, di pusat maupun di daerah, pemilihan pimpinannya juga mengandung ciri-ciri consociational. Di daerah-daerah tertentu praktek consociationalisme tidaklah terlampau sukar menemukannya dalam penentuan komposisi pemerintahan.


III. Dampak Institusi (Presidensialisme & Parlementarisme)
a)      Perspektif  1 : Adam Przewarski et. al
            Haruskah kita berharap bahwa demokrasi bertahan lebih lama dibawah satu sistem institusional dibandingkan dengan yang lain? Analisis  kita terbatas pada sepasang ciri-ciri institusional, yang diringkaskan sebagai parlementarisme versus presidensialisme. Oleh karena itu disini kita menguji hipotesa Juan Linz, yang memberikan beberapa pertimbangan mengapa demokrasi parlementer terbukti lebih berusia lama dibandingkan dengan demokrasi presidensial.
            Salah satu argumen Linz bahwa taruhan di bawah presidensialisme lebih besar, karena perlombaan memperebutkan kepresidenan hanya mempunyai satu pemenang tunggal. Linz mencatat bahwa seorang calon presiden yang kalah tidak mempunyai peran resmi dalam politik dan besar kemungkinan tidak menjadi anggota legislatif, sementara dibawah sistem parlementer calon perdana menteri yang kalah akan menjadi pemimpin oposisi.
            Alasan kedua kenapa demokrasi presidensial mungkin kurang dapat bertahan lama karena sistem demokrasi ini lebih mungkin menimbulkan kelumpuhan legislatif. Kelumpuhan seperti itu dapat berlangsung di bawah kedua sistem; di bawah parlementarisme ketika tidak ada koalisi mayoritas dapat dibentuk, dan di bawah presidensialisme ketika legislatif dikendalikan oleh mayoritas yang bermusuhan dengan presiden tetapi tidak cukup besar untuk selalu mengesampingkan veto presiden.
Di bawah sistem presidensial, karena mempunyai masa jabatan tertentu, eksekutif dapat bertahan hidup disamping legislatif yang bermusuhan, menimbulkan kemacetan di antara cabang eksekutif dan legislatif. Di bawah kondisi seperti itu, tidak ada orang yang dapat memerintah. ( Sumber: Adam Przewarski et. Al, “What Makes Democracies Endure?,” Consolidatingthe Third Wave Democracies: Themes and Perspectives, Larry Diamond et. al (ed),Baltimore: The John Hopkins University Press, 1997).
            Linz benar mengenai daya tahan pilihan susunan institusional. Selama periode yang dipertimbangkan, 14 demokrasi (atau 28 persen dari 50 kasus) gugur di bawah sistem parlementer. Hanya satu (12,5 persen dari 78 kasus) yang gugur di bawah sistem campuran, dan 24 (52 persen dari 46 kasus) yang gugur di bawah presidensialisme. Di antara demokrasi-demokrasi yang gugur selama periode yang diteliti ini, sistem parlementer rata-rata bertahan selama delapan tahun, sementara mitra lawannya yang presidensial bertahan selama sembilan tahun. Tetapi sistem parlementer yang masih berjalan hingga 1990 berusia jauh lebih tua: rata-rata sekitar 43 tahun, dibandingkan dengan usia 22 bagi rezim-rezim presidensial. Probabilitas suatu demokrasi akan gugur di bawah presidensialisme selama setiap tahun tertentu dalam studi Adam Przewarski adalah 0,049; probabilitas yang sebanding di bawahparlementarisme adalah 0,014. Jika perbedaan ini tampak kecil, berpikir dari segi lamanya hidup yang diharapkan:  harapan hidup (life expentancy) dibawah presidensialisme adalah kurang dari 20 tahun, sementara di bawah parlementarisme adalah 71 tahun.
Scott Mainwaring, sebagaimana Alfred Stepan dan Cindy Skach, juga benar: demokrasi kurang mungkin bertahan bilamana menggabungkan presidensialisme dengan sistem kepartaian yang terfragmentasi.
            Menggabungkan presidensialisme dengan suatu legislatif di mana tidak ada partai tunggal dengan status mayoritas merupakan suatu ciuman maut:sistem seperti itu hanya dapat berharap hidup selama 15 tahun. Demokrasi presidensial dengan suatu partai tunggal yang mempunyai mayoritas legislatif dapat berharap hidup selama 26 tahun. “Kemacetan” atau“deadlock”, suatu situasi dengan bagian kursi partai terbesar antara sepertiga dan setengah, bahkan lebih mematikan bagi rezim presidensial.
Presidensialisme yang demikian gugur pada tingkat 0,038 (dengan harapan hidup selama 26 tahun) jika tidak ada deadlock dan pada tingkat 0,091(dengan harapan hidup 11 tahun) jika ada deadlock. Analisis statistik memberikan bukti-bukti yang menyokong parlementarisme. Pengharapan hidup sistem presidensial tergantung pada tingkat perkembangan pada pertumbuhan ekonomi dan pada kehadiran mayoritas legislatif. Sebaliknya, bagi sistem parlementer, distribusi kursi ataupun pertumbuhan ekonomi tidak penting secara statistik sebagai penentu daya tahan demokrasi. Singkat kata, kelangsungan hidup demokrasi memang tergantung pada sistem kelembagaannya. Rezim parlementer bertahan lebih lama, jauh lebih lama dari rezim presidensial. Institusi-institusi pemilihan yang menghasilkan mayoritas adalah kondusif bagi kelangsungan hidup sistem presidensial dan sistem presidensial yang menghadapi kemacetan legislatif secara khusus rapuh. Kedua sistem rawan terhadap kinerja ekonomi yang buruk, tetapi demokrasi presidensial lebih sedikit kemungkinan untuk bertahan sungguhpun ketika ekonomi tumbuh dibandingkan dengan system parlementer ketika ekonomi merosot.
§  Pemilihan institusi
            Karena demokrasi parlementer bertahan lebih lama, maka merupakan teka teki mengapa begitu banyak demokrasi mengadopsi presidensialisme. Apakah yang menentukan pilihan awal dalam institusi-institusi demokratis? Banyak jawaban dapat dikumpulkan dari pandangan sepintas pada sejarah. negara-negara yang semula merupakan monarki tetapi tidak mengalami revolusi dalam penyerahan tanggung jawab pemerintahan dari raja ke parlemen berakhir dengan sistem parlementer. Negara-negara yang rajanya ditumbangkan (Perancis pada 1848 dan kembali pada 1875, Jerman pada 1919) dan jajahan-jajahan yang memberontak terhadap kekuasaan raja (AS dan Amerika Latin pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19) mengganti raja dengan presiden. Seperti Simon Bolivar suatu waktu mengatakannya : “Kami memilih raja yang kami sebut presiden”. Negara-negara yang muncul dari dominasi kolonial sesudah Perang Dunia II secara khusus mewarisi parlementarisme dari para penjajah. Bagaimanapun, secara khas, negara-negara yang sama ini melembagakan sistem presidensial jika dan ketika demokrasi yang pertama mereka pilih runtuh. Begitu pula secara khas, kediktatoran yang mengalami demokratisasi cenderung memeluk presidensialisme. Menurut perhitungan kami, di antara 35 negara yang mengalami demokratisasi antara 1974 dan 1990, 19 mengambil sistem presidensial, 13 memilih parlementarisme, dan 3 memilih sistem campuran. Jika taruhan politik sesungguhnya lebih tinggi di bawah presidensialisme, maka sukar melihat kenapa sistem ini muncul di bawah kondisi-kondisi yang memungkinkan partai-partai mengerti dan tidak cenderung mengambil resiko. Satu penjelasan mungkin adalah bahwa partai-partai terlampau optimistis: masing-masing memproyeksikan dirinya sebagai pemenang dalam pemilihan dan menganggap bahwa dirinya akan meraih jabatan presiden. Tetapi, kami curiga bahwa pilihan presidensialisme itu justru bukan keputusan politik. Namun kemungkinan besar bahwa hal itu mencerminkan peran politik militer yang terus berlanjut, yang tampak mempunyai preferensi rezim presidensial, barangkali karena rezim seperti itu memberikan suatuhirarki yang jelas. Dengan alasan ini cukup bagi kaum militer untuk memperjuangkan presidensialisme tatkala isu institusi demokratis muncul pada agenda transisi. Pola empiris tampak menyokong dugaan ini: jika 10 diantara 17 rezim demokratis yang timbul dari kediktatoran sipil tergoda padapresidensialisme, dan sejumlah besar, yaitu 22 di antara 28 demokrasi yangmuncul dari kediktatoran militer mengambil pilihan yang sama. Jadi presidensialisme tampak sekurang-kurangnya untuk sebagian merupakan warisan pemerintahan militer.
2.      Perspektif  2 : Giovanni Sartori
            Isu awal yang diangkat adalah  mempertanyakan apakah  parlementarisme dapat menolong ? Apakah sistem parlementer lebih unggul dari sistem presidensial?  Dalam pandangan Sartori  dikemukakan bahwa  mengenai transisi dari sistem yang menyerupai Amerika ke suatu sistem yang menyerupai Eropa atas dasar peringatan yang sederhana bahwa demokrasi parlementer tidak dapat berkinerja dalam setiap macamnya yang banyak jumlahnya—kecuali kalau dibantu oleh partai-partai yang cocok dengan parlementer, yaitu partai-partai yang telah tersosialisasikan (melalui kegagalan, usianya, dan berbagai insentif yang tepat) ke dalam organisasi yang secara relatif padu (cohesive)dan atau disiplin. Untuk mengingatkan kita, yang dikatakan di atas tidak selalu berlaku bagi sistem presidensial, dengan alasan karena kita tahu bahwa di bawah kondisi-kondisi pemerintah yang terbelah (divided government) kemacetan dapat dihindarkan justru oleh ketidak disiplinan partai. Sebaliknya, partai-partai yang disiplin merupakan syarat yang perlu bagi “bekerjanya” sistem parlementer. Dengan kata lain, dengan partai-partai yang tidak disiplin, sistem parlementer menjadi sistem majelis yangtidak bekerja.
Maka pertanyaannya : jika negara-negara Amerika Latin mengadopsi suatu sistem parlementer, akankah kinerja negara-negara itu menjadi lebih baik dibandingkan dengan sistem majelis dari banyak negara Eropa selama sampai tahun 1920-an dan 1930-an? Saya  (Sartori) sangat meragukannya karena dengan jelas persoalannya bahwa bagian besar Amerika Latin tidak memiliki dan masih jauh untuk mendapatkan partai-partai yang cocok dengan system parlementer. Brasil benar-benar sesuai dengan kenyataan ini; dan karenaBrasil mempertimbangkan sejauh mengajukan suatu referendum, pada 1993,untuk pilihan parlementarisme, saya beralih sebentar dengan contoh Brasil.Boleh jadi tidak ada negara di dunia yang sekarang ini sebagai antipartai,baik dalam teori maupun dalam praktek, seperti di Brasil. Para politisi memperlakukan partai mereka sebagai barang sewaan. Mereka sering kali beralih partai, memberi suara yang menentang garis partai, dan menolak setiap jenis disiplin partai atas dasar bahwa kebebasan mereka untuk mewakili konstituensinya tidak dapat dicampuri. Jadi, partai benar-benarmerupakan entitas yang mudah berubah; dan karena itu presiden Brasil dibiarkan mengambang pada ruang vakum, di atas suatu parlemen yang tak mau patuh dan jelas tercabik-cabik (atomized). Dapatkah kita mengharapkan dengan lingkungan seperti ini bahwa peralihan ke suatu sistem parlementer akan menghasilkan partai yang padu, dan ini diperlukan karena dalam system yang baru itu partai-partai dibutuhkan untuk menopang suatu pemerintah yang berasal dari parlemen? Sesungguhnya ini merupakan argumen para pencetus referendum (yang telah dikalahkan). Tetapi tidak ada bukti-bukti perbandingan dan juga historis yang mendukung harapan itu.
Dibandingkan dengan partai-partai Brasil, partai-partai Jerman selama periode Weimar merupakan “partai model”; namun fragmentasi partai-parta itu tidak pernah dapat diatasi dan kinerja parlementernya antara 1913-33tidak pernah mengalami perbaikan dan juga tidak memberi kemampuan memerintah. Tidak ada yang berubah dalam perilaku atau sifat pokok partai-partai selama Republik Prancis Ketiga dan Keempat. Usia rata-rata pemerintah selama masa empat puluh tahun dari Republik Ketiga (1875-1914) adalah sembilan bulan. Hal yang sama juga berlaku pada Italia sebelum-fasis. Persoalannya ialah bahwa keterpaduan dan disiplin partai(dalam pemungutan suara di parlemen) tidak pernah merupakan umpan balik (feedback) bagi pemerintah parlementer. Jika suatu sistem berdasarkan majelis, teratomisasikan, tidak mau patuh, yang bagaikan magma yang panasdi bawah permukaan, oleh kelembamannya sendiri sistem itu akan tetap sebagaimana adanya.
Saya tidak dapat membayangkan suatu system kepartaian yang berkembang ke dalam “sistem” yang benar-benar tersusun sebagai partai massa berbasis–organisasi yang kuat atas dasar pembelajarandi dalam parlemen. Metamorfosa atau perubahan bentuk dari system kepartaian yang tidak terstruktur menjadi terstruktur selalu dipicu olehtantangan dan penularan dari luar. Partai orang-orang terkemuka (party ofnotables) di masa lalu menghilang atau berubah arah sebagai tanggapan terhadap tantangan yang diciptakan partai-partai massa (sebagian besar antisistem)yang bercirikan ideologi dan semangat yang kuat. Semua unsur yang dahulu ada itu, sekarang tidak ditemukan di Brasil. Lagi pula, kredo dan retorika anti-partai yang merasuki negara itu menciptakan jenis partai yangcocok dengan sistem parlementer bukan saja mustahil, melainkan juga tidakdapat dibayangkan. Jadi persoalannya bahwa kultur dan tradisi politik Brasil sekarang ini menghidupkan partai-partai yang tidak cocok dengan system parlementer. Di bawah lingkungan seperti itu suatu percobaan parlementer yang menyebabkan Brasil keluar dari kekacauan ke dalam jenis pemerintahan parlementer yang efisien, menurut pendapat saya, menentang semua ketidak mungkinan.
Di lain pihak, di Amerika Latin, ada tiga negara penting yang diperkirakan mungkin menghasilkan—dari segi sistem kepartaiannya—suatu peralihan ke parlementarisme, yaitu Chili dan kemudian Argentina dan Venezuela yang masing-masing memilik dua-partai. Chili mempunyai susunan multi-partai yang menyerupai Eropa di daratan. Akan tetapi, Chilijuga mempunyai masa lalu dengan “pluralisme yang terpolarisasikan,”dengan polarisasi kuat yang dibarengi dengan fragmentasi partai yang besar.
Atas latar belakang ini, apakah bijaksana bagi Chili untuk mengadop sisistem parlementer? Saya meragukannya. Jika orang-orang Chili memutuskan untuk meninggalkan sistem presidensialnya, mereka sebaiknya diberi nasehat yang baik, yang menurut pendapat saya, untuk mengupayakan suatu pemecahan yang semi-presidensial dan bukan parlementer. Argentina malahan suatu sistem presidensial dua-partai yang mendekati kemungkinan menikmati mayoritas yang tidak terpisah. Sebagai suatu pertanyaan yang menduga-duga, akankah Argentina memperoleh manfaat dari suatu transformasi parlementer? Sekali lagi saya meragukannya. Partai-partai Argentina bukanlah partai yang “kokoh”. Yang mempertahankan kebersamaan mereka dan menghasilkan penggabungan diri mereka adalah sistem presidensial, yaitu kepentingan dalam memenangi hadiah yang tak-dapat dibagi :  kepresidenan. Jadi kita mengharapkan suatu susunan berbeda untuk menghasilkan suatu fragmentasi partai yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh Argentina. Selanjutnya Venezuela tampaksebagai satu-satunya negara Amerika Selatan yang mampu—atas dasar kedua partainya yang kuat dan disiplin—untuk mengambil resiko suatupercobaan parlementer. Tetapi pada 1933 sistem dua-partai Venezuela pecahberantakan. Oleh karena itu saya terdorong untuk menyimpulkan bahwakeberagaman parlementarisme yang sangat boleh jadi akan muncul dilintasan sebagian besar Amerika Latin bakal berupa bentuk majelis dengan kemungkinan yang terburuk.
         Dalam sistem presidensial kinerja pemerintahan dinilai kurang baik sebagaimana dikemukakan Linz di negara-negara dengan pembelahan yang dalam dan dengan suatu sistem kepartaian terfragmentasi, adalah benar sekali. Tetapidapatkah negara-negara itu berkinerja lebih baik—dengan kondisi-kondisitetap serupa di bawah bentuk parlementer? Apabila faktor-faktor lain tidakberubah, saya pikir tidak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar