MAKALAH
REIVENTING GOVERMENT AND GOOD GOVERNANCE
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Esa,
atas segala rahmat dan bimbingan-Nya yang diberikan sehingga penulis dapat
menyusun tugas makalah yang berjudul “Reinventing Goverment and good
governance’’. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Pemerintahan Nasional.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, melalui
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing
yang telah memberikan tugas ini, sehingga penulis bisa memahaminya dan
mempelajari lebih dalam tentang reinventing govermen and good
governance.Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penyususnan makalah ini
jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan masukan, baik
kritik maupun saran demi kelengkapan dan kebaikan makalah ini, penulis berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca pada umumnya.
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuanan dan
Kegunaan
BAB II PEMBAHASAN
A.Konsep
1. Pengertian Reiventing Goverment and Good Governance
2. Ciri-ciri Reiventing Goverment and Good
Governance
3. Jenis –Jenis Reiventing Goverment and Good Governance
4. Prinsip- Prinsip Reiventing Goverment and Good
Governance
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di zaman sekarang ini telah banyak orang yang mengerti
bahwa wirausaha adalah cara mendobrak nasib keterpurukan seseorang dengan
mengganti inovasi kreatif sedemikian rupa. Apalagi di tahun ini Indonesia telah
menjadi tuan rumah bagi pertemuan APEC di bali beberapa waktu lalu. Mau tidak
mau Indonesia harus siap mengahadapi kompetisi perekonomian dengan
Negara-negara pasifik.
Dalam menghadapi pasar bebas, Indonesia harus menyiapkan
sumber daya-sumber daya yang mampu menyaingi Negara-negara lain. Dalam hal ini,
Indonesia bukan hanya membutuhkan para wirausahawan kreatif, tetapi Indonesia
juga memongkar ulang sistem kinerja pemerintahannya.
Seperti yang telah kita ketahui kewirasuhaan pada
hakekatnya adalah sifat, ciri dan watak seseorang yang memiliki gagasan
inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif. Menghadapi kondisi ini, maka
pemerintah sebagai pelayan publik perlu berupaya untuk menekan sekecil mungkin
terjadinya kesenjangan antara tuntutan pelayanan masyarakat dengan kemampuan
aparatur pemeritah. Keterbatasan sarana dan prasarana yang telah ada tidak
dapat dijadikan sebagai alasan pembenaran tentang rendahnya kualitas pelayanan.
Kemandirian dan kemampuan yang handal dari pemerintah merupakan syarat mutlak
agar tetap terrpeliharanya kepercayaan masyarakat. Maka pemerintah saat ini
harus berupaya merupakanperannyauntuk masa yang akan datang yaitu melalui
penerapan konsep pemerintahan wirausaha atau dengan istilah Reiventing
Government and Good Governance.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah pengertian reinventing?
2.
Apakah pengertian government?
3.
Apakah yang dimaksud dengan reiventinggoverment?
4.
Apakah yang di maksud dengan good governance?
5.
ciri-ciri Reiventing goverment and good Governance?
6.
jenis –jenis reiventing
goverment and good governance?
7.
Prinsip –prinsip reiventing and good governance?
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN
1. Untuk mengetahui pengertian reinventing.
2. Untuk mengetahui pengertian government.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud
reinventing government.
4. Untuk mengetahui apa saja prinsip
reinventing government.
5. Untuk mengetahui prinsip reinventing
goverment menurut Imawan.
6. Untuk mengetahui strategi reinventing
goverment yang berjalan saat ini.
7. Untuk mengetahui Implementasi reinventing
goverment
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
REINVENTING
Pada dasarnya, menurut bahasa Reinventing artinya
menemukan atau menciptakan kembali. Namun menurut istilah, reinventing
dapat diartikan sebagai interpreneur atau wirausaha.Wirausaha adalah kemampuan
yang dimiliki seseorang untuk melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis;
mengumpulkan sumber daya- sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan
yang tepat dan mengambil keuntungan dalam rangka meraih sukses.Dengan pendapat
tersebut telah kita ketahui bahwa wirausaha ialah bukan berarti harus bergelut
dengan usaha (business), tetapi wirausaha ialah kemampuan atau skill
seseorang yang harus kita telaah dan dipelajari lebih dalam lagi. Kemampuan
tersebutlah yang sangat dibutuhkan oleh Negara ini. Kemampuan yang
B. PENGERTIAN
GOVERNMENT (PEMERINTAHAN)
Pemerintahan adalah suatu sistem untuk menjalankan
wewenang dan kekuasaan dalam mengatur kehidupan sosial, ekonomi dan politik,
suatu negara atau bagian-bagiannya.
Pengertian pemerintah yang lainnya adalah sekelompok
orang yang secara bersama-sama memikul tanggung jawab terbatas untuk
menggunakan kekuasaan. Pemerintah juga bisa diartikan sebagai penguasa suatu
negara atau badan tertinggi yang memerintah suatu negara
C. PENGERTIAN
REINVENTING GOVERNMENT
Menurut David Osborne dan Peter Plastrik (1997) dalam
bukunya “Memangkas Birokrasi”, Reinventing Government adalah “transformasi
system dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan
peningkatan dramatis dalam efektifitas, efesiensi, dan kemampuan mereka untuk
melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, system
insentif, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan dan budaya system dan
organisasi pemerintahan”. Pembaharuan adalah dengan penggantian system yang
birokratis menjadi system yang bersifat wirausaha. Pembaharuan dengan kata lain
membuat pemerintah siap untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam hal
pelayanan terhadap masyarakat, menciptakan organisasi-organisasi yang mampu
memperbaiki efektifitas dan efisiensi pada saat sekarang dan di masa yang akan
datang.
Konsep reinventing government pada dasarnya merupakan representasi dari paradigma New Public Management dimana dalam New Public Management (NPM), negara dilihat sebagai perusahaan jasa modern yang kadang-kadang bersaing dengan pihak swasta, tapi di lain pihak dalam bidang-bidang tertentu memonopoli layanan jasa, namun tetap dengan kewajiban memberikan layanan dan kualitas yang maksimal. Segala hal yang tidak bermanfaat bagi masyarakat dianggap sebagai pemborosan dalam paradigma New Public Management (NPM). Warga pun tidak dilihat sebagai abdi lagi, tetapi sebagai pelanggan layanan publik yang karena pajak yang dibayarkan memiliki hak atas layanan dalam jumlah tertentu dan kualitas tertentu pula. Prinsip dalam New Public Management (NPM) berbunyi, “dekat dengan warga, memiliki mentalitas melayani, dan luwes serta inovatif dalam memberikan layanan jasa kepada warga”
Konsep reinventing government pada dasarnya merupakan representasi dari paradigma New Public Management dimana dalam New Public Management (NPM), negara dilihat sebagai perusahaan jasa modern yang kadang-kadang bersaing dengan pihak swasta, tapi di lain pihak dalam bidang-bidang tertentu memonopoli layanan jasa, namun tetap dengan kewajiban memberikan layanan dan kualitas yang maksimal. Segala hal yang tidak bermanfaat bagi masyarakat dianggap sebagai pemborosan dalam paradigma New Public Management (NPM). Warga pun tidak dilihat sebagai abdi lagi, tetapi sebagai pelanggan layanan publik yang karena pajak yang dibayarkan memiliki hak atas layanan dalam jumlah tertentu dan kualitas tertentu pula. Prinsip dalam New Public Management (NPM) berbunyi, “dekat dengan warga, memiliki mentalitas melayani, dan luwes serta inovatif dalam memberikan layanan jasa kepada warga”
Konsep reinventing government, apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia konsep ini berarti menginventarisasikan lagi kegiatan pemerintah. Pada awalnya, gerakan reinventing government diilhami oleh beban pembiayaan birokrasi yang besar, namun dengan kinerja aparatur birokrasi yang rendah. Pressure dari publik sebagai pembayar pajak mendesak pemerintah untuk mengefisiensikan anggarannya dan meningkatkan kinerjanya. Pengoperasian fungsi pelayanan publik yang tidak dapat diefisiensikan lagi dan telah membebani keuangan Negara diminta untuk dikerjakan oleh sektor non-pemerintah. Dengan demikian, maka akan terjadi proses pereduksian peran dan fungsi pemerintah yang semula memonopoli semua bidang pelayanan publik, kini menjadi berbagi dengan pihak swasta, yang semula merupakan “big government” ingin dijadikan “small government” yang efektif, efisien, responsive, dan accountable terhadap kepentingan publik.
Dari penjelasan di atas telah dapat digambarkan bahwa reinventing government (pemerintahan wirausaha) ialah suatu sistem untuk menjalankan wewenang dan kekuasaan dalam mengatur kehidupan social, ekonomi dan politik dengan jiwa kewirausahaan di masing-masing anggota pemerintahan atau pejabatnya. Atau dengan kata lain, intinya ialah “mewirausahakan birokrasi”
Penerapan konsep ini tak lain dan tak bukan demi
cita-cita Negara manapun, yakni untuk menciptakan pemerintahan yang baik (good
government). Oleh karna itu dalam perombakan mendasar dalam sebuah Negara agar
tercipta good gornment ialah yang paling cocok dengan mengimplementasikan
konsep reinventing government. Dengan menanamkan jiwa wirausaha ke dalam diri
para pejabatnya.
D. PRINSIP
REINVENTING GOVERNMENT
Menurut
Osborne dan Gaebler dalam bukunya yang berjudul Reinventing Government,
sepuluh prinsip mewirausahakan birokrasi adalah sebagai berikut:
a.
Prinsip Pertama: Pemerintah yang katalis (Catalytic Government).
Konsep
yang pertama ini maksudnya ialah mengarahkan ketimbang mengayuh (steering
rather than rowing). Harus ada pemilah antara yang mengatur dan yang
melaksanakan. Pemerintah harus tegas membedakan antara siapa pemerintah yang
semestinya mengarahkan dan siapa yang semestinya melaksanakan. Dengan kata
lain, pemerintah harus lebih fokus terhadap pengarahannya. Tidak mungkin
pemerintah mengawasi atau mengayuh secara langsung proses pelayanan publik.
Dengan demikian konsep di atas guna untuk memisahkan dengan tegas bahwa
seharusnya pemerintah bisa fokus untuk menjadi pemikir dan pengarah.
b.
Prinsip kedua: Pemerintah milik rakyat (Community Government).
Prinsip
ini maksudnya ialah memberdayakan atau memberi wewenang ketimbang melayani (Empowering
rather than serving). Dalam hal ini pemerintah diharapkan mampu
memberdayakan rakyatnya. Dengan kata lain, pemerintah juga bisa memberikan
wewenang kepada masyarakat. Guna menjamin terselenggaranya pelayanan yang
efisien dan efektif; serta produk pemerintah bisa mencoba mengalihkan
pemilikannya ke masyarakat. Akhirnya, pelayanan tersebut bergeser ke pemberdayaan
masyarakat dari suatu komunitas. Sehingga ada kemungkinan besar kelak bisa
mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah. Lalu terciptalah
masyarakat yang handal dengan kreasinya dan menjadi lebih mandiri.
c.
Prinsip ketiga: Pemerintah yang kompetitif (Competitive Government).
Pemerintah
yang kompetetif dengan cara menyuntikkan persaingan dalam pemberian pelayanan (Injecting
Competition into service Delivery). Suatu pelayanan yang kompentitif
dianggap suatu hal yang sehat. Berbeda dengan cara monopoli, bila dibiarkan
akan timbul kembali ketergantungan pada satu pemilik. Pemerintah yang
kompetitif disini lebih diartikan pemerintah wirausaha yang mampu bersaing
dengan organisasi bisnis. Sehingga semuanya dapat mengembangkan krativitas inovasi
yang sangat menguntungkan bagi Negara dan masyarakatnya. Dengan pemberian
penghargaan dan pembiayaan kepada suatu lembaga-lembaga pemerintah yang
berhasil maju di suatu wilayah akan sangat diperhatikan oleh masyarakatnya. Di
sanalah letak kompetisi yang akan mebuat masyarakat dan pemerintahnya semangat
seperti layaknya dalam sebuah perlombaan.
d.
Prinsip keempat: Pemerintah yang digerakkan misi (Mission Driven Government).
Dalam
prinsip ini diharapkan pemerintah bisa mengubah organisasi yang digerakkan oleh
peraturan (Transforming Rule-Driven Organizations) menjadi digerakkan
oleh misi (mission-driven).
Seringkali
terjadi peristiwa di mana pemerintah tidak dapat dan tidak mampu mengambil
langkah-langkah strategis tertentu karena belum adanya peraturan-peraturan yang
mengaturnya. Sementara di pihak lain, kerap terjadi kasus dimana pemerintah
tidak berani melakukan sebuah tindakan karena cenderung bertentangan dengan
peraturan yang berlaku (walaupun peraturan yang bersangkutan sudah tidak cocok
lagi diterapkan pada kondisi saat ini). Akibat budaya ini, seringkali banyak
peluang-peluang kemajuan yang lewat dan terbuang begitu saja karena
ketidakmampuan pemerintah dalam memanfaatkan situasi tersebut.
Dalam dilema tersebut seharusnya pemerintah berjalan
dengan sebuah misi, dan menjadikan peraturan sebagai jalan atau cara untuk
mencapai sebuah misi tersebut.
e. Prinsip kelima:
Pemerintah yang berorientasi hasil (Result Oriented Government).
Maksudnya ialah pemerintah haru lebih fokus Membiayai
hasil bukan masukan (Funding outcomes, Not input). Dalam pembahasan
prinsip ini, sebaiknya kita sadari terlebih dahulu bahwa hal yang paling
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sebagai customer dari pemerintah adalah
hasil keluaran dari setiap inisiatif. Yang masyarakat nilai sebagai
keberhasilan adalah keluaran atau hasil dari pekerjaan tersebut yang diharapkan
dapat segera mendatangkan manfaat tertentu. Dengan kata lain, pemerintah harus
yakin bahwa berbagai usahanya akan melahirkan sebuah produk yang berkualitas dan
bermutu tinggi, dan target inilah yang akan menentukan jenis proses dan sumber
daya yang perlu dilibatkan (input); serta pemerintah harus meninggalkan
pemerintah yang memfokuskan pada masukan tanpa memperhatikan hasil, yang
cenderung pemborosan.
f. Prinsip keenam:
Pemerintah yang berorientasi pelanggan (Customer Driven Government).
Maksudnya ialah Memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan
birokrasi (Meeting the Needs of Customer, not be Bureaucracy).
Masyarakat adalah pelanggan. Pemerintah harus meletakkan pelanggan sebagai hal
paling depan. Oleh karena itu, kepuasan pelanggan diletakkan sebagai sasaran
penyampaian tujuan, dengan mendengarkan suara pelanggan. Dengan memperhatikan
kebutuhan dasar pelanggan dan memperhatikan hukum pelanggan, pemerintah lebih responsif
dan inovatif.
g. Prinsip ketujuh: Pemerintah
wirausaha (Enterprising Government).
Intinya ialah Menghasilkan ketimbang membelanjakan (Earning
Rather than Spending). Pemerintah wirausaha ialah pemerintah yang
memfokuskan energinya terhadap hasil kinerjanya bukan hanya membelanjakan
uangnya. Pada kenyataanya bahwa hampir seluruh perangkat pemerintahan merupakan
sebuah pusat harga yang dibiayai oleh anggaran belanja negara.
Secara tidak langsung dapat terlihat bahwa keberadaan
sistem birokrasi pemerintahan merupakan sebuah beban dari anggaran belanja
Negara. Dalam hal ini pemerintah harus menemukan sumber-sumber penghasilan
selain penghasilan yang telah disepakati, yaitu pajak. Sehingga tidak terlalu
menggantungkan pada penerimaan pajak. Pajak yang tinggi pada suatu keadaan
tertentu akan ditentang masyarakatnya.
h. Prinsip kedelapan: Pemerintah yang
antisipasi (Anticipatory Government).
Mencegah ketimbang Mengobati (Preventon Rather than
Cure). Pepatah lama mengatakan bahwa “mencegah lebih baik dari mengobati”.
Hal yang sama berlaku pula dalam kepemerintahan. Yaitu pemerintah harus lebih
berfokus pada upaya mencegah terhadap masalah yang timbul ketimbang memusatkan
penyediaan jasa demi mengurangi masalah (mengobati). Dalam hal ini, pemerintah
harus mempunyai strategi ampuh yang dapat meraih peluang tidak tarduga, serta
dapat mencegah krisis yang tidak terduga. Intinya pemerintah harus lebih
proaktif.
i. Prinsip
Kesembilan: Pemerintah yang desentralis (Decentralized Government).
Dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja (From
Hierarchy to Participation and Teamwork), Artinya, peranan komando dan
hierarki ditinggal. Selain itu, jika jika melihat perkembangan zaman yang
semakin maju dan teknologi semakin mengglobal dan pendidikan semakin maju,
sudah semestinya pemerintah menurunkan wewenang kepada lembaga-lembaga di
bawahnya serta mendorong mereka untuk berurusan langsung dengan pelanggan untuk
lebih bisa membuat keputusan. Lalu menciptakan kerja sama yang solid dengan
cara melihat mereka sama rata dan sudah sebanding dengan pemerintahnya.
Melahirkan partisipasi dengan tim kerja, Bukan dengan pengkomandoan yang
umumnya terlihat kaku. Dengan kata lain, pemerintah memberi ruang gerak kepada
mereka agar bisa bersama-sama menciptakan strategi kreatif.
j. Prinsip kesepuluh:
Pemerintah yang berorientasi pasar (Market Oriented Government).
Mendongkrak perubahan melalui pasar (Leveraging
change throught the Market). artinya pemerintah mendongkrak perubahan
melalui cara pasar. Mekanisme pasar memiliki banyak keunggulan ketimbang
mekanisme administrasi. Pasar pada dasarnya adalah desentralis. Harga
ditentukan oleh yang paling di atas. Namun dalam pasar bisa bersaing dengan
sehat, lebih kompetitif. Jika kita sadari, sebenaranya dalam pasar memberikan
kesempatan kepada pelanggan untuk menentukan pilihannya.
Strategi Reinventing Goverment:
1. Strategi inti (the core strategy)
Strategi ini menentukan tujuan (the purpose) sebuah sistem dan organisasi publik. Jika sebuah organisasi tidak mempunyai tujuan yang jelas atau mempunyai tujuan yang banyak atau saling bertentangan, maka organisasi itu tidak dapat mencapai kinerja yang tinggi. Dengan kata lain, sebuah organisasi publik akan mampu bekerja secara efektif jika ia mempunyai tujuan yang spesifik. Oleh karena itu, adalah penting bagi para pemimpin organisasi-organisasi publik untuk menetapkan terlebih dahulu tujuan organisasinya secara spesifik.
2. Strategi konsekuensi (the consequences strategy)
Strategi ini menentukan insentif-insentif yang dibangun ke dalam sistem publik. Birokrasi memberikan para pegawainya insentif yang kuat untuk mengikuti peraturan-peraturan, dan sekaligus, mematuhinya. Pada model birokrasi lama, para pegawai atau karyawan memperoleh gaji yang sama terlepas dari yang mereka hasilkan.
Dalam rangka reinventing government, seperti diungkapkan oleh Osborne dan Plastrik, mengubah insentif adalah penting dengan cara menciptakan konsekuensi-konsekuensi bagi kinerja. Jika perlu, organisasi-organisasi publik perlu ditempatkan dalam dunia usaha (market place), dan membuat organisasi tergantung pada konsumennya untuk memperoleh penghasilan. Namun, jika hal ini tidak layak untuk dilakukan, maka perlu dibuat kontrak atau perjanjian guna menciptakan persaingan antara organisasi-organisasi publik dan swasta (atau persaingan antar organisasi publik).
Hal ini karena pasar dan persaingan menciptakan insentif-insentif yang jauh lebih kuat sehingga organisasi publik terdorong untuk memberikan perbaikan-perbaikan kinerja yang lebih besar. Insentif dan persaingan ini dapat mempunyai bentuk yang beragam, seperti tunjangan kesehatan, kenaikan gaji, atau memberikan penghargaan bagi organisasi-organisasi publik yang mempunyai kinerja yang lebih tinggi.
1. Strategi inti (the core strategy)
Strategi ini menentukan tujuan (the purpose) sebuah sistem dan organisasi publik. Jika sebuah organisasi tidak mempunyai tujuan yang jelas atau mempunyai tujuan yang banyak atau saling bertentangan, maka organisasi itu tidak dapat mencapai kinerja yang tinggi. Dengan kata lain, sebuah organisasi publik akan mampu bekerja secara efektif jika ia mempunyai tujuan yang spesifik. Oleh karena itu, adalah penting bagi para pemimpin organisasi-organisasi publik untuk menetapkan terlebih dahulu tujuan organisasinya secara spesifik.
2. Strategi konsekuensi (the consequences strategy)
Strategi ini menentukan insentif-insentif yang dibangun ke dalam sistem publik. Birokrasi memberikan para pegawainya insentif yang kuat untuk mengikuti peraturan-peraturan, dan sekaligus, mematuhinya. Pada model birokrasi lama, para pegawai atau karyawan memperoleh gaji yang sama terlepas dari yang mereka hasilkan.
Dalam rangka reinventing government, seperti diungkapkan oleh Osborne dan Plastrik, mengubah insentif adalah penting dengan cara menciptakan konsekuensi-konsekuensi bagi kinerja. Jika perlu, organisasi-organisasi publik perlu ditempatkan dalam dunia usaha (market place), dan membuat organisasi tergantung pada konsumennya untuk memperoleh penghasilan. Namun, jika hal ini tidak layak untuk dilakukan, maka perlu dibuat kontrak atau perjanjian guna menciptakan persaingan antara organisasi-organisasi publik dan swasta (atau persaingan antar organisasi publik).
Hal ini karena pasar dan persaingan menciptakan insentif-insentif yang jauh lebih kuat sehingga organisasi publik terdorong untuk memberikan perbaikan-perbaikan kinerja yang lebih besar. Insentif dan persaingan ini dapat mempunyai bentuk yang beragam, seperti tunjangan kesehatan, kenaikan gaji, atau memberikan penghargaan bagi organisasi-organisasi publik yang mempunyai kinerja yang lebih tinggi.
3. Strategi pelanggan (the customers
strategy)
Strategi ini terutama memfokuskan pada pertanggungjawaban (accountability). Berbeda dengan birokrasi lama, dalam birokrasi model baru, tanggung jawab para pelaksana birokrasi publik hendaknya ditempatkan pada masyarakat, atau dalam konteks ini dianggap sebagai pelanggan. Dengan demikian, tanggung jawab tidak lagi semata-mata ditempatkan pada pejabat birokratis di atasnya, tetapi lebih didiversifikan kepada publik yang lebih luas.
Model pertanggungjawaban seperti ini diharapkan dapat meningkatkan tekanan terhadap organisasi-organisasi publik untuk memperbaiki kinerja ataupun pengelolaan sumber-sumber organisasi. Selanjutnya, dengan memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat/konsumen, akan dapat menciptakan informasi, yaitu tentang kepuasan para konsumen terhadap hasil-hasil dan pelayanan pemerintahan tertentu. Dengan kata lain, penyerahan pertanggungan jawab kepada para konsumen berarti bahwa organisasi-organisasi publik harus mempunyai sasaran yang harus dicapai, yaitu meningkatkan kepuasan konsumen (customers satisfaction).
Strategi ini terutama memfokuskan pada pertanggungjawaban (accountability). Berbeda dengan birokrasi lama, dalam birokrasi model baru, tanggung jawab para pelaksana birokrasi publik hendaknya ditempatkan pada masyarakat, atau dalam konteks ini dianggap sebagai pelanggan. Dengan demikian, tanggung jawab tidak lagi semata-mata ditempatkan pada pejabat birokratis di atasnya, tetapi lebih didiversifikan kepada publik yang lebih luas.
Model pertanggungjawaban seperti ini diharapkan dapat meningkatkan tekanan terhadap organisasi-organisasi publik untuk memperbaiki kinerja ataupun pengelolaan sumber-sumber organisasi. Selanjutnya, dengan memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat/konsumen, akan dapat menciptakan informasi, yaitu tentang kepuasan para konsumen terhadap hasil-hasil dan pelayanan pemerintahan tertentu. Dengan kata lain, penyerahan pertanggungan jawab kepada para konsumen berarti bahwa organisasi-organisasi publik harus mempunyai sasaran yang harus dicapai, yaitu meningkatkan kepuasan konsumen (customers satisfaction).
4. Strategi Pengawasan (the control
strategy)
Strategi ini menentukan di mana letak kekuasaan membuat keputusan itu diberikan. Dalam sistem birokrasi lama, sebagian besar kekuasaan tetap berada di dekat puncak hierarkhi. Dengan kata lain, wewenang tertinggi untuk membuat keputusan berada pada puncak hierarkhi.
Perkembangan birokrasi modern yang semakin kompleks telah membuat organisasi menjadi tidak efektif. Hal ini karena proses pengambilan keputusan harus melalui jenjang hierakhi yang panjang sehingga membuat proses pengambilan keputusan cenderung lamban, dan jika hal ini dipaksakan, maka jika dilewati akan membawa dampak terjadinya bureaucracy barierrs. Pada akhirnya, secara keseluruhan, sistem kinerja birokrasi dalam menangani masalah dan memberikan pelayanan kepada masyarakat akan berlangsung lamban karena bawahan tidak diberi ruang yang cukup untuk mengambil inisiatif dalam memecahkan masalah.
Lebih lanjut, dalam model birokrasi lama, para pengelola atau manajer mempunyai pilihan-pilihan yang terbatas, dan keleluasan atau fleksibilitas mereka dihimpit oleh ketentuan-ketentuan anggaran yang terinci, peraturan-peraturan perorangan, sistem pengadaan (procurement systems), praktek-praktek audit, dan sebagainya. Karyawan hampir tidak mempunyai kekuasaan untuk membuat keputusan. Akibatnya, organisasi-organisasi pemerintah lebih menanggapi perintah-perintah baru dibandingkan dengan situasi yang berubah atau kebutuhan-kebutuhan pelanggan.
Oleh karena itu, adalah penting mendesentralisasikan pembuatan keputusan kepada pejabat-pejabat dan karyawan atau pegawai birokrasi di bawahnya karena hal ini akan mendorong timbulnya rasa tanggung jawab dikalangan para pegawai birokrasi, dan dalam konteks yang luas mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses implementasi kebijakan.
Strategi ini menentukan di mana letak kekuasaan membuat keputusan itu diberikan. Dalam sistem birokrasi lama, sebagian besar kekuasaan tetap berada di dekat puncak hierarkhi. Dengan kata lain, wewenang tertinggi untuk membuat keputusan berada pada puncak hierarkhi.
Perkembangan birokrasi modern yang semakin kompleks telah membuat organisasi menjadi tidak efektif. Hal ini karena proses pengambilan keputusan harus melalui jenjang hierakhi yang panjang sehingga membuat proses pengambilan keputusan cenderung lamban, dan jika hal ini dipaksakan, maka jika dilewati akan membawa dampak terjadinya bureaucracy barierrs. Pada akhirnya, secara keseluruhan, sistem kinerja birokrasi dalam menangani masalah dan memberikan pelayanan kepada masyarakat akan berlangsung lamban karena bawahan tidak diberi ruang yang cukup untuk mengambil inisiatif dalam memecahkan masalah.
Lebih lanjut, dalam model birokrasi lama, para pengelola atau manajer mempunyai pilihan-pilihan yang terbatas, dan keleluasan atau fleksibilitas mereka dihimpit oleh ketentuan-ketentuan anggaran yang terinci, peraturan-peraturan perorangan, sistem pengadaan (procurement systems), praktek-praktek audit, dan sebagainya. Karyawan hampir tidak mempunyai kekuasaan untuk membuat keputusan. Akibatnya, organisasi-organisasi pemerintah lebih menanggapi perintah-perintah baru dibandingkan dengan situasi yang berubah atau kebutuhan-kebutuhan pelanggan.
Oleh karena itu, adalah penting mendesentralisasikan pembuatan keputusan kepada pejabat-pejabat dan karyawan atau pegawai birokrasi di bawahnya karena hal ini akan mendorong timbulnya rasa tanggung jawab dikalangan para pegawai birokrasi, dan dalam konteks yang luas mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses implementasi kebijakan.
5. Strategi budaya (the culture
strategy)
Strategi ini menentukan budaya organisasi publik yang menyangkut nilai, norma, tingkah laku, dan harapan-harapan para karyawan. Budaya ini akan dibentuk secara kuat oleh tujuan organisasi, insentif, sistem pertanggungjawaban, dan struktur kekuasaan organisasi. Dengan kata lain, mengubah tujuan, insentif, sistem pertanggungan jawab, dan struktur kekuasaan organisasi akan mengubah budaya.
Strategi ini menentukan budaya organisasi publik yang menyangkut nilai, norma, tingkah laku, dan harapan-harapan para karyawan. Budaya ini akan dibentuk secara kuat oleh tujuan organisasi, insentif, sistem pertanggungjawaban, dan struktur kekuasaan organisasi. Dengan kata lain, mengubah tujuan, insentif, sistem pertanggungan jawab, dan struktur kekuasaan organisasi akan mengubah budaya.
Implementasi Reinventing Goverment.
Prinsip-prinsip reinventing government yang dikemukakan oleh Osborne dan Plastrik pada dasarnya adalah bertujuan dapat meningkatkan kinerja organisasi sektor publik dan dapat meningkatkan kualitas pelayanan umum (public serve). Implementasi prinsip-prinsip reinventing government harus selalu meningkat karakteristik dari masing-masing daerah. Artinya implementasi semangat dan prinsip reinventing sifatnya kontekstual, bukan universal.
Prinsip-prinsip reinventing government yang dikemukakan oleh Osborne dan Plastrik pada dasarnya adalah bertujuan dapat meningkatkan kinerja organisasi sektor publik dan dapat meningkatkan kualitas pelayanan umum (public serve). Implementasi prinsip-prinsip reinventing government harus selalu meningkat karakteristik dari masing-masing daerah. Artinya implementasi semangat dan prinsip reinventing sifatnya kontekstual, bukan universal.
Tantangan yang timbul dari prinsip reinventing antar
lain :
1. Bagaimana mengimplementasikan
konsep tersebut tanpa menimbulkan friksi yang justru akan menghambat efisiensi
dan efektivitas birokrasi. Sebab prinsip reinventing gorvernment sesungguhnya
baru mengena pada dimensi normatif, tetapi belum teruji secara empiris.
2. Bagaimana menentukan strategi
praktis untuk mengadopsi prinsip reinventing government ke dalam sistem dan
mekanisme pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Penataan Kelembagaan pemerintah melalui reinventing
antara lain.
1. Reorientasi.
Meredefenisikan visi, misi, peran,
strategi, implementasi, dan evalusi kelembagaan pemerintah.
2. Restrukturisasi.
Menata ulang kelembagaan pemerintah,
membangun organisasi sesuai kebutuhan dan tuntutan publuk .
3. Aliansi.
B. PENGERTIAN GOOD
AND GOVERNANCE
Istilah good and governance muncul pasca runtunya rezim Orde Baru dan
bergulirnya gerakan reformasipada awal 1990-an.Secara umum istilah good and
governance adalah segala hal yang berkaitan dengan tindakan atau
memengaruhi tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau
memengaruhi urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
sehari hari.Pemikiran tentang good and governance pertama
kali dikembangkan oleh lembaga dana internasional seperti World Bank,
UNDP dan IMF dalam rangka menjaga dan menjamin kelangsungan dana bantuan yang
diberikan kepada negara sasaran bantuan.Karena itu good governance menjadi
isu sentral dalam hubungan lembaga-lembaga multirateral tersebut dengan negara
sasaran.
Ada
empat pengetian yang menjadi arus utama, yakni pertama dimaknai sebagai kinerja
suatu lembaga; kedua dimaknai sebagai penerjemah kongkrit dari demokrasi dengan
meniscayakan civic culture sebgai penompang berkelanjutan demokrasi itu
sendiri; ketiga dan keempat diartikan dengan istilah aslinya atau tidak
diterjemahkan karena memandang luasnya dimensi good governance yang
tidak bisa diprediksi hanya menjadi pemerintahan semata.Jadi good
governance diartikan sebagai tata tingkah laku atau tindakan baik yang
didasarkan pada kaidah-kaidah tertentu untuk pengelolaan masalah-masalah public
dalam kehidupan keseharian.Dengan demikian good
and governance adalah pemerintahan yang baik dalam standar proses dan
hasil-hasilnya, semua unsur perintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak
saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat dan terlepas dari
gerakan-gerakan anarkis yang dapat mengahmbat proses pemabangunan. Untuk meralisasikan pemerintahan yang professional dan
akuntabel yang bersandar pada prinsip-prinsip good governance Lembaga
Administrasi Negara (LANdan Masyarakat Transparansi Indonesia merumuskan
sembilan aspek fundamental (Asas) dalam good governance yang harus
diperhatikan, yaitu sebagai berikut:
1.
Partisipasi (participation).
2.
Penegakan hukum (rule of law).
3.
Transparansi (transparency).
4.
Responsive (responsiveness).
5.
Orientasi kesepakatan (consensus orientation).
6.
Kesetaraan (equite).
7.
Efiktivitas (effectivenness) dan Efisiensi (eficiency).
8.
Akuntabilitas (accountability).
9. Visi
strategis (strategic vision).
1.
Partisipasi (Participation)
Asas
partisipasi adalah bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam pengambilan
keputusan.Bentuk keikut
sertaan dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul
dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif.
Menurut Jewell dan Siegall partisipasi adalah keterlibatan anggota organisasi
didalam semua kegiatan organisasi.Di lain pihak Handoko menyatakan partisipasi
merupakan tindakan dan pengawasan kegiatan di dalam organisasi.
Semua warga negara berhak terlibat dalam keputusan, baik langsung maupun
melalui lembaga perwakilan yang sah untuk mewakili kepentingan mereka.
Paradigma birokrasi sebagai center for public harus diikuti dengan berbagai
aturan sehingga proses sebuah usaha dapat dilakukan dengan baik dan efisien,
selain itu pemerintah juga harus menjadi public server dengan memberikan
pelayanan yang baik, efektive, efisien, tepat waktu serta dengan biaya yang
murah, sehingga mereka memiliki kepercayaan dari masyarakat. Partisipasi
masyarakat sangat berperan besar dalam pembangunan, salah satunya diwujudkan
dengan pajak.
2. Penegakan
Hukum (Rule of Law)
Penegakan hukum adalah pengelolaan pemerintah yang profesional dan
harus didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa.[1][10]Penegakan
hukum sangat berguna untuk menjaga stabilitas nasional. Karena suatu hukum bersifat tegas dan mengikat.Sehubungan
dengan itu,santosa menegaskan, bahwa Perwujudan good governance harus di imbangi
dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum yang mengandung unsur-unsur
sebagai berikut :
a. Supremasi Hukum, yakni setiap
tindakan unsur-unsur kekuasaan negara dan peluang
partisipasi masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan peraturan yang jelas dan dijamain
pelaksanaannya secara benar serta independen.
b. Kepastian hukum, bahwa setiap
kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum
yang jelas dan pasti, tidak duplikasi
dan tidak bertentangan antara satu dengan yang
lainnya.
c. Hukum yang responsive, yakni
aturan-aturan hukum disusun berdasarkan aspirasi msyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai
kebutuhan publik secara adil.
d. Penegakan hukum yang konsisten dan
nondiskriminatif, yakni penegakan hukum yang
berlaku untuk semua orang tanpa
pandang bulu jabatan maupun status sosialnya sebagai contoh: aparat penegak hukum yang melanggar kedisiplinan dan hukum wajib
dikenakan sanksi.
e. Independensi peradilan, yakni
peradilan yang independen bebas dari pengaruh
penguasa atau pengaruh lainnya.
Sayangnya, di negara kita independensi peradilan belum begitu baik dan dinodai oleh aparat penegak hukum
sendiri, sebagai contoh
kecilnya yaitu kasus suap jaksa.
3. Responsif (Responsiveness)
Asas responsif adalah bahwa pemerintah harus tanggap terhadap
persoalan-persoalan masyarakat secara umum.Pemerintah harus memenuhi kebutuhan
masyarakatnya, bukan menunggu masyarakat menyampaikan aspirasinya, tetapi
pemerintah harus proaktif dalam mempelajari dan mengalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat.Jadi setiap
unsur pemerintah harus memiliki dua etika yaitu etika individual yang menuntut
pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional.Dan
etika sosial yang menuntut pemerintah memiliki sensitifitas terhadap berbagai
kebutuhan pubik.[2][14]Orientasi
kesepakatan atau Konsensus (Consensus Orientation).
Asas konsensus adalah bahwa setiap keputusan apapun harus dilakukan
melalui proses musyawarah. Cara pengambilan keputusan secara konsensus akan
mengikat sebagian besar komponen yang bermusyawarah dalam upaya
mewujudkan efektifitas pelaksanaan keputusan. Semakin banyak yang terlibat
dalam proses pengambilan keputusan maka akan semakin banyak aspirasi dan
kebutuhan masyarakat yang terwakili selain itu semakin banyak yang melakukan
pengawasan serta kontrol terhadap kebijakan-kebijakan umum maka akan semakin
tinggi tingkat kehati-hatiannya dan akuntanbilitas pelaksanaannya dapat semakin di pertanggungjawabkan.
4. Konsesus (consesus)
Pengambilan keputusan adalah salah satu asas
yang fundamental yang harus di perhatikan oleh pemrintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya untuk mencapai tujuan good governance.Pengambilan
keputusan secra konsessus yakni mengambil keputusan melalui proses musyawarah dan semaksimal mungkin berdasrkan
kesepakatan bersama.
Prinsip ini menyatakan bahwa keputusan apapun harus
dilakukan melalui proses musyawarah melalui konsesus. Model pengambilan
keputusan tersebut, selain dapat memuaskan sebagian besar pihak, juga akan
menjadi keputusan yang mengikat dan milik bersama, sehingga akan memiliki
kekuatan memaksa bagi semuakomponen yang terlibat untuk melaksanakan keputusan
tersebut.
Pelaksanaan prinsip pada paktinya sangat terkait dengan
tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemerintahan, kulturaldemokrasi,serta
tata aturan dalam kegiatan pengambilan kebijakan yang berlaku dalam sebuah
system.[3][15]
Paradigma ini perlu dilakukan dalam konteks pelaksanaan pemerintahan,
karena urusan yang mereka kelola adalah persoalan-persoalan public yang ahrus
di pertanggung jawabkan kepada masyarakat.
5. Kesetaraan (equity)
asas kesetaraan yakni kesamaan dalam perlakuan
dan pelayanan.Asas ini dikembankan berdasrkan senuah kenyataan bahnwa bangsa
Indonesia ini tergolong bangsa yang prural,baik dari segi etnik,agama dan
budaya.prulalisme ini tentu saja pada satu sis dapat memicu masalah apabila
dimanfaatkan dalam konteks kepentingan sempit seperti primordialisme,egoism,dan
sebagainya.Karena prinsip kesetaraan harus diperhatikan agar tidak
memicu akses yang tidak diinginkan dalam penyelenggaraan pemedrintah.Asas
kesetaraan dan keadilan adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan
publik.Pemerintah harus bersikap dan berprilaku adil dalam memberikan pelayanan
terhadap publik tanpa mengenal perbedaan kedudukan, keyakinan, suku, dan kelas
sosial
Clean and good governance juga harus
didukung dengan asa kesetaraan, yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan.
Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua penyelenggara
pemerintahan di Indonesia karena kenyatan sosiologis bangsa kita sebagai bangsa
yang majemuk, baik etnis, agama, dan budaya.
6. Efektivitas
(Effectifeness) dan Efisiensi (Efficiency)
Efisiensi berkaitan dengan penghematan keuangan, sedangkan Efikktifitas
berkaitan dengan ketepatan cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah
(Handoko,1998:23).Menurut Jeff dan Shah (1998:7) indikator yang dapat digunakan
untuk mengur efisiensi dan efiktifitas,yaitu : Efisiensi: Meningkatnya
kesejahteraan dan nilai tambah dari pelayanan masyarakat, berkurangnya
penyimpanan pembelanjaan, berkuragnya bianya operasioanal pelayanan dan
mendapatkan ISO pelayanan.
Eviktivitas: Meningkatnya
masukan dari masyarakat terhadap penyimpangan (Kebocoran, Pemborosan,
Penyalahgunaan wewenang dan sebagainya) melalui media massa dan berkurangnya
pentimpanganKonsep
efektivitas dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda,
yakni efektivitas dalam pelaksanan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat
publik maupun partisipasi masyarakat, dan kedua, efektivitas dalam konteks
hasil, yakni mampu membrikan kesejahteraan pada sebesar-besarnya kelompok dan
lapisan sosial.Kriteria efektif dan
efisien
.
DAFTAR PUSTAKA
Imawan, Riswandha. 1998. Membedah Politik Orde Baru. Pustaka Pelajar:, Jogyakarta
Mas`oed, Mohtar. 1994. Politik Birokrasi dan Pembangunan. Pustaka Pelajar: Jogyakarta.
Miriam Budiardjo. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Utama:, Jakarta.
Osborn david dan plastrik peter,2000.memangkas birokrasi: lima strategi menuju pemerintahan wirausaha, PPM: Jakarta
Putra, Fadillah dan Arif, Saiful. 2001. Kapitalisme Birokrasi: Kritik Reinventing Government Osborne Gaebler. LKiS: Yogyakarta.Agus Dwiyanto. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Gadjah Mada University Press. 2005
Azra azyumardi,2003;Demokrasi,Hak Asasi Manusia dan Masyarakat madani
pendidikan
kewarganegaraan,Jakarta:Prenada Media.
Rojak Abdul dan Sayuti wahid,dkk,2004;pendidikan
kewarganegaraan,Jakarta:Prenada Media.
Saefulloh Aep dan Tarsono,2011;modul pendidikan
kewarganegaraan,Bandung:Batik Press.
Sahid Asep Gatara dan Sofhian subhan,2012;Pendidikan
kewarganegaraan,Bandung:Fokus
media.
Sulaiman Asep,2013;Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan,Bandung:Fadillah Press.
Ubaedillah A dan Abdul Rozak edisi revisi,2003:Pancasila Demokrasi Hak
Asasi Manusia Dan
Mayarakat Madani,Ciputat Jakarta Selatan:Prenada Media Gruf.
Ubaedillah A dan Abdul Rozak edisi ke-3,2003:Pancasila Demokrasi Hak
Asasi Manusia Dan Mayarakat Madani,Ciputat Jakarta Selatan:Prenada Media Gruf.
Websate
Tidak ada komentar:
Posting Komentar