Pengeluaran Pemerintah
Oleh:
Kelompok 11
IPM (I-B)
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA
KUPANG
2015
NAMA-NAMA KELOMPOK :
1. MANFRED NABUASA
2. BERNADINO DERU
3. NATANAEL AIRSYAH
4. FELISIANUS KIABENI
5. GREGORIUS FORBIYANTO
6. ANTONIUS PEHAN BOLI
PEMBAHASAN
5 W + 1 H :
v What : apa
ü APA yang dimaksud dengan pengeluaran pemerintah
Pengeluaran Pemerintah (goverment expenditure) adalah bagian dari kebijakan fiskal (Sadono Sukirno, 2000), yaitu suatu tindakan pemerintah untuk mengatur jalannya perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran pemerintah setiap tahunnya, yang tercermin dalam dokumen Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk nasional dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk daerah atau regional. Tujuan dari kebijakan fiskal ini adalah dalam rangka menstabilkan harga, tingkat output, maupun kesempatan kerja dan memacu atau mendorong pertumbuhan ekonomi.
Menurut pendapat Keynes dalam Sadono Sukirno (2000) bahwa peranan atau campur tangan pemerintah masih sangat diperlukan yaitu apabila perekonomian sepenuhnya diatur olah kegiatan di pasar bebas, bukan saja perekonomian tidak selalu mencapai tingkat kesemptan kerja penuh tetapi juga kestabilan kegiatan ekonomi tidak dapat diwujudkan. Akan tetapi fluktuasi kegiatan ekonomi yang lebar dari satu periode ke periode lainnya dan ini akan menimbulkan implikasi yang serius kepada kesempatan kerja dan pengangguran dan tingkat harga.
Menurut Guritno (1999), Pengeluaran Pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut.Teori mengenai pengeluaran pemerintah dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu teori makro dan teori mikro.Dalam penelitian ini mengedepankan teori dari sisi makro.Teori makro mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah dikemukakan oleh para ahli ekonomi dan dapat digolongkan ke dalam tiga golongan, yaitu model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah, hukum Wagner mengenai perkembangan aktivitas pemerintah, teori Peacock dan Wiseman.
v WHO : Siapakah ?
ü SIAPAkah yang terlibat dalam komponen pengeluaran Negara
a.Pemerintah Pusat Dalam pemerintah pusat, terdapat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu dana yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam APBN, pengeluaran Pemerintah Pusat dibedakan menjadi 2 yang meliputi pengeluaran untuk belanja dan pengeluaran untuk pembiayaan. Pengeluaran untuk belanja antara lain digunakan untuk belanja pemerintah pusat seperti, belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dll. Juga untuk dialokasikan ke daerah untuk dana perimbangan serta dana otonomi khusus dan penyesuaian. Sedangkan pengeluaran untuk pembiayaan meliputi pengeluaran untuk obligasi pemerintah, pembayaran pokok pinjaman luar negeri, dll.
b.Pemerintah Provinsi Jika pada pemerintah pusat terdapat APBN, maka di pemerintah propinsi terdapat APBD yang merupakan hasil dari dana alokasi APBN dari pemerintah pusat dan hasil dari pungutan pajak dari masyarakat. Dana APBN digunakan untuk pengeluaran untuk belanja meliputi belanja operasi dan belanja modal. Belanja operasi berupa belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, belanja pinjaman, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, dan belanja operasi lainnya. Sedangkan belanja modal seperti belanja aset tetap, belanja aset lain-lain, dan belanja tak terduga.
c.Pemerintah Kabupaten/Kota APBD dalam Kabupaten/Kota digunakan antara lain untuk pengeluaran untuk belanja, bagi hasil pendapatan ke Desa/Kelurahan, Bagi hasil pendapatan ke desa/kelurahan, terdiri dari bagi hasil pajak ke Desa/Kelurahan, bagi hasil retribusi ke Desa/Kelurahan, bagi hasil pendapatan lainnya ke Desa/Kelurahan, pengeluaran untuk Pembiayaan, terdiri dari, pembayaran Pokok Pinjaman, penyertaan modal pemerintah, pemberian pinjaman kepada BUMD/BUMN/Pemerintah Pusat/Kepala Daerah otonom lainnya.
v Why : MENGAPA
ü Menagapa harus ada pengeluaran pemerintah ?
Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi investasi swasta sudah semakin membesar.Peranan pemerintah tetap besar dalam tahap menengah, oleh karena peranan swasta yang semakin besar ini banyak menimbulkan kegagalan pasar, dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang banyak dan kualitas yang lebih baik.
Selain itu, pada tahap ini perekembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor semakin rumit.Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri, menimbulkan semakin tingginya tingkat pencemaran udara dan air, dan pemerintah harus turun tangan untuk mengatur dan mengurangi akibat negatif dari polusi itu terhadap masyarakat.Pemerintah juga harus melindungi buruh yang berada dalam posisi yang lemah agar dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap GDP semakin besar dan persentasi investasi pemerintah dalam persentasi terhadap GNP akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, Rostow menyatakan bahwa pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaranpengeluaran untuk aktivitas sosial seperti halnya program kesejahteraan hari tua, program pelayanan kesehatan masyarakat dan sebagainya.
v When : Kapan ?
ü Kapan terjadiya Penurunan defisit & Penyebabnya Implikasinya
Adapun faktor penyebab terjadinya pembengkakan pengeluaran negara salah satunya karena tingginya tingkat pembangunan ekonomi, sehingga pengeluaran meningkat dengan cepat, sedangkan laju pertumbuhan penerimaan yang tidak diharapkan atau laju penerimaan yang tidak stabil. Penyebab defisit bisa muncul dalam kondisi krisis ekonomi, karena keadaan ini akan berimbas kepada anggaran negara. Dalam keadaan krisis akan memaksa pemerintah untuk mengadakan pengeluaran ekstra untuk memperbaiki keadaan ekonomi (pemulihan ekonomi). Oleh karena itu, ekspansi anggaran akan memacu pertumbuhan ekonomi, dengan demikian dapat dikatakan penyerapan dan efektivitasnya merupakan masalah krusial.
Anggaran negara dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi belanja negara dan sisi pendapatan. Dalam dua tahun anggaran dapat dilihat komposisi anggaran yang dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2015 belanja ditetapkan Rp 1.984,1 triliun. Jumlah itu lebih tinggi Rp 107,3 triliun dibandingkan dengan APBN Perubahan (APBN-P) 2014 sebesar Rp 1,876,8 triliun. APBN-P 2015 defisit direncanakan Rp 222,5 triliun, turun dibandingkan dengan APBN 2014 defisit sebesar 241,5 triliun.
Penurunan defisit dapat terjadi penerimaan negara meningkat lebih besar dibandingkan dengan perkiraan perubahan dari sisi pengeluaran. Adapun menyebab rendahnya pengeluaran: pertama, tertundanya penyelesaian anggaran; kedua, rendahnya pembiayaan subsidi dan pembayaran bunga utang luar negeri yang diikuti dengan lebih cepatnya apresiasi rupiah; tertundanya beberapa penarikan pinjaman luar negeri; keempat, terlambatnya otorisasi pembelanjaan dana-dana proyek.
Dalam APBN 2014 kebijakan defisit masih dipertahankan sebagai kebijakan anggaran seperti tersebut di atas ditetapkan sebesar Rp241,5 triliun, tetapi dalam pelaksanaannya defisit berubah menjadi Rp227,4 triliun atau turun sebesar Rp14,1 triliun. Penurunan ini antara lain disebabkan subsidi BBM lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan perubahan pada sisi pengeluaran.
Kemudian pada pemerintahan Joko Widodo, kebijakan defisit anggaran 2015 masih dipertahankan, yakni dengan menetapkan defisit sebesar Rp222,5 triliun.
Implikasinya
Sebagaimana di katakan di atas, bahwa defisit terjadi karena pengeluaran anggaran lebih besar dari penerimaan. Dari aspek pengeluaran defisit anggaran dapat terjadi karena adanya penerapan kebijakan utang luar negeri, namun demikian harus dapat mengelola utang dengan baik, kalau tidak, akan dengan sengaja pemerintah mengabaikan generasi mendatang.
Dalam manajemen pengeluaran juga terkait pengelolaan utang luar negeri yang ditujukan untuk melihat efektifitas penggunaannya lewat pembiayaan sektor-sektor produktif. Adapun dengan konsep pengelolaan utang akan terkait aspek makro ekonomi, seperti nilai tukar, inflasi dan variabel moneter lainnya yang ikut menentukan besarnya volume hutang suatu negara.
Sedangkan dalam hal penerimaan negara dijadikan alat pengimbang pengeluaran (menekan defisit anggaran sekecil mungkin). Penerimaan ini haruslah berupa akumulasi penerimaan yang netral. Adapun kebijakan yang netral yang dimaksud adalah kebijakan perpajakan. Sehingga kebijakan perpajakan diarahkan untuk meningkatkan penerimaan. Salah satu cara meningkatkan penerimaan pajak melalui peningkatan sumber daya manusia (fiskus) pegawai pajak.
Di sisi lain peningkatan penerimaan pemerintah melalui pajak sudah menjadi keharusan mengingat tax ratio yang masih rendah. Kebijakan perpajakan diarahkan untuk meningkatkan penerimaan perpajakan lewat ekstensifikasi dan intensifikasi. Penerimaan negara dari pajak ini, memang masih sangat potensial untuk ditingkatkan terutama setelah diaktifkan/difokuskan lembaga penyanderaan, namun perlu didukung dengan pengawasan yang ketat. Di samping itu, faktor utama yang perlu diperhatikan adalah menjaga kestabilan ekonomi. Penerimaan pajak tergantung pada pertumbuhan ekonomi, kalau ekonomi tumbuh/meningkat maka pajak akan meningkat. Di samping itu juga, secara umum, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menciptakan lapangan kerja guna mengatasi pengangguran dan mengurangi kemiskinan.
Oleh karena itu, secara teori peningkatan defisit dilakukan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, dalam jangka panjang defisit anggaran akan tetap memberikan dorongan untuk pertumbuhan ekonomi sebanyak mungkin, asal bukan untuk pembayaran rutin, utang, atau pembayaran bunga obligasi.
v Where : Dimana ?
ü Dimanakah yang terdapat Penerapan anggaran berbasis kinerja &kelemahan dari aggaran berbasis kinerja
Penerapan anggaran berbasis kinerja pada instansi pemerintah di Indonesia sudah dicanangkan melalui pemberlakuan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan diterapkan secara bertahap mulai tahun anggaran 2005. Pemerintah pun telah mengeluarkan PP No 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan PP No 21/2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) sebagai operasionalisasi kebijakan penganggaran kinerja. Bahkan, Departemen Keuangan telah mengatur lebih rinci penerapan penganggaran kinerja dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 54/PMK.02/2005 dan membangun aplikasi program komputer RKA-KL.
Memang, kementerian/lembaga sudah menggunakan aplikasi program tersebut dalam penyusunan anggaran mulai tahun anggaran 2005. Tetapi, apakah kinerja benar-benar telah menjadi basis dalam penyusunan anggaran dengan format RKA-KL tersebut? Rasanya masih jauh dari harapan. Saat ini, format RKA-KL baru sekadar menempelkan nama program, kegiatan dan sub kegiatan dalam dokumen anggaran, namun substansi ukuran kinerjanya belum nampak dan proses penyusunannya belum sesuai dengan prinsip-prinsip penganggaran kinerja. Bahkan, banyak kementrian/lembaga yang mengeluh bahwa anggaran kinerja cenderung njelimet dan tidak fleksibel yang terkadang menghambat kelancaran proses pencairan anggaran. Hal ini sangat jauh dari esensi anggaran kinerja yang mengaitkan kinerja dengan anggaran, menjanjikan fleksibilitas dalam pelaksanaan anggaran, memberikan kebebasan dalam mengelola sumber daya (let’s the managers manage), dan memiliki mekanisme pelaporan yang dapat memberikan umpan balik untuk peningkatan kinerja. Kalau demikian, apa yang salah dengan penganggaran kinerja pada kementerian/lembaga?
MASIH BANYAK KELEMAHAN
Anggaran berbasis kinerja merupakan sistem perencanaan, penganggaran dan evaluasi yang menekankan pada keterkaitan antara anggaran dengan hasil yang diinginkan. Penerapan penganggaran kinerja harus dimulai dengan perencanaan kinerja, baik pada level nasional (pemerintah) maupun level instansi (kementerian/lembaga), yang berisi komitmen tentang kinerja yang akan dihasilkan, yang dijabarkan dalam program-program dan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan. Setiap instansi selanjutnya menyusun kebutuhan anggaran berdasarkan program dan kegiatan yang direncanakan dengan format RKA-KL, yang selanjutnya dibahas dengan otoritas anggaran (Departemen Keuangan, Bappenas, dan DPR). RKA-KL dari keseluruhan kementerian/lembaga menjadi bahan penyusunan RAPBN bagi pemerintah.
Dalam praktik, masih banyak dijumpai kelemahan sejak perencanaan kinerja, proses penyusunan dan pembahasan anggaran sampai dengan penuangannya dalam format-format dokumen anggaran (RKA-KL dan APBN). Meski pemerintah telah memiliki RKP, namun RKP ini hanya merupakan kompilasi berbagai usulan program kementrian/lembaga dengan indikator yang juga beragam yang menjadikan Bappenas mengalami kesulitan untuk merumuskan indikator kinerja nasional. Jangan berharap di dalam RKP dapat dijumpai dengan jelas apa kinerja yang spesifik dan terukur yang akan dihasilkan dari program-program pemerintah, siapa saja instansi yang bertanggung jawab dan bagaimana kontribusi masing-masing instansi untuk mewujudkan kinerja. Kalaupun dalam RKP tercantum sasaran kinerja program, biasanya dirumuskan dalam bahasa ‘langit’ yang muluk-muluk, tidak jelas bagaimana mengukurnya dan berapa target yang harus dicapai. Misalnya, sasaran Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara yang dirumuskan dalam RKP adalah terwujudnya sistem pengawasan dan audit yang akuntabel di lingkungan aparatur negara. Apa kriteria akuntabel, bagaimana mengukur serta berapa targetnya tidak jelas. Ketidakjelasan perencanaan kinerja pada level nasional berlanjut pada ketidakjelasan rencana kinerja (Renja) masing-masing kementrian/lembaga. Penamaan program dan kegiatan instansi juga belum menunjukkan core business dari kementerian/lembaga karena masih banyak terpengaruh oleh penamaan program dan proyek versi lama atau versi Daftar Isian Proyek (DIP). Banyak nama program yang bersifat generik seperti Program Peningkatan Sarana dan Prasarana, Program Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur, serta Program Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan, yang terdapat pada hampir seluruh instansi. Untuk program yang sama, tiap instansi mendefinisikan sendiri-sendiri apa sasaran programnya, yang kemungkinan besar berbeda-beda yang pada akhirnya menyulitkan pendefinisian ukuran kinerja nasional untuk program tersebut. Program-progran pemerintah dan program-program masing-masing kementerian/lembaga belum terstruktur dengan baik sehingga sulit dipetakan keterkaitannya.
Dari sisi proses penyusunan anggaran, formulir-formulir RKA-KL (formulir 1.1 s.d formulir 3.4), ternyata tidak mendorong kementerian/lembaga untuk menyatakan kinerjanya, baik kinerja hasil (outcome) program maupun keluaran (output) kegiatan. Formulir-formulir RKA-KL justru mengharuskan kementerian/lembaga melakukan perhitungan detil anggaran per kegiatan, sub kegiatan, jenis belanja, dan mata anggaran yang akhirnya berdampak pada penganggaran yang sangat rinci dan kaku (rigid). Informasi mengenai hasil program dan keluaran kegiatan sangat minim dalam formulir RKA-KL, apalagi mengenai targetnya. Dalam formulir 1.1, definisi indikator hasil program hanya dinyatakan secara naratif dan kualitatif (tanpa target), sementara indikator keluaran untuk kegiatan tidak ada. Yang muncul adalah satuan-satuan keluaran secara rinci per sub-sub kegiatan , misalnya untuk perjalanan dinas dengan ‘Orang Hari (OH)’, untuk pengadaan barang dengan satuan ‘paket’, untuk penyelenggaraan rapat dengan satuan ‘kali’ dan sebagainya. Sedangkan dalam formulir 1.5 kementerian/lembaga diminta membuat perhitungan anggaran per kegiatan seperti mengisi Lembaran Kerja pada masa lalu yang masih berorientasi kepada input, terinci per sub kegiatan, jenis belanja dan mata anggaran dengan mengalikan volume kegiatan dengan harga satuannya. Jadilah RKA-KL sebagai dokumen yang berisi deretan angka-angka perhitungan aritmatis anggaran. Dari format RKA-KL nyaris tidak terbaca kinerja apa yang akan dihasilkan dari penggunaan anggaran untuk program dan kegiatan yang diusulkan. Rasanya sangat sulit untuk mengharapkan adanya indikator yang memenuhi kriteria SMART (spesific, measurable, achievable, relevan & time-bound) dalam anggaran (RKA-KL), bila tidak dilakukan perubahan pola perencanaan kinerja dan penyempurnaan format RKA-KL.
Kondisi ini juga diperparah dengan belum adanya standar biaya (SB) dan standar pelayanan minimal (SPM). PP No. 21/2004 mensyaratkan perlunya standar biaya dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja, baik standar biaya umum yang harus disusun oleh Menteri Keuangan maupun standar biaya khusus per program dan kegiatan yang harus disusun oleh masing-masing kementerian/lembaga. Standar biaya umum yang ada sekarang masih berorientasi kepada input, misalnya uang lauk pauk per orang per hari, honor panitia pengadaan per orang/bulan, pengadaan inventaris kantor per orang/tahun. Sebagian besar kementerian/lembaga masih mengalami kesulitan dalam menyusun harga standar biaya khusus per kegiatan dan program, karena tidak didukung oleh data base, sistem akuntansi dan pencatatan yang baik. Ketiadaan standar biaya mengakibatkan penyusunan anggaran per program dan kegiatan menjadi beragam sehingga sulit diukur efisiensinya. Terkait dengan standar pelayanan minimal, saat ini baru tujuh departemen yang memilikinya, yaitu Departemen Pendidikan Nasional, Kesehatan, Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan, Perhubungan, Koperasi/UKM, dan Pemberdayaan Perempuan. Padahal standar pelayanan minimal seharusnya menjadi acuan awal dalam menentukan kinerja yang harus dihasilkan.
Yang lebih menyedihkan lagi, kinerja belum dijadikan dasar alokasi dan acuan pembahasan anggaran di pemerintah maupun DPR. Pola pembahasan masih menggunakan pola lama, dengan penentuan alokasi lebih banyak didasarkan pada alokasi tahun sebelumnya. Belum banyak anggota DPR yang concern dengan anggaran kinerja dan mempertanyakan masalah kinerja pada saat membahas anggaran. Hal ini sebagian karena keterbatasan kemampuan anggota DPR dan sebagian karena adanya ketimpangan informasi (asymmetry information). Ketimpangan informasi selain terjadi karena data perencanaan kinerja (Renja) dan pelaporan kinerja (LAKIP) tidak sampai ke tangan DPR, juga karena format RKA-KL yang dibahas dengan DPR tidak mampu berbicara mengenai kinerja yang akan dihasilkan. Dari perencanaan kinerja yang tidak jelas, kemudian ditambah penyusunan RKA-KL dan pembahasan anggaran yang belum mengacu kepada kinerja, dapat dibayangkan apa yang tertuang dalam dokumen anggaran nasional (APBN) dan DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran). Struktur APBN tahun 2005 dan 2006 tidak berbeda dengan struktur sebelumnya yang disusun berdasarkan penganggaran line item, yaitu dirinci berdasarkan pendapatan, pengeluaran, dan pembiayaan anggaran. Pengeluaran dirinci atas dasar klasifikasi organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Sama sekali tidak tercantum informasi mengenai indikator dan target kinerja per program.
Memang, kementerian/lembaga sudah menggunakan aplikasi program tersebut dalam penyusunan anggaran mulai tahun anggaran 2005. Tetapi, apakah kinerja benar-benar telah menjadi basis dalam penyusunan anggaran dengan format RKA-KL tersebut? Rasanya masih jauh dari harapan. Saat ini, format RKA-KL baru sekadar menempelkan nama program, kegiatan dan sub kegiatan dalam dokumen anggaran, namun substansi ukuran kinerjanya belum nampak dan proses penyusunannya belum sesuai dengan prinsip-prinsip penganggaran kinerja. Bahkan, banyak kementrian/lembaga yang mengeluh bahwa anggaran kinerja cenderung njelimet dan tidak fleksibel yang terkadang menghambat kelancaran proses pencairan anggaran. Hal ini sangat jauh dari esensi anggaran kinerja yang mengaitkan kinerja dengan anggaran, menjanjikan fleksibilitas dalam pelaksanaan anggaran, memberikan kebebasan dalam mengelola sumber daya (let’s the managers manage), dan memiliki mekanisme pelaporan yang dapat memberikan umpan balik untuk peningkatan kinerja. Kalau demikian, apa yang salah dengan penganggaran kinerja pada kementerian/lembaga?
MASIH BANYAK KELEMAHAN
Anggaran berbasis kinerja merupakan sistem perencanaan, penganggaran dan evaluasi yang menekankan pada keterkaitan antara anggaran dengan hasil yang diinginkan. Penerapan penganggaran kinerja harus dimulai dengan perencanaan kinerja, baik pada level nasional (pemerintah) maupun level instansi (kementerian/lembaga), yang berisi komitmen tentang kinerja yang akan dihasilkan, yang dijabarkan dalam program-program dan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan. Setiap instansi selanjutnya menyusun kebutuhan anggaran berdasarkan program dan kegiatan yang direncanakan dengan format RKA-KL, yang selanjutnya dibahas dengan otoritas anggaran (Departemen Keuangan, Bappenas, dan DPR). RKA-KL dari keseluruhan kementerian/lembaga menjadi bahan penyusunan RAPBN bagi pemerintah.
Dalam praktik, masih banyak dijumpai kelemahan sejak perencanaan kinerja, proses penyusunan dan pembahasan anggaran sampai dengan penuangannya dalam format-format dokumen anggaran (RKA-KL dan APBN). Meski pemerintah telah memiliki RKP, namun RKP ini hanya merupakan kompilasi berbagai usulan program kementrian/lembaga dengan indikator yang juga beragam yang menjadikan Bappenas mengalami kesulitan untuk merumuskan indikator kinerja nasional. Jangan berharap di dalam RKP dapat dijumpai dengan jelas apa kinerja yang spesifik dan terukur yang akan dihasilkan dari program-program pemerintah, siapa saja instansi yang bertanggung jawab dan bagaimana kontribusi masing-masing instansi untuk mewujudkan kinerja. Kalaupun dalam RKP tercantum sasaran kinerja program, biasanya dirumuskan dalam bahasa ‘langit’ yang muluk-muluk, tidak jelas bagaimana mengukurnya dan berapa target yang harus dicapai. Misalnya, sasaran Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara yang dirumuskan dalam RKP adalah terwujudnya sistem pengawasan dan audit yang akuntabel di lingkungan aparatur negara. Apa kriteria akuntabel, bagaimana mengukur serta berapa targetnya tidak jelas. Ketidakjelasan perencanaan kinerja pada level nasional berlanjut pada ketidakjelasan rencana kinerja (Renja) masing-masing kementrian/lembaga. Penamaan program dan kegiatan instansi juga belum menunjukkan core business dari kementerian/lembaga karena masih banyak terpengaruh oleh penamaan program dan proyek versi lama atau versi Daftar Isian Proyek (DIP). Banyak nama program yang bersifat generik seperti Program Peningkatan Sarana dan Prasarana, Program Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur, serta Program Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan, yang terdapat pada hampir seluruh instansi. Untuk program yang sama, tiap instansi mendefinisikan sendiri-sendiri apa sasaran programnya, yang kemungkinan besar berbeda-beda yang pada akhirnya menyulitkan pendefinisian ukuran kinerja nasional untuk program tersebut. Program-progran pemerintah dan program-program masing-masing kementerian/lembaga belum terstruktur dengan baik sehingga sulit dipetakan keterkaitannya.
Dari sisi proses penyusunan anggaran, formulir-formulir RKA-KL (formulir 1.1 s.d formulir 3.4), ternyata tidak mendorong kementerian/lembaga untuk menyatakan kinerjanya, baik kinerja hasil (outcome) program maupun keluaran (output) kegiatan. Formulir-formulir RKA-KL justru mengharuskan kementerian/lembaga melakukan perhitungan detil anggaran per kegiatan, sub kegiatan, jenis belanja, dan mata anggaran yang akhirnya berdampak pada penganggaran yang sangat rinci dan kaku (rigid). Informasi mengenai hasil program dan keluaran kegiatan sangat minim dalam formulir RKA-KL, apalagi mengenai targetnya. Dalam formulir 1.1, definisi indikator hasil program hanya dinyatakan secara naratif dan kualitatif (tanpa target), sementara indikator keluaran untuk kegiatan tidak ada. Yang muncul adalah satuan-satuan keluaran secara rinci per sub-sub kegiatan , misalnya untuk perjalanan dinas dengan ‘Orang Hari (OH)’, untuk pengadaan barang dengan satuan ‘paket’, untuk penyelenggaraan rapat dengan satuan ‘kali’ dan sebagainya. Sedangkan dalam formulir 1.5 kementerian/lembaga diminta membuat perhitungan anggaran per kegiatan seperti mengisi Lembaran Kerja pada masa lalu yang masih berorientasi kepada input, terinci per sub kegiatan, jenis belanja dan mata anggaran dengan mengalikan volume kegiatan dengan harga satuannya. Jadilah RKA-KL sebagai dokumen yang berisi deretan angka-angka perhitungan aritmatis anggaran. Dari format RKA-KL nyaris tidak terbaca kinerja apa yang akan dihasilkan dari penggunaan anggaran untuk program dan kegiatan yang diusulkan. Rasanya sangat sulit untuk mengharapkan adanya indikator yang memenuhi kriteria SMART (spesific, measurable, achievable, relevan & time-bound) dalam anggaran (RKA-KL), bila tidak dilakukan perubahan pola perencanaan kinerja dan penyempurnaan format RKA-KL.
Kondisi ini juga diperparah dengan belum adanya standar biaya (SB) dan standar pelayanan minimal (SPM). PP No. 21/2004 mensyaratkan perlunya standar biaya dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja, baik standar biaya umum yang harus disusun oleh Menteri Keuangan maupun standar biaya khusus per program dan kegiatan yang harus disusun oleh masing-masing kementerian/lembaga. Standar biaya umum yang ada sekarang masih berorientasi kepada input, misalnya uang lauk pauk per orang per hari, honor panitia pengadaan per orang/bulan, pengadaan inventaris kantor per orang/tahun. Sebagian besar kementerian/lembaga masih mengalami kesulitan dalam menyusun harga standar biaya khusus per kegiatan dan program, karena tidak didukung oleh data base, sistem akuntansi dan pencatatan yang baik. Ketiadaan standar biaya mengakibatkan penyusunan anggaran per program dan kegiatan menjadi beragam sehingga sulit diukur efisiensinya. Terkait dengan standar pelayanan minimal, saat ini baru tujuh departemen yang memilikinya, yaitu Departemen Pendidikan Nasional, Kesehatan, Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan, Perhubungan, Koperasi/UKM, dan Pemberdayaan Perempuan. Padahal standar pelayanan minimal seharusnya menjadi acuan awal dalam menentukan kinerja yang harus dihasilkan.
Yang lebih menyedihkan lagi, kinerja belum dijadikan dasar alokasi dan acuan pembahasan anggaran di pemerintah maupun DPR. Pola pembahasan masih menggunakan pola lama, dengan penentuan alokasi lebih banyak didasarkan pada alokasi tahun sebelumnya. Belum banyak anggota DPR yang concern dengan anggaran kinerja dan mempertanyakan masalah kinerja pada saat membahas anggaran. Hal ini sebagian karena keterbatasan kemampuan anggota DPR dan sebagian karena adanya ketimpangan informasi (asymmetry information). Ketimpangan informasi selain terjadi karena data perencanaan kinerja (Renja) dan pelaporan kinerja (LAKIP) tidak sampai ke tangan DPR, juga karena format RKA-KL yang dibahas dengan DPR tidak mampu berbicara mengenai kinerja yang akan dihasilkan. Dari perencanaan kinerja yang tidak jelas, kemudian ditambah penyusunan RKA-KL dan pembahasan anggaran yang belum mengacu kepada kinerja, dapat dibayangkan apa yang tertuang dalam dokumen anggaran nasional (APBN) dan DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran). Struktur APBN tahun 2005 dan 2006 tidak berbeda dengan struktur sebelumnya yang disusun berdasarkan penganggaran line item, yaitu dirinci berdasarkan pendapatan, pengeluaran, dan pembiayaan anggaran. Pengeluaran dirinci atas dasar klasifikasi organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Sama sekali tidak tercantum informasi mengenai indikator dan target kinerja per program.
v HOW : Bagaimana
ü Bagaimanakah teori mengenai pengeluaran pemerintah dari beberapa ekonom ataupun pemikir sosial lainnya ?
Musgrave dan Rostow menyatakan perkembangan pengeluaran negara sejalan dengan tahap perkembangan ekonomi dari suatu negara. Pada tahap awal perkembangan ekonomi diperlukan pengeluaran negara yang besar untuk investasi pemerintah, utamanya untuk menyediakan infrastruktur seperti sarana jalan, kesehatan, pendidikan, dll. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi tetap diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, namun diharapkan investasi sektor swasta sudah mulai berkembang. Pada tahap lanjut pembangunan ekonomi, pengeluaran pemerintah tetap diperlukan, utamanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, misalnya peningkatan pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dsb.
Wagner menyatakan berdasarkan pengamatan dari negara-negara maju, disimpulkan bahwa dalam perekonomian suatu negara, pengeluaran pemerintah akan meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita negara tersebut. Di negara-negara maju, kegagalan pasar bisa saja terjadi, menimpa industri-industri tertentu dari negara tersebut. Kegagalan dari suatu industri dapat saja merembet ke industri lain yang saling terkait. Di sini diperlukan peran pemerintah untuk mengatur hubungan antara masyarakat, industri, hukum, pendidikan, dll
Peacock dan Wiseman menyatakan bahwa kebijakan pemerintah untuk menaikkan pengeluaran negara tidak disukai oleh masyarakat, karena hal itu berarti masyarakat harus membayar pajak lebih besar. Masyarakat mempunyai sikap toleran untuk membayar pajak sampai pada suatu tingkat tertentu. Apabila pemerintah menetapkan jumlah pajak di atas batas toleransi masyarakat, ada kecenderungan masyarakat untuk menghindar dari kewajiban membayar pajak. Sikap ini mengakibatkan pemerintah tidak bisa semena-mena menaikkan pajak yang harus dibayar masyarakat. Dalam kondisi normal, dengan berkembangnya perekonomian suatu negara akan semakin berkembang pula penerimaan negara tersebut, walaupun pemerintah tidak menaikkan tarif pajak. Peningkatan penerimaan negara akan memicu peningkatan pengeluaran dari negara tersebut.
Referensi:
1. http://abstraksiekonomi.blogspot.co.id/2013/11/teori-pengeluaran-pemerintah.html
3. https://www.academia.edu/5437502/MODUL_EKONOMI_PUBLIK_BAGIAN_V_TEORI_PENGELUARAN_PEMERINTAH
6. http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?contentId=97
Tidak ada komentar:
Posting Komentar