BAB III
POLITIK DESENTRALISASI
A. Pengantar
Lebih dari dua dekade
pembicaraan mengenai desentralisasi telah menjadi perhatian berbagai negara,
baik di negara maju maupun negara dunia ketiga. Mulanya, upaya sentralisasi
dalam perencanaan dan administrasi pembangunan terutama
di negara dunia ketiga
yang dipandang perlu untuk memberikan arah, dan pengendalian terhadap pembangunan ekonomi serta
mempersatukan bangsa yang sedang tumbuh sebagai akibat penjajahan yang cukup
lama. Tahun 1950-1960an sentralisasi diyakini sebagai kunci sukses pembangunan.
Namun pada kenyataannya banyak negara yang menemui kegagalan, khususnya
di negara dunia ketiga. Meskipun pertumbuhan
ekonomi mengalami kenaikan namun hanya sebagian kecil kelompok masyarakat yang
merasakan manfaatnya. Hal ini terjadi karena kebijakan pembangunan yang dihasilkan adalah
kebijakan yang diadakan untuk menyenangkan lembaga pendonor, tidak
memperhatikan keadaan obyektif di dalam negeri.
Ketidakmampuan untuk memahami secara cepat local value,
aspirasi daerah menjadikan pemerintahan yang sentralistik kurang populer.
Mawhood mengemukakan 4 alasan memudarnya “pemihakan” pada sentralisasi, yaitu:
1. More open political competition and personal career
building among politicians and bureaucrats alike;
2. A tendency in the regime to aim – at least temporarily –
for reduced popular participation
3. Poor performance in many autonomous local authorities;
4. A climate of
opinion in which liberal economists as well as marxists thinker were urging the
virtue of centralized planning mechanism as the key to rapid development
Mulai tahun 1970an
maraklah pencarian rumusan konsep-konsep pembangunan yang mampu mengatasi
kegagalan sentralisasi. Para ahli dan pembuat kebijakan mulai menyadari bahwa
pembangunan mensyaratkan transformasi mendasar pada
struktur sosial, ekonomi, politik yang memungkinkan
peningkatan produktifitas dan pendapatan kaum miskin. Struktur pasar yang
kelihatannya efektif memajukan pembangunan di negara industri ternyata tidak
bekerja di negara dunia ketiga; kemiskinan tidak serta merta berkurang melalui trickle down effect.
Strategi growth with
equality, people centered development adalah tawaran solusi
mengatasi kegagalan sentralisasi. Manusialah yang harus menjadi fokus dan
sumber pembangunan yang utama bukan ekonomi atau teknologi. Menurut
Hollensteiner, pembangunan yang demikian berusaha untuk: “promote the empowernment of people instead of perpetuating
the dependency creating relationship so characteristic of top down”.
Pemerintahan di beberapa negara kawasan Amerika Latin mendirikan korporasi
untuk menstimulasi investasi lokal, dan produksi pertanian yang lebih banyak.
Pemerintahan di Afrika mendirikan komite perencanan pembangunan di tingkat
propinsi, distrik, daerah. Di Asia, badan perencanaan dan pembangunan daerah
berkembang dengan cepat.
Tahun 1990an gelombang
baru paradigma desentralisasi melanda di hampir semua negara seiring dengan jargon
good governance, local government, demokrasi, local governance,
civil society dan partisipasi.
B. Mengapa Desentralisasi?
Para penganjur
desentralisasi menawarkan berbagai alasan pentingnya pemerintah pusat
menyerahkan tanggungjawab yang lebih besar pada pemerintah daerah untuk merencanakan dan
melaksanakan pembangunan. Berikut alasan
dipilihnya desentralisasi atau kebaikan-kebaikan
desentralisasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli:
1. Rondinelli:
1.
Desentralisasi sebagai
alat mengurangi kontrol kesentralan perencanaan pembngunan oleh pusat dengan
adanya pendelegasian kewenangan yang lebih besar pada daerah.
2.
Dengan
desentralisasi daerah akan memiliki
sensitifitas lebih tinggi pada masalah yang terjadi didaerahnya
3.
Desentralisasi memacu daerah
lebih kreatif, inovatif, responsif
4.
Meningkatkan
akuntabilitas birokrat dan wakil rakyat
5.
Meningkatkan partisipasi
politik, sosial, ekonomi masyarakat
6.
Pelayanan publik efisien
dan efektif
7.
Meningkatkan stabilitas
nasional dan kesatuan
2. Cheema dan
Rondinelli:
“central planing was not only complex and difficult to
implement but may also have been inappropriate for promoting equitable
(pantas/patut) growth and self
sufficiency among low income groups and comunities within developing countries”. Perencanaan terpusat tidak
hanya kompleks dan sulit dalam pelaksanaan tetapi juga tidak layak/pantas untuk
mempromosikan pertumbuhan dan kecukupan diantara rendahnya pendapatan kelompok
masyarakat tanpa pembangunan Negara.
3. B.C. Smith:
1.
Desentralisasi dapat
meningkatkan kadar demokrasi melalui political education
2.
Menjamin stabilitas
nasional
3.
Menciptakan political
equality(persamaan) karena desentralisasi memberikan kesempatan masyarakat untuk lebih berpartisipasi
4.
Memfasilitasi
akuntabilitas dan kebebasan berpendapat
5.
Merangsang responsivitas
pemerinth lokal untuk tanggap terhadap kebutuhan warga masyarakat
6.
Desentralisasi merupakan training ground untuk national
legislator
4. Keith Griffin:
Desentralisasi berkaitan erat dengan pemberdayaan dalam
arti desentralisasi memberikan keleluasaan dan kewenangan kepada pemerintah
daerah untuk berinisiatif dan mengambil keputusan.Pemberdayaan akan menjamin
hak dan kewajiban serta wewenang dan tujuan dari organisasi pemerintahan daerah
untuk menyusun program, memilih alternatif dan mengambil keputusan dalam
mengurus kepentingan daerahnya sendiri.
5. George R Terry :
1.
Struktur organisasi yang
didesentralisasikan berbobot pendelegasian wewenang dan memperingan beban
manajemen teratas
2.
Membuka jalan untuk
kedudukan manajer umum karena lebih berkembang ‘generalist’ daripada
‘specialist’
3.
Memunculkan semangat
kerja dan koordinasi yang baik
4.
Meningkatkan efisiensi
sepanjang struktur dapat dipandang sebagai satu keutuhan sehingga kesulitan
dapat dialokasikan dan dipecahkan dengan mudah
5.
Resiko yang mencakup
kerugian dalam bidang kepegawaian, fasilitas, organisasi dapat terbagi-bagi
6.
Bagi organisasi yang
besar dan tersebar di berbagai tempat dapat memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya dari keadaan setempat
7.
Sebelum suatu rencana
dapat diterapkan pada organisasi secara keseluruhan maka dapat diterapkan pada
salah satu bagian terlebih dahulu sehingga dapat dirubah dan disesuaikan ,
dibuktikan kebaikan dari rencana tersebut
8.
Kebiasaan dengan aspek
kerja yang khusus dan penting siap untuk dipergunakan.
6. J. Inhett Veld:
1.
Desentralisasi
memberikan penilaian yang lebih tepat terhadap keadaan daerah dan penduduknya
yang beraneka ragam
2.
Desentralisasi
meringankan beban pemerintah karena pmerintah pusat tidak mungkin menegenal
seluruh kepentingan dan kebutuhan setempat serta tidak mungkin
mengetahuikebutuhan terebut dengan detail. Daerahlah yang mengetahui sebenarnya
kebutuhan daerah dan cara memenuhinya
3.
Dengan desentralisasi
dapat menghindarkan adanya beban yang melampaui batas perangkat pusat yang
disebabkan tunggakan pekerjaan
4.
Pada desentralisasi
unsur individu atau daerah lebih menonjol karena dalam ruang lingkup yang
sempit, seseorang dapat lebih mempergunakan pengaruhnya daripada dalam
masyarakat yang lebih luas
5.
Masyarakatsetempat dapat
kesempatan untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga ia
tidak sebagai obyek
6.
Desentralisasi
meningkatkan partisipasi masyarakat setempat dalam mengontrol segala tindakan
dan tingkah laku pemerintah
7. Mariun (1967):
1.
Memberikan perhatian
khusus kepada tugas atau daerah yang didesentralisasikan sehingga
memungkinkan penyelenggaraan pekerjaan lebih efektif
2.
Mengurangi kesewenangan
pemerintah pusat
3.
Memajukan keluwesan dan
kecepatan bertindak
Namun
desentralisasi juga tak terlepas dari kritik. Dalam konteks beberapa teori
tentang negara, desentalisasi memunculkan gerakan
separatis atau gerakan parochial di Afrika. Perspektif sosialis
melihat desentralisasi akan memperlemah
institusi lokal karena masyarakat pada akhirnya hanya akan dimanipulasi
oleh kelompok, elit dominan yang sebenarnya merupakan representasi pemerintah
pusat. Desentralisasi juga dianggap sebagai bagian reformasi liberal yang
dilakukan kaum kapitalis.
C. Model Desentralisasi
1.
Aliran Anglo Saxon
PBB memberikan batasan sebagai berikut:
“decentralization refers to the transfer of authorithy
away from the national capital wether by deconcentration (i.e. delegation to
field offices or by devolution to local authorithies or local bodies.The two
principal forms of decentralization of governmental powers and function are
deconcentration to area offices of administration and devolution to state and
local authorities”.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang atau transfer
wewenang dari pemerintah pusat baik kepada pejabat-pejabat pemerintah
pusat di daerah yang disebut
dekonsentrasi maupun kepada badan–badan otonom daerah yang disebut devolusi.
·
Pada dekonsentrasi,
departemen pusat melimpahkan wewenang dan tanggung jawab bidang tertentu kepada
pejabat yang bertindak sebagai wakil departemen pusat untuk melaksanakan fungsi
atau bidang tugas tertentu yang bersifat administratif tanpa menerima
penyerahan kekuasaan sepenuhnya (final authorithy). Tanggung jawab
terakhir tetap pada departemen pusat.
·
Pada devolusi sebagian
kekuasaan diserahkan kepada badan politik di daerah yang diikuti penyerahan kekuasaan kewenangan
sepenuhnya (final authorithy) untuk mengambil keputusan secara politis
maupun administratif.Sifatnya adalah penyerahan riil berupa fungsi dan
kekuasaan, bukan hanya sekedar pelimpahan (this type of arrangement has
apolitical as well as an administrative
character)
Carolie Bryant dan Louisse G White (1987, hal 123-124)
mengatakan bahwa desentralisasi adalah transfer kekuasaan kewenangan yang dapat
dibedakan kedalam desentralisasi administratif maupun desentralisasi politik.
·
Desentralisasi
administratif adalah pendelegasian wewenag pelaksanaan yang diberikan kepada
pejabat pusat di tingkat lokal. Para pejabat tersebut bekerja dalam batas-batas
yang telah ditentukan baik dalam rencana
maupun biaya tetapi memiliki sedikit kewenangan dan kekuasaan yang bervariasi
dari mmebuat peraturan-peraturan yang bersifat program sampai ke yang lebih
substansial.
·
Desentralisasi politik
adalah pemberian kewenangan dalam membuat keputusan dan pengawasan tertentu
terhadap sumber daya yang diberikan kepada badan pemerintah regional dan lokal.
Carolie Bryant mengatakan, konsekuensi dari penyerahan
wewenang dalam pengambilan keputusan dan pengawasan kepada badan badan otonomi
daerah adalah untuk:
a.
Memberdayakan kemampuan
lokal (empowerment local capacity)
b.
Mengembangkan kemampuan
otoritas lokal
c.
Meningkatkan partisipasi
elit lokal dan warga masyarakat
Sedangkan pemerintah pusat akan memperoleh respek dan
kepercayaan karena menyerahkan proyek-proyek dan sumber-sumber daya, dan dengan
demikian akan meningkatkan pengaruh dan legitimasinya.
Rondinelli memberikan
definisi desentralisasi yang lebih luas:
Decentralization is the transfer of planning, decision
making or administration authorithy from the central government to its field
organizations, local aministrative units, semi autonomous and parastatal
organizations, local governments or non government organization.
Four terms of decentralizations can be distinguished by
the degree of authorithy and power or scope of functions which government of
souvereign state transfer to or shares with other organization within its jurisdiction... diferent forms of
decentralization can be distinguished primarily by the extend to which authorythy to plan decide and manage is transfer from
central government to other organizations and the amount of autonomy the
decentralized organizations achieve in carrrrrying out their task.
Dari definisi di atas maka Rondinelli membedakan empat
bentuk desentralisasi yaitu:
1.
Dekonsentrasi
2.
Delegasi pada pada semi
otonom atau parastatal organisasi
3.
Devolusi pada pemerintah
lokal
4.
Delegasi pada institusi
non pemerintah
ad. 1. Dekonsentrasi
Rondinelli
menjelaskan bahwa dekonsentrasi pada dasarnya adalah:
shifting of work load from a central government ministry
or agency headquarter to each own field staff located in offices outside of the
national capital without transfering to them the authorithy to make decisions
or to exercise disrection in carrying out them.
Dekonsentrasi selanjutnya dibedakan dalam dua bentuk
yaitu field administration dan local administration.
1.
Field
administration: pejabat di lapangan
diberi kekuasaan untuk mengambil keputusan rutin dan menyesuaikan pelaksanaan
kebijaksanaan pusat dengan kondisi lokal yang dilakukan atas petunjuk
departemen pusat. Para pejabat lokal bekerja di bawah pemerintah lokal yang
memiliki kewenangan semi otonom, namun mereka adalah pegawai departemen pusat
dan tetap berada dibawah perintah dan pengawasan pusat.
2.
Local
administration: setiap pejabat
disetiap tingkat pemerintahan merupakan wakil dari pemerintah pusat dikepalai
oleh seorang yang diangkat, dibawah dan bertanggungjawab pada departemen pusat.
Mereka bekerja dibawah pengawasan teknis departemen pusat.
Local administration dibagi kedalam integrated local administration dan unintegrated
local administration.
1.
Integrated local
administration, pejabat dari
departemen pusat yang ditempatkan di daerah berada langsung dibawah perintah
dan pengawasan kepala eksekutif daerah yang diangkat oleh dan bertanggungjawab
pada pemerintah pusat. Mereka diangkat digaji dipromosi dan dimutasikan oleh
departemen pusat tetapi mereka tetap berkedudkan sebagai staff teknis kepala
eksekutif wilayah dan bertanggungjawab kepadanya.
2.
Unintegrated local
administration, pejabat-pejabat
departemen pusat yang berada di daerah dan kepala eksekutif wilayah, masing-masing berdiri
sendiri.Masing-masing bertanggungjawab kepada departemennya di pusat.
Koordinasi dilakukan secara informal pejabat teknis tersebut mendapat perintah
dan diawasi oleh masing-masing departemen.
ad.2.
Delegasi pada Semi Otonom dan Parastatal Organisasi
Delegation to semiotonom dan parastatal organization adalah pelimpahan
kewenangan dalam pembuatan keputusan dan manajerial dalam melaksanakan
tugas-tugas khusus kepada organisasi yang tidak langsung berada dibawah
pengawasan pemerintah pusat. Organisasi yang demikian diberikan kewenangan semi
independen untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Organisasi-organisasi
yang demikian biasanya bersifat komersil
atau ekonomis dan lebih mengutamakan efisiensi tidak birokratis dan politis.
Badan-badan ini biasanya diberi wewenang melaksanakan proyek tertentu seperti pembangunan
jalan, bendungan, listrik, telekomunikasi. Bentuk desentralisasi yang demikian
di Indonesia identik dengan desentralisasi fungsional.
ad.3.
Devolusi
Devolusi mengakibatkan pemerintah pusat
harus membentuk unit pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan
sebagian fungsi dan kewenangan tertentu untuk dilaksanakan secara mandiri. Bentuk ini identik
dengan desentralisasi teritorial atau yang oleh pakar lain disebut
desentralisasi politik.
Devolusi mempunyai beberapa ciri yaitu:
a)
Unit pemerintahan
setempat bersifat otonom dan independent dan secara tegas terpisah dari hirarki
pemerintahan. Pemerintah pusat tidak melakukan pengawasan langsung terhadapnya
ciri atau karakteristik ini tidak nampak dalam pemerintahan di Indonesia.
Indonesia tidak menganut
otonomi bebas dalam arti independen tetapi otonomi mandiri.
b)
Unit-unit pemerintahan
tersebut diakui mempunyai batas wilayah yang jelas dan legal mempunyai kewenangan
untuk melaksanakan tugas umum pemerintahan
c)
Unit pemerintahan daerah
berstatus sebagai badan hukum dan berhak untuk mengelola dan memanfaatkan
sumber-sumber daya dalam mendukung pelaksanaan tugasnya
d)
Unit pemerintahan daerah
diakui oleh warganya sebagai suatu lembaga yang memberikan pelayanan kepada
masyarakat sebaliknya pemerintah daerah ini berpengaruh dan berwibawa terhadap
warganya
e)
Terdapat hubungan yang saling menguntungkan melalui
koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah serta unit organisasi lainnya
dalam suatu pemerintahan. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah
hubungan kemitraan bukan subordinasi
ad.4. Transfer functions
from government to non-government organizations or institutions
(Privatisasi)
Bentuk ke-empat
desentralisasi disebut juga privatisasi. Privatisasi adalah pemberian wewenang
dari pemerintah kepada NGO tetapi juga
merupakan penyatuan badan pemerintah dan kemudian dijadikan badan swasta
seperti BUMN, BUMD yang dilebur menjadi PT.
Privatisasi dimaksudkan untuk:
1.
Pengalihan anggaran
belanja pemerintah ke sektor swasta diharapkan akan lebih menghidupkan
aktivitas bisnis. Dengan pengelolaan lebih banyak diserahkan kepada sektor
swasta diharapkan efisien dapat dicapai
2.
Pemberian keleluasan
yang lebih besar kepada masyarakat/sektor swasta dapat menciptakan pelayanan
publik lebih cepat dan lebih murah
3.
Memungkinkan masyarakat
mempunyai pilihan yang lebih banyak dalam hal pelayanan publik. Masyarakat
lebih diberdayakan untuk menentukan dan menyediakan kepentingan bersama melalui
unit sosial yang ada
4.
Pemberian keleluasaan
yang lebih banyak kepada masyarakat berarti mengurangi ruang lingkup
pemerintahan. Hal ini ditujukan mendorong berlangsungnya demokratisasi. Kalau
pemerintah terlalu besar, kuat banyak melakukan intervensi akan mempunyai
kecenderungan menghambat pertumbuhan demokrasi. Selain itu lebih besarnya
keleluasaan ini merupakan upaya memberdayakan masyarakat
Namun perlu diperhatikan pula dampak yang kurang
menguntungkan dari privatisasi, seperti kurang adanya jaminan dapat
terselenggaranya fungsi-fungsui sosial
bagi masyarakat. Hal ini dimungkinkan dengan semakin lebarnya keterlibatan
masyarakat dapat membawa akibat sebagian anggota masyarakat yang kurang mampu
tidak dapat bersaing menikmati fasilitas dasar yang diperlukan.
Untuk meniadakan atau meminimalkan dampak yang kurang
menguntungkan tersebut pemerintah berkewajiban tetap mengeluarkan peraturan
yang dapat memberi jaminan agar setiap individu memperoleh pelayanan minimal.
Hal ini dapat dilakukan oleh pemerintah misalnya dengan pemberian subsidi untuk
bidang tertentu (Josef Riwukaho, Haryanto, Fungsi-fungsi Pemerintahan, makalah,
1997).
Berikut definisi desentralisasi yang lain menurut
beberapa pakar desentralisasi:
Sergio Boisier:
Decentralization maybe administrative or functional
teritoril political or combination of these.Decentralization is administrative
when its concern sectors or activities within the public sector (e.g.
decentralized public enterprise); it is teritorial when it involves the
transfer of areas or responsibility to the bodies having jurisdiction over a given territory (e.. regional development
councils or community develop[ment councils); and it is political when it
entail as handing over areas of responsibility to elected political bodies not
subordinate in rank to the state (e.g. an elected national conggress).As elected
national essembly on council would be a decentralize body in both political and
teritorial terms.
Paul S Moro:
Desentralisasi implies the transfer of powers, functions,
or activities from the national to subnational levels, such as the region,
districts or other local administrative or geographical unit.It can take the
form of deconcentration i.e the delegation of administrative authorithy of
powers to public servants in the field within a governmnet structure; or
devolution the transfer of political powers or functions from centralgovernment
to local institutions at the districts or lower levels.In devolution, powers
delegated are ussually combined with the rigaht to raise revenue, thus giving
local institutions some political authorithy.
Raul D Guzman:
Decentralization
generally refers to the systematic and rational dispersal of power
authorithy and responsibility from the central too the periphery from the top
to the lower levels or from the national to the local government.Recent
conceptualization however have expanded the menaing of the term of the issue of
developing alternative mechanism for the delivery of the basic servicess
traditionally undertaken by bureaucratic organization. As such decentralizationi
recent year has assumed many forms other the deploying power and function to
local levels institutions.
In these sense four approaches through which
decentralization of bureaucracy can be operationalize can be identified:
1.
devolution
2.
deconcentration
3.
privatization
4.
the use of NGO and other altenative channels
for service delivery.
Desentralisasi – sebagaimana dapat dilihat di atas –
adalah penyerahan kewenangan dalam pengertian yang luas yang mencakup
dekonsentrasi, devolusi privatisasi atau desentralisasi fungsional dan
pengikutsertaan LSM dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
merupakan kelompok anglo saxon.
- Aliran Kontinental.
Para ahli di Indonesia umumnya digolongkan ke dalam
aliran kontinental. Mereka diantaranya R Tresna, Koesoemahatmadja, Amrah
Moeslimin, The Liang Gie.
Tresna misalnya membedakan desentralisasi ke dalam
beberapa bagian:
1)
ambtbelijke
decentralisatie (desentralisasi
jabatan) atau dekonsentrasi adalah pemberian atau pemasrahan kekuasaan dari
atas ke bawah dalam rangka kepegawaian guna kelancaran pekerjaan semata-mata
2)
staatskundige
decentralisatie (desentralisasi
ketatanegaraan) merupakan pemberian kekuasaan untuk mengatur bagi daerah di
dalam lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara
Desentralisasi ketatanegaraan ini kemudian dibedakan lagi
ke dalam:
·
teritoriale decentralisatie (desentrlisasi teritorial)
·
functioanale
decentralisatie (desentralisasi
fungsional)
Menurut Koesoemahatmadja (1979), desentralisasi
ketatanegaraan adalah pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada
daerah untuk mengurus rumah tangganya (daerah otonom). Desentralisasi adalah
sistem untuk mewujudkan demokrasi yang memberikan kesempatan kepada rakyat
untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
Desentralisasi dibedakan kedalam:
1.
Dekonsentrasi (ambtelijke
decentralisatie)
2.
Desentralisasi
ketatanegaraan (staatskundige decentralisatie) atau desentralisasi
politik yaitu pelimpahan kekuasaaan perundang-undangan dan pemerintahan (regelende
en besturende bevoegdheid) kepada daerah-daerah otonom di dalam
lingkungannya. Dalam desentralisasi politik ini rakyat dilibatkan dalam
penyelenggraan pemerintahan melalui saluran-saluran perwakilan. Desentralisasi
ketatanegaraan kemudian dibedakan menjadi:
·
Desentralisasi
teritorial yaitu pelimpahan kekuasaan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing (otonom)
·
Desentralisasi
fungsional yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu.
Amrah Muslimin tidak memasukkan dekonsentrasi sebagai
salah jenis dari desentralisasi. Ia membedakan desentralisasi ke dalam 3 jenis:
1.
Desentralisasi politik
ialah pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat yang menimbulkan hak mengatur
dan mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan politik di
daerah-daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah tertentu untuk mengurus
satu macam atau segolongan kepentingan tertentu dalam masyarakat, baik terikat
ataupun tidak pada suatu daerah tertentu, seperti: mengurus kepentingan irigasi
bagi golongan petani dalam suatu atau beberapa daerah tertentu (subak di Bali).
2.
Desentralisasi
fungsional
3.
Desentralisasi
kebudayaan (culturele decentralisatie) adalah pemberian hak pada
golongan minoritas dalam masyarakat untuk menyelenggarakan kebudayannya sendiri
(mengatur pendidikan, agama). Di kebanyakan negara kewenangan ini diberikan
kepada kedutaan asing untuk menyelenggarakan pendidikan bagi warga negaranya.
Tidak
dimasukkannya dekonsentrasi sebagai bagian desentralisasi dalam arti luas
karena campur tangan pemerintah pusat pada dasarnya dilakukan melalui jalur
perangkat dekosentrasi.
The Liang Gie menyatakan:
Desentralisasi
adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada satuan organisasi
pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari
sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah. Kalau pemerintah
menyelenggarakan desentralisasi berarti pemerintah mengadakan mengatur (dan
sebagainya) pelimpahan wewenang kepada satuan organisasi yang mempunyai batas
wilayah tertentu. Dengan adanya desentralisasi maka berlangsunglah serangkaian
aktivitas yang menjalankan wewenang yang dilimpahkan itu.
Logemaan menyatakan desentralisasi sebagai ketentuan
jikalau pekerjaan penguasa dari penguasa negara dilimpahkan kepada persekutuan
yang berpemerintahan sendiri. Defini tersebut mengarah kepada pengertian
desentralisasi dalam arti sempit yaitu desentralisasi teritorial devolusi atau
desentralisasi politik saja
Dari berbagai definisi dapat ditarik kesimpulan:
Desentralisasi pada dasarnya adalah suatu proses transfer
penyerahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari urusan yang semula adalah
urusan pemerintah pusat kepada badan atau lembaga pemerintah daerah agar
menjadi urusan rumahtangganya. Sehingga urusan tersebut beralih kepada daerah
dan menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah daerah.
D. Metode Desentralisasi
- Residu: pemerintah
pusat menentukan hal apa saja yang menjadi urusan pemerintah pusat,
sisanya menjadi urusan pemerintah daerah
Pusat
Daerah
sisanya
- Materiil: urusan
daerah ditetapkan terlebih dahulu, satu persatu secara limitatif,
terperinci, di luar tugas yang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat.
Daerah
Pusat
sisanya
Urusan-urusan daerah
ditetapkan
dahulu
- Formal:
urusan-urusan yang termasuk dalam urusan rumah
tangga Daerah tidak secara apriori ditetapkan dalam undang-undang. Daerah boleh mengatur dan
mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asalkan
tidak mencakup urusan-urusan penting yang telah diatur dan diurus oleh
Pemerintah Pusat atau Daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Jadi, urusan
yang telah diatur dan diurus oleh Pemerintah atasan tidak boleh diatur dan
diurus oleh Daerah.
E.
Model
Pemerintahan Daerah
Setidaknya ada 4 model pemerintahan daerah, yaitu:
1. Model
Perancis
2. Model
Rusia
3. Model
Anglo Saxon
4. Model
Tradisional
a.d.
1. Model Perancis
Awal
abad 19, Perancis merupakan chief imperial power di benua Eropa, Asia, Afrika Utara sehingga
model pengelolaaan pemerintahan Perancis banyak diterapkan dinegara Eropa,
Amerika Selatan, dan sejumlah negara di kawasan Asia, Afrika. Pemerintahan Perancis saat ini
terdiri dari 90 departemen, 300 arrondissements, 40.000 communes.
Comunnes, baik besar maupun kecil, terdiri dari villages, towns,
cities of the nation.Tiap level dikepalai eksekutif: prefect, sub prefect
atau mayor. Eksekutif memiliki kekuasan penuh dan bertanggungjawab kepada
eksekutif yang lebih tinggi, sementara prefect bertanggung jawab pada Menteri
dalam Negeri. Semua urusan pelayanan publik berada di bawah yurisdiksi
eksekutif, sehinnga seorang eksekutif, mayor, memiliki dual capacity.Yaitu
sebagai agen dari pemerintah pusat dan sebagai pelaksana mandat local
council. Di setiap provinsi, atau commune, terdapat ellective
council yang kekuasaannya terbatas. Model pemerintahan Perancis memiliki
karakter: sentralistis, heavy/dominasi eksekutif dengan subordinasi
legislative, struktur bertingkat, chain of command, uniform,
tujuannya adalah mencapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan.
a.d.
2. Model Rusia.
Sebelum
revolusi tahun 1917, Rusia dibagi dalam sejumlah provinces dan regions
yang dikepalai gubernur. Di masing-masing provinsi terdapat distrik yang
dikepalai chief of police.
Distrik terdiri dari sejumlah cantons yang merupakan kumpulan villages
community. Terjadinya revolusi di Rusia menyebabkan model pemerintahan
Rusia berubah menjadi sistem soviet, soviet berarti councils. Soviet
terdiri dari deputi delegasi yang dipilih buruh pabrik, petani, dan tentara Red
Army. Sistem pemerintahan daerah Soviet Union tersusun dalam beberapa hirarki
administrasi. Tingkatan-tingkatan tersebut berada di bawah All Union, Union
Republic, Autonomous Republic. Tingkatan pertama dan tertinggi adalah
kumpulan unit administrasi yaitu the krais, the oblasts, the okrugs, kota
besar, yang memiliki subordinasi langsung
ke Republic government. Tingkatan kedua terdiri dari rural
raisons, towns of intermediate, city raisons. Tingkatan ketiga
meliputi village soviet, settlements soviets, small town soviets. Pemerintah
lokal lebih merupakan agen langsung
pemerintah pusat, ia bukan lawmaking agencies. Karakter model
pemerintahan Rusia: kontrol partai komunis, single candidate election,
hirarki garis komando yang ketat, kekuasaan pusat yang sangat besar atas council
local.
a.d.
3. Model Anglo Saxon
Pemerintahan
daerah Inggris modern terdiri dari country borough
(didirikan 1888) ; administrative counties (didirikan 1888) yang
meliputi town and county area dan
beberapa fungsi administrasi seperti kesehatan, pelayanan publik, polisi,
transportasi, pendidikan dasar dan menengah; municipal borough
(didirikan 1835 dan 1835), urban district (didirikan 1872), rural
district (didirikan 1872), parish meetings atau council
(didirikan 1894). Salah satu karakter mendasar model pemerintahan ini adalah
bahwa local units bebas dari pengawasan local authorities yang
lain. Tidak ada keterkaitan antara mereka dan antara national ministries
dan parlemen. Karakter lainnya, desentralisasi, heavy/ dominasi
legislative, kooptasi melalui sistem “komite”, Multi-purpose activities,
Voluntarily citizens participation.
a.d.
4. Model Tradisional.
Karakter
pemerintahan model ini adalah masyarakat desa, struktur politik sederhana,
didukung oleh nilai-nilai lokal (mores) yang kompleks.
F. Tinjauan Arah Perkembangan
Desentralisasi
Pada mulanya desentralisasi
dimaknai sebagai proses tunggal, yakni desentralisasi hanya urusan pemerintah. Namun pemaknaan
ini sudah tidak relevan lagi, desentralisasi tidak hanya urusan pemerintah,
desetralisasi menurut .(Bennet, 1994)
digambarkan secara ekstrim dapat terjadi atau berlangsung ke dalam empat si stem
desetralisasi :
- Centralized market
model, Perancis misalnya, dimana
semua alokasi sumberdaya dipercayakan pada pasar
- Localized market
model, alokasi sumberdaya
dipercayakan pada pasar dan pasar itu dipindahkan ke daerah
- Centralized public
sector model, alokasi
sumberdaya direncanakan
secara ekonomis/efisien
dan terpusat
- Localized public
sector model, alokasi sumber
daya secara planned economies tapi dilokalisir ke daerah.
Pada kenyataannya tidak ada negara yang memakai model
ekstrim tersebut.
Terdapat 3 model desentralisasi
pada sistem Mixed Market,(system
campuran atau perpaduan pasar /swasta ) yaitu:
1. Voluntarist
2. Welfarist
model
3. Post
welfare
a.d. 1. Voluntarist
Dalam model
ini urusan-urusan yang menyangkut pelayanan publik bukan hanya digeser dari
pusat ke daerah atau dari pemerintah ke swasta, tetapi juga bergeser ke sektor
ketiga. Pengadaan, pengelolaan pelayanan publik mengalami pergeseran dari pusat
atau pemerintah ke civil society.
Studi
Kasus Model Voluntarist:
Tanggal 17
Januari 1995, di Kobe dan Pulau Awaji (Jepang) terjadi gempa bumi yang
menewaskan lebih dari 5.000 orang dan lebih dari 200 rumah hancur. Gempa yang menimpa kawasan urban tersebut
melumpuhkan pelayanan publik dimana
kehidupan masyarakat urban sehari-hari sangat bergantung padanya. Saluran listrik, telepon, air, gas, putus
total. Pemerintah kota dan prefecture tidak mampu menyediakan pertolongan
bagi para korban. Pemadam kebakaran tidak mampu mematikan kebakaran yang
terjadi di berbagai area. Mereka tidak memiliki persediaan air dan tidak dapat
menjangkau lokasi-lokasi kebakaran karena jalan-jalan tertutup reruntuhan
bangunan. Sukarelawan berdatangan dari penjuru daerah, negara.
Dalam situasi
seperti ini, voluntary activities memainkan peran penting untuk menolong
para korban.Namun peran para sukarelawan ini tetaplah sebagai suplemen
pemerintah. Bencana tersebut mengingatkan pentingnya pemerintah, swasta (private
enterprises) dan para sukarelawan berpartisipasi dalam pengelolaan crisis
management system, penyediaan komunikasi yang cepat, cara perekrutan
sukarelawan, dan pentingnya koordinasi berbagai pihak. Dalam masyarakat yang
semakin modern, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian, pemerintah membutuhkan
kerjasama dengan aktor-aktor lain untuk membangun sebuah sistem manajemen
sosial yang hibrid, tidak hanya pada waktu terjadi krisis, bencana tapi juga
pada situasi normal. (Akira Morita, A New Conceptualization of The Public
Service)
a.d. 2. Welfarist
Model
Model yang
banyak dipraktekkan di kawasan Eropa, terutama Skandinavia (Nordic) ini lebih
mendekati ke planned economies.
Negara yang menggunakan model ini memiliki sejumlah kewajiban yang melekat pada
dirinya, misalnya negara wajib menyediakan full employment (banyak lapangan pekerjaan), melakukan investasi jangka panjang yang besar
untuk meningkatkan kapasitas produksi, menyediakan dan menjamin pendidikan,
kesehatan, perumahan bagi warganya. Model ini harus ditopang sistem pajak yang
benar-benar progresif.
a.d. 3. Post welfare
Pada model post
welfare, sistem pelayanan publik, kesehatan, pendidikan misalnya, mulai
diserahkan ke pasar. Indikasi suatu negara menerapkan model ini antara lain,
adanya:
·
demand for greater responsiveness to
customers
·
innovations in service delivery
·
managerial reform (internal acccountability)
·
reinterpretations of representation and
external accountability
·
attempts to shift the “boundary” of
government (Bennet, 1990)
Market
resource
allocation
Governmental
resource
allocation
power
centralized
power localized
G. Pengalaman Desentralisasi di Afrika Barat dan Asia khususnya di Indonesia.
1. Afrika Barat
Di Ghana, Senegal, Cote d’Ivoire (Afrika Barat)
desentralisasi tidak dapat memberdayakan penduduk malahan mengokohkan
kekuasaan elit lokal yang berperan sebagai local power broker.
Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan merupakan produk tawar menawar (melalui
negosiasi dan konfrontasi) antara pemerintah pusat dengan elit lokal (rural
elite). Struktur masyarakat agraris yang hirarkis di Afrika Barat
-kekuasaan terpusat pada beberapa orang/seorang yang menguasai tanah, akses
pasar- memberikan rural elite kekuasaan tawar menawar yang kuat vis a vis
negara.
Chaterine Boone (2003) memusatkan penelitiannya pada
usaha institution building strategies pemerintah di Afrika Barat untuk
“menakhlukkan” elit lokal.
Institution building strategies dapat dilihat
dari dua dimensi:
1.
Spasial konsentrasi /deconcentration
of the state apparatus
2.
Sentralisasi/ devolusi
kewenangan politik dan ekonomi
Chaterine menawarkan 4 alternatif strategi institution
building yang dapat dilakukan pemerintah, berupa:
1.
Powersharing (dekonsentrasi struktur institusi;pengalihan wewenang)
2.
Usurpation (dekonsentrasi struktur institusi, sentralisasi
wewenang)
3.
Administrative
occupation (konsentrasi struktur institusi;
sentralisasi wewenang)
4.
Non-incorporation (konsentrasi struktur institusi; devolusi wewenang)
2. Asia dan
Indonesia
Di kebanyakan negara Asia, yang terjadi adalah para
pemimpin daerah tidak memiliki kewenangan politik dalam menentukan kebijakan
yang sesuai dengan local environtment. Pemerintah daerah menjadi pasif
karena ketergantungannya pada pemerintah pusat.
Cheema dan Rondinelli mengemukakan keberhasilan desentralisasi ditentukan oleh faktor lingkungan (environtments)
berupa struktur politik, proses pembuatan kebijakan, struktur kekuasaan lokal,
ketersediaan infrastruktur . Hal ini yang dipengaruhi
oleh :
·
Hubungan antar organisasi yang tercemin pada efektivitas perencanaan,
pembiayaan, pelaksanaan prosedur yang ditetapkan, tingkat akurasi, konsistensi
dan kualitas komunikasi antarorganisasi, efektivitas jaringan dalam organisasi
(aktor-aktor)yang terlibat.
·
Sumber daya berupa dana
yang mencukupi, jaminan ketersediaan sumber pendanaan, dukungan pemerintah
pusat dan pemerintah lokal (serta para birokratnya), kemampuan bargaining
pemerintah dengan Funds (lembaga atau negara pembiaya).
Pengalaman praktek desentralisasi di Indonesia telah lama melewati
sejarah yang
sangat panjang, yakni sejak pertama kali digagas dan diterapkan oleh pemerintah
Kolonial Belanda melalui Decentralisatie Wet,
23 Juli 1903 ( The Liang Gie, 1993, 1994, 1995 dan Josef Riwu Kaho,
1998, 2001 ). Namun pelaksanaan secara luas baru dimulai sepuluh tahun terakhir
sejak digulirkannya UU No 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No 32
Tahun 2004 bahkan sedang disiapkan rancangan perubahan untuk disempurnaan
kembali pada tahun 2010/11 ini.
Berdasarkan hasil riset dan evaluasi terhadap pengalaman
pelaksanaan politik desentralisasi dan otonomi daerah, sebagian terbesar
menunjukkan kegagalan memenuhi
tujuan awalnya terutama yang terkait
dengan produk pelayanan dasar yakni pendidikan dan kesehatan (Djojosukanto, dkk,
2008).
Secara makro sebenarnya pemerintah daerah gagal dalam praktek berdemokrasi, serta
gagal dalam mewujudkan kesejahteraan dan system pelayanan public yang lebih baik, dengan sejumlah pengecualian yang sangat terbatas di
beberapa daerah.
Berikut beberapa implikasi yang timbul dalam pelaksanaan desentralisasi :
1.
Menurut Cornelys Lay,
(2010) sebagian besar daerah justru dihinggapi sejumlah patologi yang kronis
dalam pengelolaan pemerintahan di daerah.
2.
Menurut Robison dan Hadiz, (2003) praktek desentralisasi telah menjadi lahan
kekuasaan dan
pundi-pundi baru bagi praktek2 politik kotor dan premanisme politik
yang sudah mengakar sejak lama, sehingga yang paling diuntungkan adalah para
elit local.
3.
Sebab menurut Pradjna R, (2002) para penguasa local telah
mereorganisasi ekonomi politiknya melampau batas-batas regulasi formal
dengan memanfaatkan berbagai kelemahan
aturan untuk meningkatkan kekayaan dan kekuasaannya.
4.
Menurut Hidayat,
(2007 ) perkembangan lebih akhir menunjukkan bahwa proses bertahannya
kekuatan-kekuatan lama mengalami pergeseran dramatis, yakni kelompok oligarkis
yang dibangun semasa orde baru berhasil mereorganisasi diri tidak semata-mata
dengan mangandalkan cara-cara yang kotor seperti politik uang dan premanisme,
juga tidak semata-mata mampu mengkonsolidasi diri dalam suasana demokratis
tetapi juga dengan menggunakan mekanisme demokratis. Tolong ulang kuliah berikut
( Ada tugas Mid) : Evaluasi yang dilakukan
atas berbagai usulan perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tidak mengalami
pergeseran perspektif yang signifikan. Pokja Depdagri, memang mengusulkan
adanya kebutuhan untuk mengatur “kawasan khusus” tetapi secara umum
desentralisasi masih dipahami dalam makna uniformitasnya, (Djojosukanto,dkk,
2008) sebagai paradigma dominan hampir tunggal yang menuntun keseluruhan logika
rancangan kebijakan desentralisasi di Indonesia sampai saat ini. Pada hal
uniformitas telah mengabaikan
fakta keragaman yang melekat dalam daerah-daerah dan sekaligus mengabaikan
kepentingan nasional dalam kerangka desentralisasi, seperti kepentingan untuk
menjaga keutuhan negara. Yang terjadi kemudian gagasan penyebaran
kekuasaan lewat desentralisasi dilaksanakan secara seragam untuk semua daerah tampa mempertimbangkan
perbedaan-perbedaan mendasar antar berbagai daerah dan keunikan yang dimilki
daerah-daerah.
Karena itu menurut
Cornelys Lay, (2010) dibutuhkan cara berpikir baru yang bertumpu pada adanya
kebutuhan untuk memperhatikan perbedaan
antar daerah dan keunikan masing-masing daerah sekaligus kepentingan obyektif
Indonesia sebagai sebuah negara bangsa yang kemudian menjadi titik tolak untuk
merancang kebijakan desentralisasi ke depan secara lebih baik.
Paradigma seperti inilah yang dikenal sebagai asymmetrical decentralization yang secara legal konstitusional sebenarnya
memiliki akar yang kuat pada konstitusi dan spirit yang melekat dalam praktek
desentralisasi Indonesia sejak awal kemerdekaan, sayangnya tidak dirumuskan
secara tajam dalam regulasi-regulasi nasional terkait desentralisasi. Pada hal
dalam kenyataan desentarlisasi asimetris itu telah dipraktekkan pada beberapa daerah seperti Papua, NAD, DIY dan
DKI Jakarta, adanya pengembangan ragam zona spesifik seperti Kapet (kawasan
pengembangan ekonomi terpadu), pusat-pusat pertumbuhan, kawasan otoritas,
misalnya Otoritas Batam, berikut kota-kota mandiri, sesungguhnya berangkat dari
logika asymmetrical decentralization, hanya saja praktek-praktek pengaturan
daerah atau kawasan secara asimetris di atas belum terintergrasi sebagai bagian
dari regim desentralisasi yang dikembangkan di Indonesia. Dan seharusnya hal itu tidak untuk beberapa
daerah saja melainkan untuk semua daerah otonom di Indonesia.
Mengapa
Desentralisasi Asimetris ?
Pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah di beberapa daerah
merupakan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang cukup umum diterapkan di
banyak negara. Pengalaman ini
berlangsung baik di dalam bentuk negara kesatuan yang diberi desentralisasi
maupun dalam format pengaturan federatif. Sejumlah kedutaan yang yang diwawancarai dengan
menggunakan metode FGD dari Tim Peneliti PLOD UGM, (2009) dan kajian komparasi
atas berbagai negara mengungkapkan luasnya penerapan model ini di beberapa
negara, seperti di India (Jammu Kashmir), Pakistan (Gilgit Baltistan), Spanyol,
China, Filipina, Afrika Selatan, Meksiko, Findlandia, Norwegia, Kanada,
Denmark, Perancis, Italy. Portugal, dllnya.
Bagi Indonesia realitas
masyarakat kita yang sangat plural bisa menjadi kekuatan atau dasar untuk
mengembangkan model desentralisasi
asimetris. Menurut Cornelis Lay skema kebijakan ini dimaksudkan untuk
menjawab tantangan – tantangan atau untuk mencapai tujuan-tujuan yang secara
tipologis dapat dibedakan ke dalam lima tipe :
1.
Tantangan
yang bersifat politik, terutama yang terkait dengan regional questions.
Pengaturan asimetris ditempuh sebagai strategi kebijakan untuk mempertahankan
batas wilayah kekuasaan unit politik (basic
boundaries) suatu negara. Rancangan desentralisasi asimetris atau federasi
asimetris dengan motivasi politis ini adalah yang paling luas ditemukan dalam
pengalaman di berbagai negara, dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda di
setiap negara.
2.
Sebagai
instrumen kebijakan untuk mengakomodasi keunikan budaya dan perbedaan alur
kesejarahan, termasuk dalam kerangka perlindungan kaum minoritas dan manajemen
konflik.
3.
Kebijakan
untuk menjembatani tantangan yang bercorak teknokratik managerial, yakni keterbatasan
kapasitas suatu daerah atau suatu wilayah dalam menjalankan fungsi dasar
pemerintahan. Hal ini muncul ketika daerah tidak mampu menyampaikan atau
menyediakan pelayanan public secara memadai dan efisien sebagaimana daerah lain
yang berada di level yang sama. Pendekatan asimetris memungkinkan pejabat
pemerintah yang berwenang di tingkat nasional memaksimalkan rentang fungsi dan
kekuasaannya. Rentang fungsi dan
kekuasaan ini bisa dibatasi dikemudian hari apabila telah terbangun kapasitas
yang cukup memadai. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi terhadap kapasitas
daerah. Penerapan desentralisasi
asimetris karena argumen ini boleh jadi sangat relevan untuk Indonesia saat
ini, terutama jika berbagai data dan informasi mengenai kegagalan pelayanan
public seiring dengan lahirnya daerah-daerah baru adalah benar.
4.
Kebijakan
yang dirancang untuk memperkuat kapasitas kompetitif sebuah negara bangsa dalam
kerangka persaingan global dan regional yang semakin keras.
5.
Kebijakan
yang dirancang sebagai instrumen untuk meminimalisasi resiko, misalnya bagi
kawasan-kawasan perbatasan yang mengandung resiko bagi keamanan negara dan
keutuhan teritorial negara bangsa, kawasan
dengan resiko pengulangan bencana yang tinggi ataupun kawasan dengan siklus
rawan pangan yang ajeg.
Di Indonesia penerapan asymetrical decentralization bukan
merupakan pengalaman baru. Aceh dan Papua adalah contoh tipikal dari penerapan
prinsip ini guna menjawab terus menguatnya “regional questions” di dua
kawasan panas ini. Sementara Yogyakarta, merupakan contoh penting dari
penggunaan instrumen kebijakan asymetrical decentralization sebagai instrumen
untuk BAB III
POLITIK DESENTRALISASI
A. Pengantar
Lebih dari dua dekade
pembicaraan mengenai desentralisasi telah menjadi perhatian berbagai negara,
baik di negara maju maupun negara dunia ketiga. Mulanya, upaya sentralisasi
dalam perencanaan dan administrasi pembangunan terutama
di negara dunia ketiga
yang dipandang perlu untuk memberikan arah, dan pengendalian terhadap pembangunan ekonomi serta
mempersatukan bangsa yang sedang tumbuh sebagai akibat penjajahan yang cukup
lama. Tahun 1950-1960an sentralisasi diyakini sebagai kunci sukses pembangunan.
Namun pada kenyataannya banyak negara yang menemui kegagalan, khususnya
di negara dunia ketiga. Meskipun pertumbuhan
ekonomi mengalami kenaikan namun hanya sebagian kecil kelompok masyarakat yang
merasakan manfaatnya. Hal ini terjadi karena kebijakan pembangunan yang dihasilkan adalah
kebijakan yang diadakan untuk menyenangkan lembaga pendonor, tidak
memperhatikan keadaan obyektif di dalam negeri.
Ketidakmampuan untuk memahami secara cepat local value,
aspirasi daerah menjadikan pemerintahan yang sentralistik kurang populer.
Mawhood mengemukakan 4 alasan memudarnya “pemihakan” pada sentralisasi, yaitu:
1. More open political competition and personal career
building among politicians and bureaucrats alike;
2. A tendency in the regime to aim – at least temporarily –
for reduced popular participation
3. Poor performance in many autonomous local authorities;
4. A climate of
opinion in which liberal economists as well as marxists thinker were urging the
virtue of centralized planning mechanism as the key to rapid development
Mulai tahun 1970an
maraklah pencarian rumusan konsep-konsep pembangunan yang mampu mengatasi
kegagalan sentralisasi. Para ahli dan pembuat kebijakan mulai menyadari bahwa
pembangunan mensyaratkan transformasi mendasar pada
struktur sosial, ekonomi, politik yang memungkinkan
peningkatan produktifitas dan pendapatan kaum miskin. Struktur pasar yang
kelihatannya efektif memajukan pembangunan di negara industri ternyata tidak
bekerja di negara dunia ketiga; kemiskinan tidak serta merta berkurang melalui trickle down effect.
Strategi growth with
equality, people centered development adalah tawaran solusi
mengatasi kegagalan sentralisasi. Manusialah yang harus menjadi fokus dan
sumber pembangunan yang utama bukan ekonomi atau teknologi. Menurut
Hollensteiner, pembangunan yang demikian berusaha untuk: “promote the empowernment of people instead of perpetuating
the dependency creating relationship so characteristic of top down”.
Pemerintahan di beberapa negara kawasan Amerika Latin mendirikan korporasi
untuk menstimulasi investasi lokal, dan produksi pertanian yang lebih banyak.
Pemerintahan di Afrika mendirikan komite perencanan pembangunan di tingkat
propinsi, distrik, daerah. Di Asia, badan perencanaan dan pembangunan daerah
berkembang dengan cepat.
Tahun 1990an gelombang
baru paradigma desentralisasi melanda di hampir semua negara seiring dengan jargon
good governance, local government, demokrasi, local governance,
civil society dan partisipasi.
B. Mengapa Desentralisasi?
Para penganjur
desentralisasi menawarkan berbagai alasan pentingnya pemerintah pusat
menyerahkan tanggungjawab yang lebih besar pada pemerintah daerah untuk merencanakan dan
melaksanakan pembangunan. Berikut alasan
dipilihnya desentralisasi atau kebaikan-kebaikan
desentralisasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli:
1. Rondinelli:
1.
Desentralisasi sebagai
alat mengurangi kontrol kesentralan perencanaan pembngunan oleh pusat dengan
adanya pendelegasian kewenangan yang lebih besar pada daerah.
2.
Dengan
desentralisasi daerah akan memiliki
sensitifitas lebih tinggi pada masalah yang terjadi didaerahnya
3.
Desentralisasi memacu daerah
lebih kreatif, inovatif, responsif
4.
Meningkatkan
akuntabilitas birokrat dan wakil rakyat
5.
Meningkatkan partisipasi
politik, sosial, ekonomi masyarakat
6.
Pelayanan publik efisien
dan efektif
7.
Meningkatkan stabilitas
nasional dan kesatuan
2. Cheema dan
Rondinelli:
“central planing was not only complex and difficult to
implement but may also have been inappropriate for promoting equitable
(pantas/patut) growth and self
sufficiency among low income groups and comunities within developing countries”. Perencanaan terpusat tidak
hanya kompleks dan sulit dalam pelaksanaan tetapi juga tidak layak/pantas untuk
mempromosikan pertumbuhan dan kecukupan diantara rendahnya pendapatan kelompok
masyarakat tanpa pembangunan Negara.
3. B.C. Smith:
1.
Desentralisasi dapat
meningkatkan kadar demokrasi melalui political education
2.
Menjamin stabilitas
nasional
3.
Menciptakan political
equality(persamaan) karena desentralisasi memberikan kesempatan masyarakat untuk lebih berpartisipasi
4.
Memfasilitasi
akuntabilitas dan kebebasan berpendapat
5.
Merangsang responsivitas
pemerinth lokal untuk tanggap terhadap kebutuhan warga masyarakat
6.
Desentralisasi merupakan training ground untuk national
legislator
4. Keith Griffin:
Desentralisasi berkaitan erat dengan pemberdayaan dalam
arti desentralisasi memberikan keleluasaan dan kewenangan kepada pemerintah
daerah untuk berinisiatif dan mengambil keputusan.Pemberdayaan akan menjamin
hak dan kewajiban serta wewenang dan tujuan dari organisasi pemerintahan daerah
untuk menyusun program, memilih alternatif dan mengambil keputusan dalam
mengurus kepentingan daerahnya sendiri.
5. George R Terry :
1.
Struktur organisasi yang
didesentralisasikan berbobot pendelegasian wewenang dan memperingan beban
manajemen teratas
2.
Membuka jalan untuk
kedudukan manajer umum karena lebih berkembang ‘generalist’ daripada
‘specialist’
3.
Memunculkan semangat
kerja dan koordinasi yang baik
4.
Meningkatkan efisiensi
sepanjang struktur dapat dipandang sebagai satu keutuhan sehingga kesulitan
dapat dialokasikan dan dipecahkan dengan mudah
5.
Resiko yang mencakup
kerugian dalam bidang kepegawaian, fasilitas, organisasi dapat terbagi-bagi
6.
Bagi organisasi yang
besar dan tersebar di berbagai tempat dapat memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya dari keadaan setempat
7.
Sebelum suatu rencana
dapat diterapkan pada organisasi secara keseluruhan maka dapat diterapkan pada
salah satu bagian terlebih dahulu sehingga dapat dirubah dan disesuaikan ,
dibuktikan kebaikan dari rencana tersebut
8.
Kebiasaan dengan aspek
kerja yang khusus dan penting siap untuk dipergunakan.
6. J. Inhett Veld:
1.
Desentralisasi
memberikan penilaian yang lebih tepat terhadap keadaan daerah dan penduduknya
yang beraneka ragam
2.
Desentralisasi
meringankan beban pemerintah karena pmerintah pusat tidak mungkin menegenal
seluruh kepentingan dan kebutuhan setempat serta tidak mungkin
mengetahuikebutuhan terebut dengan detail. Daerahlah yang mengetahui sebenarnya
kebutuhan daerah dan cara memenuhinya
3.
Dengan desentralisasi
dapat menghindarkan adanya beban yang melampaui batas perangkat pusat yang
disebabkan tunggakan pekerjaan
4.
Pada desentralisasi
unsur individu atau daerah lebih menonjol karena dalam ruang lingkup yang
sempit, seseorang dapat lebih mempergunakan pengaruhnya daripada dalam
masyarakat yang lebih luas
5.
Masyarakatsetempat dapat
kesempatan untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga ia
tidak sebagai obyek
6.
Desentralisasi
meningkatkan partisipasi masyarakat setempat dalam mengontrol segala tindakan
dan tingkah laku pemerintah
7. Mariun (1967):
1.
Memberikan perhatian
khusus kepada tugas atau daerah yang didesentralisasikan sehingga
memungkinkan penyelenggaraan pekerjaan lebih efektif
2.
Mengurangi kesewenangan
pemerintah pusat
3.
Memajukan keluwesan dan
kecepatan bertindak
Namun
desentralisasi juga tak terlepas dari kritik. Dalam konteks beberapa teori
tentang negara, desentalisasi memunculkan gerakan
separatis atau gerakan parochial di Afrika. Perspektif sosialis
melihat desentralisasi akan memperlemah
institusi lokal karena masyarakat pada akhirnya hanya akan dimanipulasi
oleh kelompok, elit dominan yang sebenarnya merupakan representasi pemerintah
pusat. Desentralisasi juga dianggap sebagai bagian reformasi liberal yang
dilakukan kaum kapitalis.
C. Model Desentralisasi
1.
Aliran Anglo Saxon
PBB memberikan batasan sebagai berikut:
“decentralization refers to the transfer of authorithy
away from the national capital wether by deconcentration (i.e. delegation to
field offices or by devolution to local authorithies or local bodies.The two
principal forms of decentralization of governmental powers and function are
deconcentration to area offices of administration and devolution to state and
local authorities”.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang atau transfer
wewenang dari pemerintah pusat baik kepada pejabat-pejabat pemerintah
pusat di daerah yang disebut
dekonsentrasi maupun kepada badan–badan otonom daerah yang disebut devolusi.
·
Pada dekonsentrasi,
departemen pusat melimpahkan wewenang dan tanggung jawab bidang tertentu kepada
pejabat yang bertindak sebagai wakil departemen pusat untuk melaksanakan fungsi
atau bidang tugas tertentu yang bersifat administratif tanpa menerima
penyerahan kekuasaan sepenuhnya (final authorithy). Tanggung jawab
terakhir tetap pada departemen pusat.
·
Pada devolusi sebagian
kekuasaan diserahkan kepada badan politik di daerah yang diikuti penyerahan kekuasaan kewenangan
sepenuhnya (final authorithy) untuk mengambil keputusan secara politis
maupun administratif.Sifatnya adalah penyerahan riil berupa fungsi dan
kekuasaan, bukan hanya sekedar pelimpahan (this type of arrangement has
apolitical as well as an administrative
character)
Carolie Bryant dan Louisse G White (1987, hal 123-124)
mengatakan bahwa desentralisasi adalah transfer kekuasaan kewenangan yang dapat
dibedakan kedalam desentralisasi administratif maupun desentralisasi politik.
·
Desentralisasi
administratif adalah pendelegasian wewenag pelaksanaan yang diberikan kepada
pejabat pusat di tingkat lokal. Para pejabat tersebut bekerja dalam batas-batas
yang telah ditentukan baik dalam rencana
maupun biaya tetapi memiliki sedikit kewenangan dan kekuasaan yang bervariasi
dari mmebuat peraturan-peraturan yang bersifat program sampai ke yang lebih
substansial.
·
Desentralisasi politik
adalah pemberian kewenangan dalam membuat keputusan dan pengawasan tertentu
terhadap sumber daya yang diberikan kepada badan pemerintah regional dan lokal.
Carolie Bryant mengatakan, konsekuensi dari penyerahan
wewenang dalam pengambilan keputusan dan pengawasan kepada badan badan otonomi
daerah adalah untuk:
a.
Memberdayakan kemampuan
lokal (empowerment local capacity)
b.
Mengembangkan kemampuan
otoritas lokal
c.
Meningkatkan partisipasi
elit lokal dan warga masyarakat
Sedangkan pemerintah pusat akan memperoleh respek dan
kepercayaan karena menyerahkan proyek-proyek dan sumber-sumber daya, dan dengan
demikian akan meningkatkan pengaruh dan legitimasinya.
Rondinelli memberikan
definisi desentralisasi yang lebih luas:
Decentralization is the transfer of planning, decision
making or administration authorithy from the central government to its field
organizations, local aministrative units, semi autonomous and parastatal
organizations, local governments or non government organization.
Four terms of decentralizations can be distinguished by
the degree of authorithy and power or scope of functions which government of
souvereign state transfer to or shares with other organization within its jurisdiction... diferent forms of
decentralization can be distinguished primarily by the extend to which authorythy to plan decide and manage is transfer from
central government to other organizations and the amount of autonomy the
decentralized organizations achieve in carrrrrying out their task.
Dari definisi di atas maka Rondinelli membedakan empat
bentuk desentralisasi yaitu:
1.
Dekonsentrasi
2.
Delegasi pada pada semi
otonom atau parastatal organisasi
3.
Devolusi pada pemerintah
lokal
4.
Delegasi pada institusi
non pemerintah
ad. 1. Dekonsentrasi
Rondinelli
menjelaskan bahwa dekonsentrasi pada dasarnya adalah:
shifting of work load from a central government ministry
or agency headquarter to each own field staff located in offices outside of the
national capital without transfering to them the authorithy to make decisions
or to exercise disrection in carrying out them.
Dekonsentrasi selanjutnya dibedakan dalam dua bentuk
yaitu field administration dan local administration.
1.
Field
administration: pejabat di lapangan
diberi kekuasaan untuk mengambil keputusan rutin dan menyesuaikan pelaksanaan
kebijaksanaan pusat dengan kondisi lokal yang dilakukan atas petunjuk
departemen pusat. Para pejabat lokal bekerja di bawah pemerintah lokal yang
memiliki kewenangan semi otonom, namun mereka adalah pegawai departemen pusat
dan tetap berada dibawah perintah dan pengawasan pusat.
2.
Local
administration: setiap pejabat
disetiap tingkat pemerintahan merupakan wakil dari pemerintah pusat dikepalai
oleh seorang yang diangkat, dibawah dan bertanggungjawab pada departemen pusat.
Mereka bekerja dibawah pengawasan teknis departemen pusat.
Local administration dibagi kedalam integrated local administration dan unintegrated
local administration.
1.
Integrated local
administration, pejabat dari
departemen pusat yang ditempatkan di daerah berada langsung dibawah perintah
dan pengawasan kepala eksekutif daerah yang diangkat oleh dan bertanggungjawab
pada pemerintah pusat. Mereka diangkat digaji dipromosi dan dimutasikan oleh
departemen pusat tetapi mereka tetap berkedudkan sebagai staff teknis kepala
eksekutif wilayah dan bertanggungjawab kepadanya.
2.
Unintegrated local
administration, pejabat-pejabat
departemen pusat yang berada di daerah dan kepala eksekutif wilayah, masing-masing berdiri
sendiri.Masing-masing bertanggungjawab kepada departemennya di pusat.
Koordinasi dilakukan secara informal pejabat teknis tersebut mendapat perintah
dan diawasi oleh masing-masing departemen.
ad.2.
Delegasi pada Semi Otonom dan Parastatal Organisasi
Delegation to semiotonom dan parastatal organization adalah pelimpahan
kewenangan dalam pembuatan keputusan dan manajerial dalam melaksanakan
tugas-tugas khusus kepada organisasi yang tidak langsung berada dibawah
pengawasan pemerintah pusat. Organisasi yang demikian diberikan kewenangan semi
independen untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Organisasi-organisasi
yang demikian biasanya bersifat komersil
atau ekonomis dan lebih mengutamakan efisiensi tidak birokratis dan politis.
Badan-badan ini biasanya diberi wewenang melaksanakan proyek tertentu seperti pembangunan
jalan, bendungan, listrik, telekomunikasi. Bentuk desentralisasi yang demikian
di Indonesia identik dengan desentralisasi fungsional.
ad.3.
Devolusi
Devolusi mengakibatkan pemerintah pusat
harus membentuk unit pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan
sebagian fungsi dan kewenangan tertentu untuk dilaksanakan secara mandiri. Bentuk ini identik
dengan desentralisasi teritorial atau yang oleh pakar lain disebut
desentralisasi politik.
Devolusi mempunyai beberapa ciri yaitu:
a)
Unit pemerintahan
setempat bersifat otonom dan independent dan secara tegas terpisah dari hirarki
pemerintahan. Pemerintah pusat tidak melakukan pengawasan langsung terhadapnya
ciri atau karakteristik ini tidak nampak dalam pemerintahan di Indonesia.
Indonesia tidak menganut
otonomi bebas dalam arti independen tetapi otonomi mandiri.
b)
Unit-unit pemerintahan
tersebut diakui mempunyai batas wilayah yang jelas dan legal mempunyai kewenangan
untuk melaksanakan tugas umum pemerintahan
c)
Unit pemerintahan daerah
berstatus sebagai badan hukum dan berhak untuk mengelola dan memanfaatkan
sumber-sumber daya dalam mendukung pelaksanaan tugasnya
d)
Unit pemerintahan daerah
diakui oleh warganya sebagai suatu lembaga yang memberikan pelayanan kepada
masyarakat sebaliknya pemerintah daerah ini berpengaruh dan berwibawa terhadap
warganya
e)
Terdapat hubungan yang saling menguntungkan melalui
koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah serta unit organisasi lainnya
dalam suatu pemerintahan. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah
hubungan kemitraan bukan subordinasi
ad.4. Transfer functions
from government to non-government organizations or institutions
(Privatisasi)
Bentuk ke-empat
desentralisasi disebut juga privatisasi. Privatisasi adalah pemberian wewenang
dari pemerintah kepada NGO tetapi juga
merupakan penyatuan badan pemerintah dan kemudian dijadikan badan swasta
seperti BUMN, BUMD yang dilebur menjadi PT.
Privatisasi dimaksudkan untuk:
1.
Pengalihan anggaran
belanja pemerintah ke sektor swasta diharapkan akan lebih menghidupkan
aktivitas bisnis. Dengan pengelolaan lebih banyak diserahkan kepada sektor
swasta diharapkan efisien dapat dicapai
2.
Pemberian keleluasan
yang lebih besar kepada masyarakat/sektor swasta dapat menciptakan pelayanan
publik lebih cepat dan lebih murah
3.
Memungkinkan masyarakat
mempunyai pilihan yang lebih banyak dalam hal pelayanan publik. Masyarakat
lebih diberdayakan untuk menentukan dan menyediakan kepentingan bersama melalui
unit sosial yang ada
4.
Pemberian keleluasaan
yang lebih banyak kepada masyarakat berarti mengurangi ruang lingkup
pemerintahan. Hal ini ditujukan mendorong berlangsungnya demokratisasi. Kalau
pemerintah terlalu besar, kuat banyak melakukan intervensi akan mempunyai
kecenderungan menghambat pertumbuhan demokrasi. Selain itu lebih besarnya
keleluasaan ini merupakan upaya memberdayakan masyarakat
Namun perlu diperhatikan pula dampak yang kurang
menguntungkan dari privatisasi, seperti kurang adanya jaminan dapat
terselenggaranya fungsi-fungsui sosial
bagi masyarakat. Hal ini dimungkinkan dengan semakin lebarnya keterlibatan
masyarakat dapat membawa akibat sebagian anggota masyarakat yang kurang mampu
tidak dapat bersaing menikmati fasilitas dasar yang diperlukan.
Untuk meniadakan atau meminimalkan dampak yang kurang
menguntungkan tersebut pemerintah berkewajiban tetap mengeluarkan peraturan
yang dapat memberi jaminan agar setiap individu memperoleh pelayanan minimal.
Hal ini dapat dilakukan oleh pemerintah misalnya dengan pemberian subsidi untuk
bidang tertentu (Josef Riwukaho, Haryanto, Fungsi-fungsi Pemerintahan, makalah,
1997).
Berikut definisi desentralisasi yang lain menurut
beberapa pakar desentralisasi:
Sergio Boisier:
Decentralization maybe administrative or functional
teritoril political or combination of these.Decentralization is administrative
when its concern sectors or activities within the public sector (e.g.
decentralized public enterprise); it is teritorial when it involves the
transfer of areas or responsibility to the bodies having jurisdiction over a given territory (e.. regional development
councils or community develop[ment councils); and it is political when it
entail as handing over areas of responsibility to elected political bodies not
subordinate in rank to the state (e.g. an elected national conggress).As elected
national essembly on council would be a decentralize body in both political and
teritorial terms.
Paul S Moro:
Desentralisasi implies the transfer of powers, functions,
or activities from the national to subnational levels, such as the region,
districts or other local administrative or geographical unit.It can take the
form of deconcentration i.e the delegation of administrative authorithy of
powers to public servants in the field within a governmnet structure; or
devolution the transfer of political powers or functions from centralgovernment
to local institutions at the districts or lower levels.In devolution, powers
delegated are ussually combined with the rigaht to raise revenue, thus giving
local institutions some political authorithy.
Raul D Guzman:
Decentralization
generally refers to the systematic and rational dispersal of power
authorithy and responsibility from the central too the periphery from the top
to the lower levels or from the national to the local government.Recent
conceptualization however have expanded the menaing of the term of the issue of
developing alternative mechanism for the delivery of the basic servicess
traditionally undertaken by bureaucratic organization. As such decentralizationi
recent year has assumed many forms other the deploying power and function to
local levels institutions.
In these sense four approaches through which
decentralization of bureaucracy can be operationalize can be identified:
1.
devolution
2.
deconcentration
3.
privatization
4.
the use of NGO and other altenative channels
for service delivery.
Desentralisasi – sebagaimana dapat dilihat di atas –
adalah penyerahan kewenangan dalam pengertian yang luas yang mencakup
dekonsentrasi, devolusi privatisasi atau desentralisasi fungsional dan
pengikutsertaan LSM dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
merupakan kelompok anglo saxon.
- Aliran Kontinental.
Para ahli di Indonesia umumnya digolongkan ke dalam
aliran kontinental. Mereka diantaranya R Tresna, Koesoemahatmadja, Amrah
Moeslimin, The Liang Gie.
Tresna misalnya membedakan desentralisasi ke dalam
beberapa bagian:
1)
ambtbelijke
decentralisatie (desentralisasi
jabatan) atau dekonsentrasi adalah pemberian atau pemasrahan kekuasaan dari
atas ke bawah dalam rangka kepegawaian guna kelancaran pekerjaan semata-mata
2)
staatskundige
decentralisatie (desentralisasi
ketatanegaraan) merupakan pemberian kekuasaan untuk mengatur bagi daerah di
dalam lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara
Desentralisasi ketatanegaraan ini kemudian dibedakan lagi
ke dalam:
·
teritoriale decentralisatie (desentrlisasi teritorial)
·
functioanale
decentralisatie (desentralisasi
fungsional)
Menurut Koesoemahatmadja (1979), desentralisasi
ketatanegaraan adalah pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada
daerah untuk mengurus rumah tangganya (daerah otonom). Desentralisasi adalah
sistem untuk mewujudkan demokrasi yang memberikan kesempatan kepada rakyat
untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
Desentralisasi dibedakan kedalam:
1.
Dekonsentrasi (ambtelijke
decentralisatie)
2.
Desentralisasi
ketatanegaraan (staatskundige decentralisatie) atau desentralisasi
politik yaitu pelimpahan kekuasaaan perundang-undangan dan pemerintahan (regelende
en besturende bevoegdheid) kepada daerah-daerah otonom di dalam
lingkungannya. Dalam desentralisasi politik ini rakyat dilibatkan dalam
penyelenggraan pemerintahan melalui saluran-saluran perwakilan. Desentralisasi
ketatanegaraan kemudian dibedakan menjadi:
·
Desentralisasi
teritorial yaitu pelimpahan kekuasaan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing (otonom)
·
Desentralisasi
fungsional yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu.
Amrah Muslimin tidak memasukkan dekonsentrasi sebagai
salah jenis dari desentralisasi. Ia membedakan desentralisasi ke dalam 3 jenis:
1.
Desentralisasi politik
ialah pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat yang menimbulkan hak mengatur
dan mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan politik di
daerah-daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah tertentu untuk mengurus
satu macam atau segolongan kepentingan tertentu dalam masyarakat, baik terikat
ataupun tidak pada suatu daerah tertentu, seperti: mengurus kepentingan irigasi
bagi golongan petani dalam suatu atau beberapa daerah tertentu (subak di Bali).
2.
Desentralisasi
fungsional
3.
Desentralisasi
kebudayaan (culturele decentralisatie) adalah pemberian hak pada
golongan minoritas dalam masyarakat untuk menyelenggarakan kebudayannya sendiri
(mengatur pendidikan, agama). Di kebanyakan negara kewenangan ini diberikan
kepada kedutaan asing untuk menyelenggarakan pendidikan bagi warga negaranya.
Tidak
dimasukkannya dekonsentrasi sebagai bagian desentralisasi dalam arti luas
karena campur tangan pemerintah pusat pada dasarnya dilakukan melalui jalur
perangkat dekosentrasi.
The Liang Gie menyatakan:
Desentralisasi
adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada satuan organisasi
pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari
sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah. Kalau pemerintah
menyelenggarakan desentralisasi berarti pemerintah mengadakan mengatur (dan
sebagainya) pelimpahan wewenang kepada satuan organisasi yang mempunyai batas
wilayah tertentu. Dengan adanya desentralisasi maka berlangsunglah serangkaian
aktivitas yang menjalankan wewenang yang dilimpahkan itu.
Logemaan menyatakan desentralisasi sebagai ketentuan
jikalau pekerjaan penguasa dari penguasa negara dilimpahkan kepada persekutuan
yang berpemerintahan sendiri. Defini tersebut mengarah kepada pengertian
desentralisasi dalam arti sempit yaitu desentralisasi teritorial devolusi atau
desentralisasi politik saja
Dari berbagai definisi dapat ditarik kesimpulan:
Desentralisasi pada dasarnya adalah suatu proses transfer
penyerahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari urusan yang semula adalah
urusan pemerintah pusat kepada badan atau lembaga pemerintah daerah agar
menjadi urusan rumahtangganya. Sehingga urusan tersebut beralih kepada daerah
dan menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah daerah.
D. Metode Desentralisasi
- Residu: pemerintah
pusat menentukan hal apa saja yang menjadi urusan pemerintah pusat,
sisanya menjadi urusan pemerintah daerah
Pusat
Daerah
sisanya
- Materiil: urusan
daerah ditetapkan terlebih dahulu, satu persatu secara limitatif,
terperinci, di luar tugas yang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat.
Daerah
Pusat
sisanya
Urusan-urusan daerah
ditetapkan
dahulu
- Formal:
urusan-urusan yang termasuk dalam urusan rumah
tangga Daerah tidak secara apriori ditetapkan dalam undang-undang. Daerah boleh mengatur dan
mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asalkan
tidak mencakup urusan-urusan penting yang telah diatur dan diurus oleh
Pemerintah Pusat atau Daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Jadi, urusan
yang telah diatur dan diurus oleh Pemerintah atasan tidak boleh diatur dan
diurus oleh Daerah.
E.
Model
Pemerintahan Daerah
Setidaknya ada 4 model pemerintahan daerah, yaitu:
1. Model
Perancis
2. Model
Rusia
3. Model
Anglo Saxon
4. Model
Tradisional
a.d.
1. Model Perancis
Awal
abad 19, Perancis merupakan chief imperial power di benua Eropa, Asia, Afrika Utara sehingga
model pengelolaaan pemerintahan Perancis banyak diterapkan dinegara Eropa,
Amerika Selatan, dan sejumlah negara di kawasan Asia, Afrika. Pemerintahan Perancis saat ini
terdiri dari 90 departemen, 300 arrondissements, 40.000 communes.
Comunnes, baik besar maupun kecil, terdiri dari villages, towns,
cities of the nation.Tiap level dikepalai eksekutif: prefect, sub prefect
atau mayor. Eksekutif memiliki kekuasan penuh dan bertanggungjawab kepada
eksekutif yang lebih tinggi, sementara prefect bertanggung jawab pada Menteri
dalam Negeri. Semua urusan pelayanan publik berada di bawah yurisdiksi
eksekutif, sehinnga seorang eksekutif, mayor, memiliki dual capacity.Yaitu
sebagai agen dari pemerintah pusat dan sebagai pelaksana mandat local
council. Di setiap provinsi, atau commune, terdapat ellective
council yang kekuasaannya terbatas. Model pemerintahan Perancis memiliki
karakter: sentralistis, heavy/dominasi eksekutif dengan subordinasi
legislative, struktur bertingkat, chain of command, uniform,
tujuannya adalah mencapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan.
a.d.
2. Model Rusia.
Sebelum
revolusi tahun 1917, Rusia dibagi dalam sejumlah provinces dan regions
yang dikepalai gubernur. Di masing-masing provinsi terdapat distrik yang
dikepalai chief of police.
Distrik terdiri dari sejumlah cantons yang merupakan kumpulan villages
community. Terjadinya revolusi di Rusia menyebabkan model pemerintahan
Rusia berubah menjadi sistem soviet, soviet berarti councils. Soviet
terdiri dari deputi delegasi yang dipilih buruh pabrik, petani, dan tentara Red
Army. Sistem pemerintahan daerah Soviet Union tersusun dalam beberapa hirarki
administrasi. Tingkatan-tingkatan tersebut berada di bawah All Union, Union
Republic, Autonomous Republic. Tingkatan pertama dan tertinggi adalah
kumpulan unit administrasi yaitu the krais, the oblasts, the okrugs, kota
besar, yang memiliki subordinasi langsung
ke Republic government. Tingkatan kedua terdiri dari rural
raisons, towns of intermediate, city raisons. Tingkatan ketiga
meliputi village soviet, settlements soviets, small town soviets. Pemerintah
lokal lebih merupakan agen langsung
pemerintah pusat, ia bukan lawmaking agencies. Karakter model
pemerintahan Rusia: kontrol partai komunis, single candidate election,
hirarki garis komando yang ketat, kekuasaan pusat yang sangat besar atas council
local.
a.d.
3. Model Anglo Saxon
Pemerintahan
daerah Inggris modern terdiri dari country borough
(didirikan 1888) ; administrative counties (didirikan 1888) yang
meliputi town and county area dan
beberapa fungsi administrasi seperti kesehatan, pelayanan publik, polisi,
transportasi, pendidikan dasar dan menengah; municipal borough
(didirikan 1835 dan 1835), urban district (didirikan 1872), rural
district (didirikan 1872), parish meetings atau council
(didirikan 1894). Salah satu karakter mendasar model pemerintahan ini adalah
bahwa local units bebas dari pengawasan local authorities yang
lain. Tidak ada keterkaitan antara mereka dan antara national ministries
dan parlemen. Karakter lainnya, desentralisasi, heavy/ dominasi
legislative, kooptasi melalui sistem “komite”, Multi-purpose activities,
Voluntarily citizens participation.
a.d.
4. Model Tradisional.
Karakter
pemerintahan model ini adalah masyarakat desa, struktur politik sederhana,
didukung oleh nilai-nilai lokal (mores) yang kompleks.
F. Tinjauan Arah Perkembangan
Desentralisasi
Pada mulanya desentralisasi
dimaknai sebagai proses tunggal, yakni desentralisasi hanya urusan pemerintah. Namun pemaknaan
ini sudah tidak relevan lagi, desentralisasi tidak hanya urusan pemerintah,
desetralisasi menurut .(Bennet, 1994)
digambarkan secara ekstrim dapat terjadi atau berlangsung ke dalam empat si stem
desetralisasi :
- Centralized market
model, Perancis misalnya, dimana
semua alokasi sumberdaya dipercayakan pada pasar
- Localized market
model, alokasi sumberdaya
dipercayakan pada pasar dan pasar itu dipindahkan ke daerah
- Centralized public
sector model, alokasi
sumberdaya direncanakan
secara ekonomis/efisien
dan terpusat
- Localized public
sector model, alokasi sumber
daya secara planned economies tapi dilokalisir ke daerah.
Pada kenyataannya tidak ada negara yang memakai model
ekstrim tersebut.
Terdapat 3 model desentralisasi
pada sistem Mixed Market,(system
campuran atau perpaduan pasar /swasta ) yaitu:
1. Voluntarist
2. Welfarist
model
3. Post
welfare
a.d. 1. Voluntarist
Dalam model
ini urusan-urusan yang menyangkut pelayanan publik bukan hanya digeser dari
pusat ke daerah atau dari pemerintah ke swasta, tetapi juga bergeser ke sektor
ketiga. Pengadaan, pengelolaan pelayanan publik mengalami pergeseran dari pusat
atau pemerintah ke civil society.
Studi
Kasus Model Voluntarist:
Tanggal 17
Januari 1995, di Kobe dan Pulau Awaji (Jepang) terjadi gempa bumi yang
menewaskan lebih dari 5.000 orang dan lebih dari 200 rumah hancur. Gempa yang menimpa kawasan urban tersebut
melumpuhkan pelayanan publik dimana
kehidupan masyarakat urban sehari-hari sangat bergantung padanya. Saluran listrik, telepon, air, gas, putus
total. Pemerintah kota dan prefecture tidak mampu menyediakan pertolongan
bagi para korban. Pemadam kebakaran tidak mampu mematikan kebakaran yang
terjadi di berbagai area. Mereka tidak memiliki persediaan air dan tidak dapat
menjangkau lokasi-lokasi kebakaran karena jalan-jalan tertutup reruntuhan
bangunan. Sukarelawan berdatangan dari penjuru daerah, negara.
Dalam situasi
seperti ini, voluntary activities memainkan peran penting untuk menolong
para korban.Namun peran para sukarelawan ini tetaplah sebagai suplemen
pemerintah. Bencana tersebut mengingatkan pentingnya pemerintah, swasta (private
enterprises) dan para sukarelawan berpartisipasi dalam pengelolaan crisis
management system, penyediaan komunikasi yang cepat, cara perekrutan
sukarelawan, dan pentingnya koordinasi berbagai pihak. Dalam masyarakat yang
semakin modern, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian, pemerintah membutuhkan
kerjasama dengan aktor-aktor lain untuk membangun sebuah sistem manajemen
sosial yang hibrid, tidak hanya pada waktu terjadi krisis, bencana tapi juga
pada situasi normal. (Akira Morita, A New Conceptualization of The Public
Service)
a.d. 2. Welfarist
Model
Model yang
banyak dipraktekkan di kawasan Eropa, terutama Skandinavia (Nordic) ini lebih
mendekati ke planned economies.
Negara yang menggunakan model ini memiliki sejumlah kewajiban yang melekat pada
dirinya, misalnya negara wajib menyediakan full employment (banyak lapangan pekerjaan), melakukan investasi jangka panjang yang besar
untuk meningkatkan kapasitas produksi, menyediakan dan menjamin pendidikan,
kesehatan, perumahan bagi warganya. Model ini harus ditopang sistem pajak yang
benar-benar progresif.
a.d. 3. Post welfare
Pada model post
welfare, sistem pelayanan publik, kesehatan, pendidikan misalnya, mulai
diserahkan ke pasar. Indikasi suatu negara menerapkan model ini antara lain,
adanya:
·
demand for greater responsiveness to
customers
·
innovations in service delivery
·
managerial reform (internal acccountability)
·
reinterpretations of representation and
external accountability
·
attempts to shift the “boundary” of
government (Bennet, 1990)
Market
resource
allocation
Governmental
resource
allocation
power
centralized
power localized
G. Pengalaman Desentralisasi di Afrika Barat dan Asia khususnya di Indonesia.
1. Afrika Barat
Di Ghana, Senegal, Cote d’Ivoire (Afrika Barat)
desentralisasi tidak dapat memberdayakan penduduk malahan mengokohkan
kekuasaan elit lokal yang berperan sebagai local power broker.
Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan merupakan produk tawar menawar (melalui
negosiasi dan konfrontasi) antara pemerintah pusat dengan elit lokal (rural
elite). Struktur masyarakat agraris yang hirarkis di Afrika Barat
-kekuasaan terpusat pada beberapa orang/seorang yang menguasai tanah, akses
pasar- memberikan rural elite kekuasaan tawar menawar yang kuat vis a vis
negara.
Chaterine Boone (2003) memusatkan penelitiannya pada
usaha institution building strategies pemerintah di Afrika Barat untuk
“menakhlukkan” elit lokal.
Institution building strategies dapat dilihat
dari dua dimensi:
1.
Spasial konsentrasi /deconcentration
of the state apparatus
2.
Sentralisasi/ devolusi
kewenangan politik dan ekonomi
Chaterine menawarkan 4 alternatif strategi institution
building yang dapat dilakukan pemerintah, berupa:
1.
Powersharing (dekonsentrasi struktur institusi;pengalihan wewenang)
2.
Usurpation (dekonsentrasi struktur institusi, sentralisasi
wewenang)
3.
Administrative
occupation (konsentrasi struktur institusi;
sentralisasi wewenang)
4.
Non-incorporation (konsentrasi struktur institusi; devolusi wewenang)
2. Asia dan
Indonesia
Di kebanyakan negara Asia, yang terjadi adalah para
pemimpin daerah tidak memiliki kewenangan politik dalam menentukan kebijakan
yang sesuai dengan local environtment. Pemerintah daerah menjadi pasif
karena ketergantungannya pada pemerintah pusat.
Cheema dan Rondinelli mengemukakan keberhasilan desentralisasi ditentukan oleh faktor lingkungan (environtments)
berupa struktur politik, proses pembuatan kebijakan, struktur kekuasaan lokal,
ketersediaan infrastruktur . Hal ini yang dipengaruhi
oleh :
·
Hubungan antar organisasi yang tercemin pada efektivitas perencanaan,
pembiayaan, pelaksanaan prosedur yang ditetapkan, tingkat akurasi, konsistensi
dan kualitas komunikasi antarorganisasi, efektivitas jaringan dalam organisasi
(aktor-aktor)yang terlibat.
·
Sumber daya berupa dana
yang mencukupi, jaminan ketersediaan sumber pendanaan, dukungan pemerintah
pusat dan pemerintah lokal (serta para birokratnya), kemampuan bargaining
pemerintah dengan Funds (lembaga atau negara pembiaya).
Pengalaman praktek desentralisasi di Indonesia telah lama melewati
sejarah yang
sangat panjang, yakni sejak pertama kali digagas dan diterapkan oleh pemerintah
Kolonial Belanda melalui Decentralisatie Wet,
23 Juli 1903 ( The Liang Gie, 1993, 1994, 1995 dan Josef Riwu Kaho,
1998, 2001 ). Namun pelaksanaan secara luas baru dimulai sepuluh tahun terakhir
sejak digulirkannya UU No 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No 32
Tahun 2004 bahkan sedang disiapkan rancangan perubahan untuk disempurnaan
kembali pada tahun 2010/11 ini.
Berdasarkan hasil riset dan evaluasi terhadap pengalaman
pelaksanaan politik desentralisasi dan otonomi daerah, sebagian terbesar
menunjukkan kegagalan memenuhi
tujuan awalnya terutama yang terkait
dengan produk pelayanan dasar yakni pendidikan dan kesehatan (Djojosukanto, dkk,
2008).
Secara makro sebenarnya pemerintah daerah gagal dalam praktek berdemokrasi, serta
gagal dalam mewujudkan kesejahteraan dan system pelayanan public yang lebih baik, dengan sejumlah pengecualian yang sangat terbatas di
beberapa daerah.
Berikut beberapa implikasi yang timbul dalam pelaksanaan desentralisasi :
1.
Menurut Cornelys Lay,
(2010) sebagian besar daerah justru dihinggapi sejumlah patologi yang kronis
dalam pengelolaan pemerintahan di daerah.
2.
Menurut Robison dan Hadiz, (2003) praktek desentralisasi telah menjadi lahan
kekuasaan dan
pundi-pundi baru bagi praktek2 politik kotor dan premanisme politik
yang sudah mengakar sejak lama, sehingga yang paling diuntungkan adalah para
elit local.
3.
Sebab menurut Pradjna R, (2002) para penguasa local telah
mereorganisasi ekonomi politiknya melampau batas-batas regulasi formal
dengan memanfaatkan berbagai kelemahan
aturan untuk meningkatkan kekayaan dan kekuasaannya.
4.
Menurut Hidayat,
(2007 ) perkembangan lebih akhir menunjukkan bahwa proses bertahannya
kekuatan-kekuatan lama mengalami pergeseran dramatis, yakni kelompok oligarkis
yang dibangun semasa orde baru berhasil mereorganisasi diri tidak semata-mata
dengan mangandalkan cara-cara yang kotor seperti politik uang dan premanisme,
juga tidak semata-mata mampu mengkonsolidasi diri dalam suasana demokratis
tetapi juga dengan menggunakan mekanisme demokratis. Tolong ulang kuliah berikut
( Ada tugas Mid) : Evaluasi yang dilakukan
atas berbagai usulan perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tidak mengalami
pergeseran perspektif yang signifikan. Pokja Depdagri, memang mengusulkan
adanya kebutuhan untuk mengatur “kawasan khusus” tetapi secara umum
desentralisasi masih dipahami dalam makna uniformitasnya, (Djojosukanto,dkk,
2008) sebagai paradigma dominan hampir tunggal yang menuntun keseluruhan logika
rancangan kebijakan desentralisasi di Indonesia sampai saat ini. Pada hal
uniformitas telah mengabaikan
fakta keragaman yang melekat dalam daerah-daerah dan sekaligus mengabaikan
kepentingan nasional dalam kerangka desentralisasi, seperti kepentingan untuk
menjaga keutuhan negara. Yang terjadi kemudian gagasan penyebaran
kekuasaan lewat desentralisasi dilaksanakan secara seragam untuk semua daerah tampa mempertimbangkan
perbedaan-perbedaan mendasar antar berbagai daerah dan keunikan yang dimilki
daerah-daerah.
Karena itu menurut
Cornelys Lay, (2010) dibutuhkan cara berpikir baru yang bertumpu pada adanya
kebutuhan untuk memperhatikan perbedaan
antar daerah dan keunikan masing-masing daerah sekaligus kepentingan obyektif
Indonesia sebagai sebuah negara bangsa yang kemudian menjadi titik tolak untuk
merancang kebijakan desentralisasi ke depan secara lebih baik.
Paradigma seperti inilah yang dikenal sebagai asymmetrical decentralization yang secara legal konstitusional sebenarnya
memiliki akar yang kuat pada konstitusi dan spirit yang melekat dalam praktek
desentralisasi Indonesia sejak awal kemerdekaan, sayangnya tidak dirumuskan
secara tajam dalam regulasi-regulasi nasional terkait desentralisasi. Pada hal
dalam kenyataan desentarlisasi asimetris itu telah dipraktekkan pada beberapa daerah seperti Papua, NAD, DIY dan
DKI Jakarta, adanya pengembangan ragam zona spesifik seperti Kapet (kawasan
pengembangan ekonomi terpadu), pusat-pusat pertumbuhan, kawasan otoritas,
misalnya Otoritas Batam, berikut kota-kota mandiri, sesungguhnya berangkat dari
logika asymmetrical decentralization, hanya saja praktek-praktek pengaturan
daerah atau kawasan secara asimetris di atas belum terintergrasi sebagai bagian
dari regim desentralisasi yang dikembangkan di Indonesia. Dan seharusnya hal itu tidak untuk beberapa
daerah saja melainkan untuk semua daerah otonom di Indonesia.
Mengapa
Desentralisasi Asimetris ?
Pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah di beberapa daerah
merupakan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang cukup umum diterapkan di
banyak negara. Pengalaman ini
berlangsung baik di dalam bentuk negara kesatuan yang diberi desentralisasi
maupun dalam format pengaturan federatif. Sejumlah kedutaan yang yang diwawancarai dengan
menggunakan metode FGD dari Tim Peneliti PLOD UGM, (2009) dan kajian komparasi
atas berbagai negara mengungkapkan luasnya penerapan model ini di beberapa
negara, seperti di India (Jammu Kashmir), Pakistan (Gilgit Baltistan), Spanyol,
China, Filipina, Afrika Selatan, Meksiko, Findlandia, Norwegia, Kanada,
Denmark, Perancis, Italy. Portugal, dllnya.
Bagi Indonesia realitas
masyarakat kita yang sangat plural bisa menjadi kekuatan atau dasar untuk
mengembangkan model desentralisasi
asimetris. Menurut Cornelis Lay skema kebijakan ini dimaksudkan untuk
menjawab tantangan – tantangan atau untuk mencapai tujuan-tujuan yang secara
tipologis dapat dibedakan ke dalam lima tipe :
1.
Tantangan
yang bersifat politik, terutama yang terkait dengan regional questions.
Pengaturan asimetris ditempuh sebagai strategi kebijakan untuk mempertahankan
batas wilayah kekuasaan unit politik (basic
boundaries) suatu negara. Rancangan desentralisasi asimetris atau federasi
asimetris dengan motivasi politis ini adalah yang paling luas ditemukan dalam
pengalaman di berbagai negara, dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda di
setiap negara.
2.
Sebagai
instrumen kebijakan untuk mengakomodasi keunikan budaya dan perbedaan alur
kesejarahan, termasuk dalam kerangka perlindungan kaum minoritas dan manajemen
konflik.
3.
Kebijakan
untuk menjembatani tantangan yang bercorak teknokratik managerial, yakni keterbatasan
kapasitas suatu daerah atau suatu wilayah dalam menjalankan fungsi dasar
pemerintahan. Hal ini muncul ketika daerah tidak mampu menyampaikan atau
menyediakan pelayanan public secara memadai dan efisien sebagaimana daerah lain
yang berada di level yang sama. Pendekatan asimetris memungkinkan pejabat
pemerintah yang berwenang di tingkat nasional memaksimalkan rentang fungsi dan
kekuasaannya. Rentang fungsi dan
kekuasaan ini bisa dibatasi dikemudian hari apabila telah terbangun kapasitas
yang cukup memadai. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi terhadap kapasitas
daerah. Penerapan desentralisasi
asimetris karena argumen ini boleh jadi sangat relevan untuk Indonesia saat
ini, terutama jika berbagai data dan informasi mengenai kegagalan pelayanan
public seiring dengan lahirnya daerah-daerah baru adalah benar.
4.
Kebijakan
yang dirancang untuk memperkuat kapasitas kompetitif sebuah negara bangsa dalam
kerangka persaingan global dan regional yang semakin keras.
5.
Kebijakan
yang dirancang sebagai instrumen untuk meminimalisasi resiko, misalnya bagi
kawasan-kawasan perbatasan yang mengandung resiko bagi keamanan negara dan
keutuhan teritorial negara bangsa, kawasan
dengan resiko pengulangan bencana yang tinggi ataupun kawasan dengan siklus
rawan pangan yang ajeg.
Di Indonesia penerapan asymetrical decentralization bukan
merupakan pengalaman baru. Aceh dan Papua adalah contoh tipikal dari penerapan
prinsip ini guna menjawab terus menguatnya “regional questions” di dua
kawasan panas ini. Sementara Yogyakarta, merupakan contoh penting dari
penggunaan instrumen kebijakan asymetrical decentralization sebagai instrumen
untuk mengakomodasi, melindungi, mengapresiasi, memberikan ruang bagi
eksistensi keunikan kultur dan sejarah.
Literatur
Cheema, Rondinelli. Decentralization and Development:
Policy Implementation in Developing Countries, chapter 1, 2. Sage
Publications.
Smith, B.C.. Decentralization: The Teritorial
Dimension of The State, chapter 1, 2.
Alderfer,
Harold F. Local
Government in Developing Countries, McGraw-Hill Book
Company, 1964
Bennett, Robert, Local Government and Market
Decentralization: Experiences in Industrialized, Developing and Former Eastern
Bloc Countries, chapter 1,2, United Nations University Press,1994.
Mawhood, Philip, Local Government in The Third World:
The Experience of Tropical Africa, chapter 1, John Wiley & sons,1995.
Boone, Chaterine, Decentralization as Political
Strategy in West Africa dalam Comparative Political Studies, vol 36, Sage Publications,
2003.
Teori Desentralisasi, kumpulan makalah studi kasus. Perpustakaan S2 Politik Lokal dan Otonomi
Daerah.mengakomodasi, melindungi, mengapresiasi, memberikan ruang bagi
eksistensi keunikan kultur dan sejarah.
Literatur
Cheema, Rondinelli. Decentralization and Development:
Policy Implementation in Developing Countries, chapter 1, 2. Sage
Publications.
Smith, B.C.. Decentralization: The Teritorial
Dimension of The State, chapter 1, 2.
Alderfer,
Harold F. Local
Government in Developing Countries, McGraw-Hill Book
Company, 1964
Bennett, Robert, Local Government and Market
Decentralization: Experiences in Industrialized, Developing and Former Eastern
Bloc Countries, chapter 1,2, United Nations University Press,1994.
Mawhood, Philip, Local Government in The Third World:
The Experience of Tropical Africa, chapter 1, John Wiley & sons,1995.
Boone, Chaterine, Decentralization as Political
Strategy in West Africa dalam Comparative Political Studies, vol 36, Sage Publications,
2003.
Teori Desentralisasi, kumpulan makalah studi kasus. Perpustakaan S2 Politik Lokal dan Otonomi
Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar