TATA KELOLA PEMERINTAHAN
A.
Pengertian Good Governance
Globalisasi yang
menyentuh berbagai bidang kehidupan di seluruh wilayah pemerintahan
negara menurut
reformasi sistem perekonomian dan pemerintahan, termasuk birokrasinya,
sehingga memungkinkan
interaksi perekonomian antardaerah dan antarbangsa berlangsung
lebih efisien. Kunci
keberhasilan pembangunan perekonomian adalah daya saing, dan kunci
dari daya saing
adalah efisiensi proses pelayanan, serta mutu ketepatan dan kepastian
kunci dari daya saing
adalah efisiensi proses pelayanan, mutu, dan kepastian kebijakan publik.
Dalam upaya
menghadapi tantangan tersebut, salah satu prasyarat yang perlu dikembangkan
adalah komitmen yang
tinggi untuk menerapkan nilai luhur dan prinsip tata kelola (good
governance)
dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan negara, sedangkan diamanatkan dalam
Pembukaan UUD 1945. United
Nations Development Program (UNDP) dalam dokumen
kebijakannya yang
berjudul “Governance for Sustainable Human Development” (1977),
mendefinisikan
kepemerintahan (governance) sebagai berikut : “Governance is the
exercise of
economic,
political, and administrative authority to a country’s affairs at all levels
and means
by
which states promote social cohesion, integration, and ensure the well being of
their
population”
(Keterampilan adalah pelaksanaan kewenangan/kekuasaan dalam bidang
ekonomi, politik, dan
administratif untuk mengelola berbagai urusan Negara pada setiap
tingkatannya dan
merupakan instrument kebijakan negara untuk mendorong terciptanya
kondisi kesejahteraan
integritas dan kohesitas social dalam masyarakat).
Pemerintah atau “Government”
dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “The authoritative
direction
and administration of the affairs of men/women in a nation, state, city, etc”
(pengarahan dan
administrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah
negara, negara
bagian, kota, dan sebagainya). Ditinjau dari sisi semantik, kebahasaan
governance
berarti tata kepemerintahan dan good governance bermakna
tata kepemerintahan
yang baik. Di satu
sisi istilah good governance dapat dimaknai secara berlainan, sedangkan
sisi
yang lain dapat
diartikan sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan,
perusahaan atau
organisasi kemasyarakatan.
Apabila istilah ini
dirujuk pada asli kata dalam bahasa Inggris : governing, maka artinya
adalah
mengarahkan atau
mengendalikan, Karena itu good governance dapat diartikan sebagai
tindakan untuk
mengarahkan, mengendalikan, atau memengaruhi masalah publik. Oleh karena
itu ranah good
governance tidak terbatas pada negara atau birokrasi pemerintahan, tetapi
juga
pada ranah masyarakat
sipil yang dipresentasikan oleh organisasi nonpemerintah dan sektor
swasta. Singkatnya,
tuntutan terhadap good governance tidak hanya ditujukan kepada
penyelenggara negara
atau pemerintah, melainkan juga pada masyarakat di luar struktur
birokrasi
pemerintahan.
Dari berbagai
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintahan yang baik adalah baik
dalam proses maupun
hasilnya. Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak secara
sinergis, tidak
saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat, serta terbebas dari
gerakan-gerakan
anarkis yang bisa menghambat proses dan laju pembangunan. Pemerintahan
juga bisa dikatakan
baik jika produktif dan memperlihatkan hasil dengan indicator kemampuan
ekonomi rakyat
meningkat, baik dalam aspek produktivitas maupun dalam daya belinya;
kesejahteraan
spiritualnya meningkat dengan indicator rasa aman, bahagia, dan memiliki rasa
kebangsaan yang
tinggi.
B.
Latar Belakang Good Governance
Penerapan good
governance di Indonesia dilatarbelakangi oleh dua hal yang sangat mendasar:
a. Tuntutan
eksternal: Pengaruh globalisasi telah memaksa kita untuk menerapkan
good
governance. Good governance telah menjadi ideology baru negara dan
lembaga donor
internasional dalam mendorong Negara-negara anggotanya
menghormati
prinsip-prinsip ekonomi pasar dan demokrasi sebagai prasyarat
dalam pergaulan
internasional. Istilah good governance mulai mengemuka di
Indonesia pada akhir
tahun 1990-an, seiring dengan interaksi antara pemerintah
Indonesia dengan
negara-negara luar dan lembaga-lembaga donor yang menyoroti
kondisi objektif
situasi perkembangan ekonomi dan politik dalam negeri
Indonesia.
b. Tuntutan internal:
Masyarakat melihat dan merasakan bahwa salah satu penyebab
terjadinya krisis
multidimensional saat ini adalah terjadinya abuse of power yang
terwujud dalam bentuk
KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dan sudah
sedemikian rupa
mewabah dalam segala aspek kehidupan.
Proses check and
balance tidak terwujud dan dampaknya menyeret bangsa Indonesia pada
keterpurukan ekonomi
dan ancaman disentegrasi. Berbagai kajian ihwal korupsi di Indonesia
memperlihatkan
korupsi berdampak negative terhadap pembangunan melalui kebocoran,
mark
up yang menyebabkan produk high cost dan tidak kompetitif di
pasar global (high cost
economy),
merusakkan tatanan masyarakat dan kehidupan bernegara. Masyarakat menilai
praktik KKN yang
paling mencolok kualitas dan kuantitasnya adalah justru yang dilakukan oleh
cabang-cabang
pemerintahan, eksekutif, legislative, dan yudikatif. Hal ini mengarahkan
wacana pada bagaimana
menggagas reformasi birokrasi pemerintahan (governance reform).
Realitas sejarah ini
menggiring kita pada wacana bagaimana mendorong negara menerapkan
nilai-nilai
transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan desentralisasi penyelenggaraan
pemerintahan. Good
governance ini dapat berhasil bila pelaksanaannya dilakukan dengan
efektif, efisien, responsive
terhadap kebutuhan rakyat, serta dalam suasana demokratis,
akuntabel, dan
transparan.
UNDP (1997)
mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip yang harus dianut dan
dikembangkan dalam
praktik penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, meliputi :
a. Partipasi (participation).
Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-laki
maupun perempuan,
memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan
keputusan, baik
langsung maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan
kepentingan dan
aspirasinya masing-masing.
b. Aturan Hukum (rule
of law). Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan
harus berkeadilan,
ditegakkan, dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum
tentang hak asasi
manusia.
c. Transparansi (transparency).
Transparansi harus dibangun dalam kerangka
kebebasan aliran
informasi
d. Daya Tanggap (responsiveness).
Setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan
pada upaya untuk
melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders)
e. Berorientasi
Konsensus (consensus orientation). Pemerintahan yang baik akan
bertindak sebagai
penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk
mencapai konsesus
atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masing
Bab 13 Tata Kelola
Pemerintahan__ 399
Rowland B. F.
Pasaribu
masing pihak, dan
jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai
kebijakan dan
prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.
f. Berkeadilan (equity).
Pemerintahan yang baik akan memberi kesempatan yang
baik terhadap
laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk
meningkatkan dan
memelihara kualitas hidupnya.
g. Efektif dan
efisien (effectivieness and efficiency). Setiap proses keiatan dan
kelembagaan diarahkan
untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai
dengan kebutuhan
melalui pemanfaatan berbagai sumber-sumber yang tersedia
dengan
sebaik-baiknya.
h. Akuntabilitas (accountability).
Para pengambil keputusan dalam organisasi sektor
publik, swasta, dan
masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban
(akuntabilitas)
kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada
para pemilik
kepentingan (stakeholders).
i. Visi Strategis (strategic
holders). Para pemimpin dan masyarakat memiliki
perspektif yang luas
dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan
yang baik dan
pembangunan manusia, bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan
untuk pembangunan
tersebut.
Keseluruhan
karakteristik atau prinsip good governance tersebut saling memperkuat
dan
terkait serta tidak
berdiri sendiri.
Menurut Laode Ida
(2002), ciri-ciri Good Governance adalah sebagai berikut :
1. Terwujudnya
interaksi yang baik antara pemerintah, swasta, dan masyarakat,
terutama bekerja sama
dalam pengaturan kehidupan sosial politik dan
sosioekonomi.
2. Komunikasi, yakni
adanya jaringan multi sistem (pemerintah, swasta, dan
masyarakat) yang
melakukan sinergi untuk menghasilkan output yang berkualitas.
3. Proses penguatan
diri sendiri (self enforcing processi), di mana ada upaya untuk
mendirikan pemerintah
(self governing) dalam mengatasi kekacauan dalam
kondisi lingkungan
dan dinamika masyarakat yang tinggi.
4. Keseimbangan
kekuatan (balance of forces), di mana dalam rangka menciptakan
pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development), ketiga elemen yang
ada menciptakan
dinamika, kesatuan dalam kompleksitas, harmoni, dan
kerjasama.
5. Interdependensi,
yakni menciptakan saling ketergantungan yang dinamis antara
pemerintah, swasta,
dan masyarakat melalui koordinasi yang fasilitasi.
Dalam perkembangan
selanjutnya, tata pemerintahan yang baik berkaitan dengan
struktur pemerintahan
yang mencakup antara lain :
1. Hubungan antara
pemerintah dengan pasar
2. Hubungan antara
pemerintah dengan rakyatnya
3. Hubungan antara
pemerintah dengan organisasi kemasyarakatan
4. Hubungan antara
pejabat-pejabat yang dipilih (politisi) dan pejabat-pejabat yang diangkat
(pejabat birokrat)
5. Hubungan antara
lembaga pemerintahan daerah dengan penduduk perkotaan dan
pedesaan
6. Hubungan antara
legislative dan eksekutif
7. Hubungan
pemerintah nasional dengan lembaga-lembaga internasional
Bab
13 Tata Kelola Pemerintahan__ 400
Rowland B. F.
Pasaribu
C.
Karakteristik Dasar Good Governance
Ada tiga
karakteristik dasar good governance :
1. Diakuinya semangat
pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah
keniscayaan yang tidak
dapat dielakkan sehingga mau tidak mau pluralitastelah
menjadi suatu kaidah
yang abadi. Dengan kata lain pluralitas merupakan sesuatu
yang kodrati (given)
dalam kehidupan. Pluralisme bertujuan mencerdaskan umat
melalui perbedaan
konstruktif dan dinamis, dan merupakan sumber dan motivator
terwujudnya
kreativitas yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat
perbedaan. Satu hal
yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah
peradaban yang
kosmopolit akan tercipta apabila manusia memiliki sikap inklusif
dan kemampuan (ability)
menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun,
dengan catatan,
identitas sejati atas parameter-parameter otentik agama tetap
terjaga.
2. Tingginya sikap
toleransi, baik terhadap saudara sesame agama maupun terhadap
umat agama lain.
Secara sederhana, toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka
mendengar dan
menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan
hal itu, Quraish
Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan agama tidak sematamata
mempertahankan
kelestariannya sebagai sebuah agama, namun juga
mengakui eksistensi
agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan,
dan saling
menghormati.
3. Tegaknya prinsip
demokrasi. Demokrasi bukan sekedar kebebasan dan persaingan,
demokrasi juga
merupakan suatu pilihan untuk bersama-sama membangun dan
memperjuangkan
perikehidupan warga dan masyarakat yang semakin sejahtera.
Masyarakat madani
mempunyai ciri-ciri ketakwaan yang tinggi kepada Tuhan, hidup
berdasarkan sains dan
teknologi, berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup
modern dan progresif,
mengamalkan nilai kewarganegaraan, akhlak, dan moral yang
baik, mempunyai
pengaruh yang luas dalam proses membuat keputusan, serta
menentukan nasib masa
depan yang baik melalui kegiatan sosial, politik, dan lembaga
masyarakat.
D.
Struktur Organisasi dan Manajemen Perubahan dalam Good Governance
Menurut Lukman Hakim
Saifuddin, (2004) good governance (G) di Indonesia adalah
penyelenggaraan
peerintahan yang baik yang dapat diartikan sebagai suatu
mekanisme pengelolaan
sumber daya dengan substansi dan implementasi yang
diarahkan untuk
mencapai pembangunan yang efisien dan efektif secara adil. Oleh
karena itu, good
governance akan tercipta di antara unsur-unsur negara dan institusi
kemasyarakatan
(ormas, LSM, pers, lembaga profesi, lembaga usaha swasta, dan lainlain)
memiliki keseimbangan
dalam proses checks and balances dan tidak boleh satu
pun di antara mereka
yang memiliki kontrol absolute.
Pengembangan publil good
governance di Indonesia akan menunjuk pada
sekumpulan nilai (cluster
of values), yang notabane sudah lama hidup dan
berkembang di
masyarakat Indonesia. Sekumpulan nilai yang dimaksud tersebut
adalah 11 (sebelas)
nilai good governance yakni (1) check and balances, (2)
decentralization;
(3) effectiveness; (4) efficiency, (5) equity,
(6) human rights
protection,
(7) integrity, (8) participation, (9) pluralism, (10) predictability,
(11) rule
of
law, dan (12) transparency.
Pertanyaan yang
muncul kemudian dalam implementasinya adalah bagaimana
mendekati,
mengidentifikasi, mengurai, dan mengupayakan pemecahan persoalan
penegakan good
governance. Menurut Lukman Hakim, ada tiga faktor determinan
pencapaian good
governance, yakni lembaga atau pranata (institutions/system),
sumber daya manusia (human
factor), dan budaya (cultures).
Terkait dengan tiga
faktor determinan tersebut, pada subbab ini akan dibahas tentang
lembaga atau pranata,
budaya dan sumber daya manusia dalam dua bagian, yaitu
struktur organisasi
dalam good governance dan manajemen perubahan yang
diperlukan oleh
organisasi.
1.
Struktur Organisasi dalam Good Governance
Globalisasi dan
perkambangan informasi akan mempercepat perubahan organisasi.
Menurut Tulis (2000),
perubahan terhadap sumber daya manusia sebesar 10 persen
saja dapat mengubah
struktur organisasi, selain perubahan ang disebabkan faktor
teknologi, ekonomi,
politik, dan sosial.
Praktik manajemen yang
lama baik menyangkut struktur organisasi, personel, dan
tugas pokok, akan
menyebabkan resistensi terhadap perubahan dan menyebabkan
sulitnya melakukan
restrukturisasi organisasi dalam rangka mencapai efisiensi. Dalam
rangka menghadapi
perubahan yang begitu cepat, maka beberapa hal yang penting
dilakukan adalah :
a.
Memelihara kesadaran yang tinggi akan urgensi
Perubahan besar dalam
organisasi, baik struktur dan budaya tidak akan pernah sukses
bila organisasi
tersebut cepat puas. Kesadaran tinggi akan tingkat urgensi yaitu
memahami hak yang
mendesak dan menempatkannya sebagai prioritas dalam
menghadapinya, sangat
membantu proses mengatasi masalah dan langkah perubahan
yang besar.
Peningkatan fungsi organisasi akan menyebabkan tingginya tingkat
organisasi. Untuk
memelihara urgensi tingkat tinggi maka diperlukan sistem informasi
manajemen yang
menyangkut system informasi akuntansi, untuk keuangan, sistem
informasi sumber daya
manusia (SDM) untuk mengukur kinerja SDM, dan sistem
informasi lain yang
diperlukan oleh organisasi. Sistem informasi ini akan menjamin
kecermatan dan
kejelian data, sehingga data yang digunakan untuk pengambilan
keputusan yang valid.
b.
Penyusunan pranata organisasi
Misi dan tujuan
setiap organisasi sektor publik adalah memuaskan para pihak yang
berkepentingan dengan
pelayanan publik serta melestarikan tingkat kepuasan
masyarakat. Tanangan
untuk mencapai kepuasan adalah melalui mutu pelayanan yang
prima atas pelayanan
dan kepercayaan publik. Permasalahan dalam peningkatan mutu
ini pada birokrasi
terkendala dengan sumber informasi yang terbatas, tingkat
pengetahuan aparat
yang tidak memadai, budaya birokrasi, dan pengambilan
keputusan yang tidak
efektif karena delegasi wewenang yang tidak optimal serta tidak
adanya insentif dan
berkorelasi dengan sistem penggajian.
Bab
13 Tata Kelola Pemerintahan__ 402
Rowland B. F.
Pasaribu
Permasalahan dalam
penyusunan pranata organisasi adalah masalah keagenan, yaitu
kebijaksanaan yang
salah dan berjalan terusmenrus, program yang tidak sesuai
dengan kebutuhan
masyarakat, serta pekerjaan yang tidak berkonstruksi terhadap
pencapaian tujuan
organisasi. Singkatnya, tantangan utama dalam mendesain dan
pengembangan pranata
organisasi pemerintah dan sistem nasional adalah
mengoptimalkan
informasi pengambilan keputusan serta menciptakan sistem
penggajian yang
sepadan dengan kinerja. Perbaikan sistem informasi dan sistem
penggajian berbasis
kinerja ini akan meningkatkan mutu layanan dan kepercayaan
publik.
c.
Perubahan Struktur Organisasi
Perubahan kondisi
pasar, teknologi, sistem sosial, regulasi, dan pelaksanaan Good
Governance
dapat memengaruhi struktur pengembangan organisasi. Untuk
perubahan struktur
organisasi perlu dilakukan analisis biaya dan manfaat terhadap
pengaruh pelayanan
public terhadap organisasi melalui perubahan yang bersifat
strategis.
Perubahan struktur
organisasi mencakup tiga unsur sebagai determinan, yaitu: (a)
sistem pendapatan
wewenang, tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab, (b) sistem
balas jasa yang
sepadan, dan (c) sistem evaluasi indikator atau pengukuran kinerja
untuk individu dan
unit organisasi.
Masalah utama dalam
perubahan struktur organisasi adalah meyakinkan diri bahwa
pengambilan keputusan
dan akuntabilitas semua pihak yang berkepentingan terhadap
organisasi mempunyai
informasi dan pengetahuan yang relevan mengambil keputusan
yang baik dan benar
serta adanya insentif sepadan yang menggunakan informasi
secara produktif dan
terpercaya. Perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap
perubahan struktur organisasi,
biaya, dan manfaat langsung maupun tidak langsung
harus dianalisis
secara cermat dan hati-hati.
Dalam rangka
pelaksanaan GG, makia organisasi modern dapat melakukan :
1) Kesadaran yang
tinggi terhadap tingkat urgensi
2) Kerja sama tim
yang baik dalam tatanan staf dan manajemen
3) Bisa menciptakan
dan mengomunikasikan visi, misi, dan program dengan baik
4) Pemberdayaan semua
karyawan dengan memerhatikan minat dan bakat
5) Memberikan
delegasi wewenang dengan efektif
6) Mengurangi
ketergantungan yang tidak perlu, dan
7) Mengembangkan
budaya organisasi yang adaptif dan penggunaan analisis
kinerja
2.
Manajemen Perubahan
Sesuai dengan
pertimbangan TAP MPR RI Nomor II/MPR/1999, masalah krisis
multidimensi yang
melanda negara Indonesia merupakan penghambat perwujudan
cita-cita dan tujuan
nasional. Reformasi di segala bidang, diharapkan dapat menjadi
suatu langkah
penyelamatan, pemulihan, pemantapan dan pengembangan
pembangunan serta
penguatan kepercayaan diri
Kemampuan para
pemimpin penyelenggara pemerintahan dan masyarakat yang
mengelola perubahan
menjadi sangat krisis dan strategis, terutama sensitifitas dan
Bab
13 Tata Kelola Pemerintahan__ 403
Rowland B. F.
Pasaribu
responsibilitas
terhadap tanda dan waktu perubahan tersebut diperlukan, khususnya
dalam langkah
penyelamatan, pemulihan, dan pengembangan. Ada dua hal yang perlu
ditekankan dalam
manajemen perubahan, yaitu mengapa ada perubahan yang berhasil
dan ada yang gagal?
Perubahan yang gagal
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
a. Terlalu cepat puas
b. Team work yang
gagal
c. Merumuskan visi,
misi, dan program dengan kurang tepat
d. Gagal menciptakan
harapan sukses kepada seluruh anggota organisasi
e. Menganggap
perubahan sudah selesai dan hanya sekali memerlukan
perubahan, dan
f. Tidak bisa mengubah
symbol, nilai, sikap dan norma organisasi dari yang lama
menjadi budaya yang
baru dalam organisasi.
Untuk mengurangi
kegagalan dalam perubahan budaya organisasi, maka harus
dihilangkan atau
dikurangi dampak negatif dari perubahan seperti bubarnya
organisasi,
kehilangan pasar dan kepuasaan pelanggan, penurunan gaji dan harus
dikikis dengan
menjelaskan mengapa organisasi perlu mengadakan perubahan,
bagaimana tahap
perubahan, bagaimana hasil akhir dari perubahan, dan bagaimana
peran serta dari
setiap anggota organisasi dalam perubahan. Untuk mencapai
keberhasilan dalam
perubahan, ada beberapa hal yang diperlukan, yaitu :
1. Menetapkan
strategi, pentingnya, dan tahapan perubahan
2. Mengembangkan
semangat kerja sama tim yang tinggi
3. Mengembangkan
strategi komunikasi untuk menyampaikan visi, misi, program
perubahan, sehingga
anggota dapat termotivasi, dan
4. Memberdayakan
setiap anggota organisasi sesuai dengan kompetensi minat,
dan bakat.
Bab
13 Tata Kelola Pemerintahan__ 404
Rowland B. F.
Pasaribu
REFORMASI TATA
PEMERINTAHAN
Melacak
Perbincangan Good Governance
Di dalam konteks
Internasional, gagasan good governance pertama kali diperkenalkan
sekitar tahun 1991
dalam sebuah resolusi dari The Council of the European
Community
yang membahas Human Rights, Democracy and Development. Di
dalam
resolusi itu
disebutkan, diperlukan beberapa prasyarat lain untuk dapat mewujudkan
sustainable
development, yaitu mendorong penghormatan atas hak asasi manusia,
mempromosikan nilai
demokrasi, dan mewujudkan good governance.
Sejak saat itu, good
governance mulai diperbincangkan dan diakomodasi dalam
berbagai konvensi dan
resolusi yang berkaitan dengan pembangunan, baik dalam
perbincangan
pembangunan di UNDP maupun di Lome Convention, Bantuan
Pembangunan yang
bersifat Multilateral dan Bilateral. Bahkan, PBB melalui The
Committee Development
Planning pada tahun 1992 telah mengeluarkan laporan yang
mengidentifikasi
problem dan tantangan dalam mewujudkan good governance.
Sementara itu, pada
tahun 1997, UNDP sebagai salah satu organisasi pembangunan
dunia juga menegaskan
pentingnya good governance dan mendifinisikannya secara
luas. Tata
pemerintahan tidak lagi dipusatkan pada penyedian lingkungan yang
kondusif bagi
kegiatan ekonomi dan administratif semata, tetapi juga mencakup
struktur politik yang
demokratis dan hak asasi manusia. Difinisi itu mencakup
mekanisme proses dan
institusi, yakni warga negara dan kelompok dapat
mengartikulasikan
kepentingan mereka, melaksanakan hak-hak hukumnya,
menunaikan
kewajibannya dan menengahi perbedaan dianatara mereka.
Pada bagian lain,
diskursus good governance merupakan konsekuensi logis dari suatu
proses dialektika
yang terus-menerus dari politik pembangunan yang dimulai dari
classical-neo
classical, dependent theory hingga ke liberal-neo liberal.
Gagasan good
governance
berpijak dari teori liberalisme yang dilanjutkan dengan Washington
Consensus
dengan menempatkan pasar sebagai domain utama dalam proses
pembangunan.
Akhirnya, politik
pembangunan neo-liberal sampai pada “kesadaran”, pasar ternyata
bukan segala-galanya.
Karena sehebat apa pun pasar, tetapi jika ia berada dalam suatu
kekuasaan yang buruk
dari suatu rezim pemerintahan, maka kekuasaan itu berpeluang
besar dalam
mendistorsi fungsi pasar. Dengan dasar argumen ini, state harus didorong
untuk mempunyai
sistem good governance, dan ditempatkan menjadi bagian penting
dari pasar. Itu
sebabnya, dalam diskursus paradigma pembangunan, berkembang
gagasan yang
mengintegrasikan fungsi state dalam market untuk mendorong proses
liberalisasi yang
kini biasa disebut sebagai State-Market Friendly Development yang
ditopang oleh good
governance system.
Argumen ini
mendapatkan perspektif yang lain. Perspektif itu menegaskan, lepas dari
pasarsebagai domain
utama pembangunan dan kehendak untuk menempatkan state
sebagai bagian
kepentingan market menurut neo-liberalisme, kekuasaan suatu
pemerintahan memang
harus berkarakter good governance menjadi sesuatu yang
penting. Di dalam
pemerintahan itu, kewenangan kekuasaan bersifat terbatas,
akuntabilitas diletakan
di setiap pengambilan keputusan, partispasi publik menjadi
Bab
13 Tata Kelola Pemerintahan__ 405
Rowland B. F.
Pasaribu
bagian tak
terpisahkan di dalam merumuskan kebijakan serta tersedianya mekanisme
saling kontrol dan
saling imbang di dalam system kekuasaan.
Dalam suatu definisi good
governance disebutkan, Good Gevernance means the
management
of the relation between governance and its populace within a given
constitutional
orders (Holm and Molutsi, 1993). Bahkan disebutkan, salah satu prinsip
penting good
governance adalah promoting limited governance through
strengthening
public accountability and promoting popular participation (Konrad
Ginther, 1995).
Di dalam konteks
Indonesia, ada cukup banyak contoh yang dapat memperlihatkan
bahwa masyarakat di berbagai
daerah telah menerapkan suatu sistem kelola tata
pemerintahan yang
baik. Di Minangkabau, ada sistem kewilayahan yang disebut
Nagari yang bersifat
otonom karena warganya mengatur sendiri masalah di dalam
masyarakat mereka.
Nagari dipimpin oleh Wali Nagari yang diangkat oleh forum
kerapan adapt yang
anggota terdiri dari berbagai elemen masyarakat. Sang Wali
Nagari harus bersikap
adil dan semua keputusan dilakukan secara terbuka. Keputusan
penting diambil
melalui kerapatan adat dengan melakukan musyawarah untuk
mencapai mufakat
Begitupun di Makasar,
sekitar empat abad silam, masyarakat Wajo di Sulawesi Selatan
berhasil mendesakan
sistem pemilihan raja yang lebih demokratis dan membatasi
kekuasaan raja,
setelah mereka berhasil menggulingkan kekuasaan raja lalim. Sejak
saat itu, pemilihan
dilakukan oleh Dewan Adat Kerajaan. Di dalam menjalankan
kekuasaannya, Raja
dibatasi kekuasaannya melalui suatu mekanisme yang disepakati
bersama, misalnya,
raja tak boleh memaksakan kerja paksa yang menyebabkan rakyat
sengsara. Berbagai
contoh seperti diatas juga ada di berbagai daerah lain, mereka juga
mempunyai tatanan
kehidupan yang mencerminkan tata pemerintahan yang baik.
Di dalam konteks
komunitas religius, khususnya Islam, Nurcholis Madjid menyatakan
“konsep tata
pemerintahan yang baik bukanlah konsep barat. Prinsip penting
pemerintahan yang
baik sudah diperkenalkan oleh pembangunan Madinah dilakukan”
[sewaktu Muhammad SAW
hijrah dari Mekah tahun 642 M]. Di dalam Khutbat Al-
Wada
[Pidato Perpisahan Muhammad SAW] juga dikemukakan factor penting
untuk
dapat mewujudkan tata
pemerintahan yang baik. Di duga, di berbagai komunitas
religius lainnya juga
terdapat konsep tata pemerintahan. Pendeknya, tata
pemerintahan yang
baik bukanlah sesuatu yang berasal dari barat dan jauh sehingga
tidak dikenal di
dalam tata pergaulan masyarakat di Indonesia. Konsep ini sudah
cukup dikenal di
kehidupan dan di keseharian masyarakat kita.
Pemerintahan
yang buruk
Pentingnya tata pemerintahan
yang baik juga berpijak dari pengalaman di berbagai
negara. Di dalam
salah satu review atas berbagai kegagalan proses pembangunan di
sebagian besar Negara
Afrika dinyatakan, salah satu penyebab utama
ketidakberhasilan
pembangunan disebabkan crisis of governance. Bila ditelisik lebih
jauh, ada cukup
banyak fakta yang menegaskan, sentralisasi kekuasaan menjadi salah
satu penyebab utama
terjadinya krisis pemerintahan di berbagai negara. Selain itu, ada
3 [tiga] hal lain
yang juga menjadi factor penyebab krisis pemerintahan, yaitu
:pertama, rendahnya
kompetensi pejabat politik dan publik di berbagai lingkungan
birokrasi
pemerintahan sehingga birokrasimenjadi tidak efektif dan efisien; kedua, di
Bab
13 Tata Kelola Pemerintahan__ 406
Rowland B. F. Pasaribu
sub-ordinasikannya :
institusi hukum, lembaga pelayanan publik dan birokrasi oleh
kepentingan elit
kekuasaan dan pejabat pemerintahan di berbagai tingakatan sehingga
tidak ada kepastian
hukum, biaya pelayanan menjadi tinggi dan bersifat diskriminatif;
ketiga,
praktik-praktik korupsi berjalan secara sistemik dan terstruktur, sehingga
hampir tidak ada
mekanisme akuntabilitas publik.
Ada kecendrungan
berbagai faktor diatas makin meluas dan mendalam. Karena itu
diperlukan berbagai
upaya untuk mengeliminasi berbagai problem itu secara
sistematis,
terintegrasi dan komprehensif. Selain itu juga diperlukan suatu organisasi
masyarakat sipil yang
cukup kuat di berbagai sektor dan tingkatan. Maksudnya, suatu
organisasi masyarakat
sipil yang secara sungguh-sungguh mandiri, dimana mereka
mempunyai kemampuan
untuk mengorganisasikan diri dan kelompoknya serta secara
konsisten menghormati
etik dan hukum di dalam berbagai sikap dan perilakunya.
Organisasi masyarakat
sipil seperti diatas bisa menjadi salah satu factor penting untuk
mengeliminasi potential
problem yang berkaitan dengan krisis pemerintahan.
Pengaturan
Tata Pemerintahan yang Baik.
Secara umum,
actor-aktor yang diatur di dalam suatu tata pemerintahan meliputi tiga
pihak, yaitu:
negara-pemerintahan, masyarakat dan sektor swasta atau biasa juga
disebut sebagai
statecivil society-market. Sementara sektor yang menjadi subyek untuk
diatur meliputi aspek
yang cukup luas seperti : penggunaan kewenangan ekonomi,
politik dan
administrasi guna mengelola urusan negara. Dokumen kebijakan UNDP
menyebutkan, subyek
yang diatur di dalam tata pemerintahan juga meliputi: proses,
mekanisme dan
kelembagaan, dimana warga dan kelompok masyarakat mengatur
kepentingan mereka
dan mengatasi perbedaan diantara mereka.
Salah satu aspek penting
dari tata pemerintahan, pengaturan mengenai kekuasaan dan
penggunaan kewenangan
dari pejabat kekuasaan itu harus didasarkan atas konstitusi
atau perundangan; dan
salah satu prinsip penting dari pengaturan kekuasaan adalah
mempromosikan
kekuasaan negara yang terbatas, jelas dan limitative. Di dalam
mengatur kewenangan
dari kekuasaan, disertai juga dengan pengembangan prinsip
partisipasi publik
dan akuntabilitas publik.
DI dalam berbagai
dokumen dan tulisan yang berkaitan dengan tata pemerintahan
disebutkan bahwa ciri
penting tata pemerintahan meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Memperhatikan
kepentingan kaum paling miskin dan lemah [khususnya,
berkaitan dengan
keputusan untuk mengalokasikan sumber daya
pembangunan].
b. Prioritas politik,
sosial dan ekonomi dibangun diatas dasar consensus.
c. Mengikutsertakan
semua kepentingan di dalam merencanakan dan
merumuskan suatu
kebijakan.
d. Transparansi dan
pertanggungan jawab menjadi bagian inheren di dalam
seluruh sikap dan
prilaku kekuasaannya;
e. Birokrasi
pemerintahan dilakukan dengan efektif, efisien dan adil;
f. Supremasi hukum
diletakan dan dilakukan secara konsisten.
Bab
13 Tata Kelola Pemerintahan__ 407
Rowland B. F.
Pasaribu
Berdasarkan ciri-ciri
penting tata pemerintahan seperti diatas ada beberapa unsur atau
prinsip utama di
dalam suatu tata pemerintahan, yaitu meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Partisipatif;
membangun consensus;
b. Responsive;
c. transparan;
efektif dan efisien;
d. membangun
kesetaraan;
e. bertanggungjawab;
f. mempunyai visi strategis
Di dalam suatu assessment
mengenai good governance yang dilakukan oleh
Partnership
melalui Participative Governance Assesment [PGA] di 8
[delapan] kota di
Indonesia di
introduksi gagasan Tata Kelola yang didefinisikan sebagai tata hubungan
kekuasaan dalam
pengelolaan dan distribusi sumber daya. Di dalam Tata Kelola itu
ada keberpihakan pada
kepentingan publik dan kepentingan kalangan yang
dimarjinalkan.6
Ada 2 [dua] prinsip
utama di dalam suatu Tata Kelola, yaitu: prinsip perspektif dan
prinsip mekanisme
formal. Prinsip mekanisme formal meliputi: orientasi pada
kepentingan
masyarakat, keberpihakan pada masyarakat yang lemah, keharmonisan,
kepemimpinan dan
martabat manusia. Sementara di dalam prinsip mekanisme formal
meliputi :
partisipasi, keadilan, persamaan hak, transparansi, supremasi hukum dan
akuntabilitas.
Ada 2 [dua] hal
penting di dalam prinsip mekanisme formal, yaitu: indikator aturan
main dan
pemberdayaan. Di dalam mewujudkan Tata Kelola kedua indikator itu harus
dilakukan secara
bersamaan. Perubahan aturan main agar berpihak dan
mengakomodasi
kepentingan publik dan kelompok marjinal harus disertai dengan
pemberdayaan dari
daulat rakyat dan kalangan marjinal.
Konteks
Pemilu dan Pembaruan Tata Pemerintahan yang baik
Pemilu harus diubah
agar tidak sekedar menjadi pesta demokrasi semata, pemilu
harus diarahkan
sebagai bagian penting dari proses investasi demokrasi. Di dalam
prosesnya, tidak
hanya berbagai azas penting pemilu seperti: langsung, umum bebas
dan rahasia serta
jujur dan adil harus dilakukan secara konsisten, tetapi pemilu juga
harus dilakukan tanpa
kekerasan, mampu mengeliminasi potensi KKN dan secara
sungguh-sungguh
mengaktualisasikan kesetaraan dan keadilan jender.
Lebih jauh dari itu,
pemilu yang merupakan proses pergantian kekuasaan harus
diarahkan agar mampu
memilih wakil rakyat yang punya integritas dan kompetensi di
bidangnya
masingmasing. Para wakil rakyat itu beserta partai politiknya adalah
mereka yang mempunyai
visi mengenai pembaruan tata pemerintahan, dimana visi itu
tercermin dari sikap
dan prilakunya, dan diterjemahkan secara tegas di dalam
platform pada program
partai.
Salah satu indikator
utama dari keinginan dan keberpihakannya kepada pembarauan
tata pemerintahan
dapat dilihat dari sikap dan prilaku kandidat dan partai pada aspek
anti korupsi. Anti
korupsi menjadi fokus utama karena tidak akan mungkin terjadi
pembaruan tata
pemerintahan bila korupsi masih menjadibagian dari watak dan
karakter kekuasaan.
Ada 3 [tiga] area
penting untuk melacak hal ini, yaitu : pertama, pada proses pemilu.
Di dalam proses ini
dapat dilihat, apakah partai mempunyai mekanisme yang jelas
mengenai system
keuangan partai dan dana kampanye serta tidak mendapatkan uang
dari pihak yang
potensial mempengaruhi independensi dan integritasnya; apakah
kandidat dan partai
mampu mengendalikan dirinya untuk tidak menggunakan politik
uang di dalam
penetapan daftar calon dan kampanye. Pendeknya, kandidat dan partai
mampu melepaskan
dirinya dari issu politik uang di dalam setiap tahapan pemilu;
kedua, kandidat dan
partai harus mampu menunjukan bahwa mereka mempunyai visi,
komitmen, program dan
platform yang jelas di dalam pemberantasan korupsi. Mereka
juga bersedia
menandatangani fakta integritas untuk tidak melakukan tindak pidana
korupsi di dalam
kapsitasnya sebagai anggota legislative maupun pejabat publik;
ketiga, kandidat
telah terbukti melakukan tindakan KKN ketika menjalankan
mandatnya sebagai
anggota parlemen atau pejabat publik lainnya serta partai tidak
punya sikap dan
program yang jelas untuk memberantas korupsi di dalam
pemerintahan
terdahulu.
Berdasarkan uraian di
atas, keberhasilan pemilu tidak bisa lagi diukur dari jumlah
partisipasi publik
yang ikut terlibat di dalam pemilu saja atau setiap tahapan pemilu
telah di dilakukan
secara tepat waktu sesuai dengan jadwal dan dilakukan secara baik,
tetapi pemilu menjadi
bagian tak terpisahkan di dalam mewujudkan pembaruan tata
pemerintahan dan
gerakan anti korupsi menjadi salah satu focus utama dari kandidat
dan partai. Hal ini
tercermin di dalam visi, komitmen, sikap, prilaku, program dan
platform kandidat dan partai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar