BAB II
POLITIK SENTRALISASI ,
DEKONSENTRASI DAN VRIJ
BESTUUR
A.
Pengantar
Lipson dalam Lay, (2008) mengemukakan
“five great issues” dalam proses politik, dimana masing-masing
masalah itu merupakan pilihan diantara dua alternatif yang saling bertolak
belakang dan melahirkan konsekuensi yang berbeda. Satu dari 5 persoalan atau
pertanyaan politik yang bersifat permanen dan krusial itu adalah pilihan
di antara apakah kekuasaan harus dipusatkan ataukah didistribusikan. Pilihan
yang dijatuhkan pada salah satunya itu nantinya sangat menentukan format
pengaturan hubungaan antara pusat dan daerah-daerah dalam satu negara, yakni
apakah centralization ataukah local authonomy (decentralizatiton).
B. Asas – Asas Penyelenggaraan
Pemerintahan
Dalam
penyelenggaraan pemerintahan dikenal beberapa prinsip atau asas, antara lain adalah
sentralisasi, desentralisasi, dekonsentarsi,
konsentrasi, tugas pembatuan/ medebewind, dan vrij bestuur. Dalam bagian ini perhatian akan difokuskan pada asas
sentralisasi, dekonsentrasi dan vrij bestuur.
1. Sentralisasi
Sentralisasi merupakan salah satu pilihan yang banyak
ditemukan dalam pengalaman pengelolaan kekuasaan, terutama sebelum ide tentang
demokrasi menemukan momentumnya. Sentralisasi merupakan prinsip penyelenggaraan
pemerintahan di mana kekuasaan terpusat pada satu badan yang otoritatif yang
memegang segala wewenang dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan. Sebagai
contohnya Indonesia di bawah pendudukan Inggris dan Perancis, kolonialisme
Belanda dan pendudukan Jepang (dengan diberlakukannya Osamuseirei No.
27/1942), pemerintahan kolonial fase-fase tersebut adalah bercorak
sentralisasi. Kemudian di bawah kepemimpinan Soeharto, meskipun dibungkus
dengan asas dekonsentrasi, medebewind dan otonomi. Negara-negara bekas
komunis seperti Uni Soviet, Yugoslavia, Cina juga pernah menerapkan sistem
sentralisasi ini. Begitu juga dengan negara-negara di Asia Pasifik seperti
Jepang, Korea, Filipina, Thailand, Bangladesh, Nepal, Sri Lanka.
Dalam perkembangan modern, praktis tidak ada lagi negara
yang menjalankan sentralisasi secara penuh. Bahkan sejak masa lalu, usaha-usaha
untuk memodernisasi sentralisasi yang penuh sudah dilakukan. Di Unisoviet,
misalnya, usaha-usaha untuk memoderasi sentralisme telah dilakukan dengan pengadopsian
dan pelaksanaan ide pengalihan kekuasaan pada unit-unit yang lebih rendah,
sekalipun hanya berlangsung pada organisasi parastatal (semacam BUMN) dan bukan
organisasi politik. Unit-unit produksi yang lebih rendah diberi kewenangan
untuk menentukan quota produksi dalam lingkup wilayah kerja mereka yang
sebelumnya sepenuhnya ditentukan oleh Pusat.
Alasan-Alasan
Bagi Sentralisasi :
1. Alasan
Kultural Politik
Yaitu
menyangkut bagaimana cara pandang suatu masyarakat (dan elit) mengenai sifat
dan hakekat kekuasaan, yakni bahwa :
Ø Kekuasaan bersifat tetap (jumlah, kualitas, dan
sifat-sifatnya) dan abstrak.
Ø Hubungan kekuasaan dilihat dalam kerangka teori zero
sum-game dimana pengurangan atau penambahan kekuasaan pada satu pihak
(orang, kelompok, daerah) akan diikuti oleh penambahan atau pengurangan dengan
jumlah dan kualitas yang sama pada pihak (orang, kelompok, daerah) lain.
Contoh:
kerajaan-kerajaan konsentris dalam tradisi Jawa dan banyak kawasan Asia Tenggara yang dibangun di atas konsep
Raja-Dewa
2. Alasan
Ideologis
Yaitu menyangkut cara pandang mengenai hakekat masalah
dalam politik dan pemecahannya:
Ø Pada
dasarnya penguasaan atas sarana dan aset-aset produksi harus berada di tangan kolektif guna menjamin equality dan
hilangnya eksploitasi dan penindasan.
Ø Dalam
kerangka penyatuan aset dan sarana produksi ini, sentralisasi dilihat sebagai
metode yang efektif.
Ø Demikian
pula, perjuangan mencapai equality dan penghapusan eksploitas
membutuhkan penyatuan seluruh energi secara nasional untuk retribusi kembali.
Ø Posisi
ini menjadi posisi ideologis dari dan sekaligus praktek penyelenggaraan
pemerintahan di negara-negara blok komunis.
3. Alasan
Modernisasi
Yaitu menyangkut
kemajuan sebuah masyarakat sangat ditentukan oleh derajat modernisasi dalam
masyarakat yang bersangkutan:
Ø Negara-negara dunia ketiga dihadapkan pada
kesulitan-kesulitan :
(a) resources yang
terbatas
(b) SDM yang terbatas
(c) skills perencanaan
yang rendah
(d) keterbatasan penguasaan iptek dan kealpaan modal.
Ø
Karena
keterbatasan di atas, maka harus disentralkan sehingga menjadi kekuatan
kolektif yang cukup kuat untuk menangani persoalan-persoalan yang timbul.
Ø Sulit bagi sebuah negara untuk menyebarkan sumber-sumber
terbatas di atas karena efek yang ditimbulkan sangat terbatas. Sentralisasi
dilihat sebagai metode efektif untuk mengejar ketertinggalan negara-negara
dunia ketiga. Itulah sebabnya, muncul sistem perencanaan terpusat yang dalam
pengalaman Indonesia dihadirkan melalui pembentukan Bapennas.
Ø Rasionale di
balik teori trickle-down effect dan adanya sistem perencanaan nasional
(terpusat) – national atau central planning board -- adalah agar
sumber daya yang terbatas bisa disatukan dan memberikan efek yang besar dalam
mendorong perubahan dalam masyarakat.
Ø Gagasan modernisasi mulai muncul tahun 50-an, akan tetapi mencapai puncak
kejayaannya antara pertengahan tahun 1960-an hingga pertengahan 1980-an.
Ø Selama periode
ini, sangat sedikit negara yang tidak menerapkan prinsip sentralisasi,
sekalipun dengan derajat yang berbeda-beda, apalagi di negara-negara dunia
ketiga. Pengecualiaan hanya terbatas, semisal Tanzania di bawah Julius Nyirere
dengan konsep Ujamaa-nya
- Alasan
Politik
Yaitu menyangkut
kebutuhan untuk Nation and State Building :
Ø Negara-negara
dunia ketiga umumnya dibangun di atas konsep bangsa yang masih sangat mudah dan
rapuh, sementara di dalamnya telah hidup masyarakat yang sangat beragam yang
sudah sangat tua.
Ø Akibatnya,
negara menjadi sangat rapuh dihadapan masyarakat yang sudah sangat tua. Guna
mendapatkan posisi negara dan bangsa yang kuat yang diyakini sebagai alat
organisasional modern untuk memajukan masyarakat, maka sentralisasi digunakan oleh banyak negara
baru.
Ø Dengan kata lain sentralisasi merupakan metode politik
untuk mewujudkan nation and state building. Hal ini lebih menonjol lagi
di negara-negara majemuk dimana konflik antar kelompok kategori besar menjadi
ancaman kongkrit, kecenderungan cetrifugal kuat berkembang, dan ancaman
disintegrasi teritorial sangat kuat.
- Alasan
Sejarah
Ø Dalam
konteks seperti di atas, adanya kesatuan komando, penyatuan atau sentralisasi
energi, penyatuan kekuatan-kekuatan lokal ke dalam kesatuan nasional guna
menghadapi musuh bersama menjadi kebutuhan tak terhindarkan. Dalam konteks ini, sentralisasi menjadi pilihan yang tak
terhindarkan.
Ø Sejarah
banyak negara membuktikan bahwa selama masa-masa penjajahan, dan terutama pada
periode pergulatan untuk meredeka, otoritas politik lokal – kerajaan,
kesultanan, dan sebagainya, pada umumnya menjadi kekuatan yang berkolaborasi dengan
kekuatan penjajah. Akibatnya, muncul sentimen anti otoritas yang sangat kuat,
baik di kalangan masyarakat daerah apalagi di kalangan tokoh-tokoh pergerakan
nasional. Ini yang menyebabkan daerah akhirnya ditinggalkan, bahkan cenderungan
dimatikan dalam proses politik berikutnya.
Keuntungan
Sentralisasi:
1) Dapat menjadi alat dari kesatuan politik
atau masyarakat.
2) Mencegah timbulnya peluang untuk melepaskan
diri sebagai warga negara.
3)
Mempertahankan
konsistensi dalam perundang-undangan, pemerintahan dan kehakiman.
4)
Mengutamakan
kepentingan keseluruhan di atas kepentingan bagian-bagian.
5)
Pengumpulan
tenaga-tenaga yang tidak kuat menjadi suatu kekurangan yang berarti.
6)
Dalam keadaan tertentu dapat berefisiensi
lebih besar.
2. Dekonsentrasi
· Salah satu metode yang luas dipakai untuk melunakkan
sentralisasi adalah diintrodusir dan dipraktekannya dekonsentrasi sebagai
metode atau prinsip dalam pengelolaan
pemerintahan dan politik.
· Hubungan antara pusat dan daerah-daerah dikelola dengan
menggunakan dekonsentrasi dimana pelaksanaan kebijakan didelegasikan pada
daerah-daerah, sementara aspek penentuan kebijakan, pembiayaan dan pengawasan
tetap berada di tangan otoritas politik nasional.
Dekonsentrasi
Dalam Konsep
Menurut
Cheema dan Rondinelli, dekonsentrasi merupakan redistribution beberapa
kewenangan atau tanggungjawab administratif kepada tingkat di bawahnya dalam
pemerintah pusat (redistribution of administrative authority or responsibility
to lower levels within central government ministries and agencies – a shifting
of workload from centrally located officials to staff or offices outside
national capital). Dekonsentrasi melahirkan wilayah-wilayah administrative (field
administration).
Dari sifatnya, dekonsentrasi dibedakan menjadi 2 :
1. Dekonsentrasi
horizontal : Presiden yang sedang membagi-bagi kekuasaanya kepada para
menteri-menterinya disebut sebagai dekonsentrasi horizontal karena para menteri tersebut kedudukannya adalah
sama.
2. Dekonsentrasi vertikal : Misalnya dalam UU
No. 5/1974 dimana ada 3 tingkat wilayah administrative dengan Gubernur, Bupati
dan Camat sebagai kepalanya. Gubernur,
Bupati dan Camat kemudian memencarkan kewenangannya kepada perangkat-perangkat
di daerah. Inilah yang disebut sebagai dekonsentrasi vertikal karena
kedudukannya mereka adalah tidak sama/tidak sejajar.
Dekonsentrasi
vertikal dibedakan menjadi 2, yaitu :
1) Field
administration; kepada pejabat di lapangan diberi kekuasaan
untuk mengambil keputusan misalnya merencanakan, membuat keputusan-keputusan
rutin dan menyesuaikan pelaksanaan kebijaksanaan Pusat dengan kondisi lokal
yang dilakukan atas petunjuk departemen Pusat. Para pejabat lokal bekerja
dibawah pemerintah lokal yang memiliki
kewenangan semi autonomous, namun mereka
adalah pegawai depertemen Pusat dan tetap berada di bawah perintah dan
supervisi Pusat.
2) Local
administration adalah bentuk dekonsentrasi dimana setiap
pejabat di setiap tingkat pemerintahan merupakan wakil dari pemerintahh Pusat,
dikepalai oleh seorang yang diangkat oleh, berada di bawah dan bertanggungjawab
kepada departemen Pusat. Mereka bekerja di bawah pengawasan teknis
depertemen Pusat.
Local
administration sendiri dibedakan menjadi 2, yakni :
1. Integrated
local administration: dimana pejabat-pejabat dari departemen
Pusat yang ditempatkan di daerah berada langsung di bawah perintah dan
pengawasan Kepala Eksekutif Daerah, yang diangkat oleh dan bertanggungjawab
kepada pemerintah Pusat. Mereka diangkat, digaji, dipromosikan dan dimutasikan
oleh departemen Pusat, tetapi berkedudukan sebagai staff teknis Kepala
Eksekutif Wilayah dan bertanggungjawab kepadanya.
2. Unintegrated
local administration: pejabat-pejabat departemen Pusat yang
berada di daerah dan Kepala Eksekutif Wilayah, masing-masing berdiri
sendiri-sendiri. Masing-masing bertanggungjawab kepada departemennya di Pusat.
Koordinasi dilakukan secara informal. Pejabat teknis tersebut mendapat perintah
dan diawasi oleh masing-masing departemen.
Konsep dekonsentrasi paling banyak diterapkan di
negara-negara berkembang pada dekade yang lalu. Di Indonesia, Thailand,
Pakistan, Tunisia, Filipina, Sri Langka, Morocco, dekonsentrasi mendorong
transfer tanggungjawab dan financial grants dari pemerintah pusat kepada
provinsi, distrik atau unit-unit administrasi lokal. (Cheema and Rondinelli,
1983).
4. Vrij bestuur
Ø Adalah prinsip pengelolaan pemerintahan yang juga digunakan
untuk melunakkan penerapan prinsip atau metode sentralisasi.
Ø Kewenangan pusat kepada daerah yang tidak termasuk dalam
asas-asas di atas (asas desentralisasi, sentralisasi, dekonsentrasi,
konsentrasi, dan tugas pembantuan), dikelompokkan ke dalam Vrij bestuur atau
Tampung Tantra. Misalnya adalah pos.
C.
Praktek Sentralisasi dan Dekonsentrasi
Kecenderungan praktek sentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan di negara-negara berkembang menjadi gejala yang umum, terutama
pasca Perang Dunia II, meskipun dalam undang-undangnya mencantumkan
desentralisasi sebagai salah satu asas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan. Sejak dekade 1950-an pola-pola pengendalian secara sentralistis
dilakukan oleh pusat terhadap kegiatan pembangunan. Alasan diterapkannya pola
sentralisasi tersebut adalah :
Ø Karena
adanya anggapan dan keyakinan yang kuat dari pembuat keputusan bahwa usaha pembangunan akan berjalan
secara efektif apabila dilakukan terpusat (sentralistis).
Ø Perlunya
memanfaatkan sumberdaya yang terbatas seefektif mungkin guna menjamin percepatan
pertumbuhan ekonomi dan industri. (E. Koswara, 1966)
Ø Upaya
sentralisasi dalam perencanaan dan administrasi juga dipandang perlu guna
memberikan arah dan pengawasan/pengendalian terhadap pembagunan ekonomi serta
mempersatukan bangsa yang sedang tumbuh sebagai akibat dari masa penjajahan yang cukup lama (Gunnar Myrdall).
Ø Dengan sentralisasi terbuka kemungkinan untuk
merencanakan dan memprogramkan pertumbuhan ekonomi seperti yang disarankan oleh
para ekonom Barat melalui model ekonometrik. Sehingga desentralisasi cenderung
tidak disukai dan justru dipandang memperlemah persatuan dan kesatuan bangsa. (Sofian
Effendi, 1988)
Sementara
itu kebanyakan negara Asia Pasific mempraktekkan sistem sentralisasi yang
berlebihan (highly centralized), karena:
Ø Pengalaman
negara-negara tersebut akan kolonialisme dan sistem monarkhi
Ø Nation/state
building yang sulit dibangun selama periode post-colonial
Ø Teori
sentralisasi pembangunan yang berkembang di tahun 1950-an dan 1960-an.
Local
government yang diciptakan oleh kolonialis sengaja guna
mendapatkan dukungan lokal dan untuk kekuatan perlengkapan negara. Jadi ketika
memperoleh kebebasan politik, negara-negara tersebut mewarisi dan
mempertahankan sistem sentralisasi – dalam
bentuk kesatuan seperti kasus-kasus di negara Jepang, Korea, Cina,
Filipina, Indonesia dan Thailand, Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka; dan dalam
kasus negara yang berbentuk federasi seperti di Pakistan, India, dan Malaysia.
(Raul P. De Guzman dan Mila A. Reforma, 1993) Namun menjelang akhir dekade
1960-an, ide sentralisasi mulai ditinggalkan oleh negara-negara berkembang
karena beberapa alasan :
Ø Pertumbuhan ekonomi negara-negara sedang berkembang pada
1950-an dan 1960-an ternyata lamban sekali. Walaupun di beberapa negara terjadi
pertumbuhan tinggi, namun pertumbuhan hanya dinikmati sebagian kecil golongan
masyarakat.
Ø Laju pertumbuhan daerah berjalan timpang.
Ø Standar hidup masyarakat yang berpenghasilan rendah dan
yang tergolong miskin absolut meningkat besar.
Ø Perencanaan pembangunan top-down ternyata terlalu
kaku dan diragukan keampuhannya. Pola demikian hanya menguntungkan kepentingan
lembaga-lembaga pemerintah dan swasta yang seharusnya menjadi generator
pembangunan bahkan masyarakat lokal/daerah dibebani pelbagai beban (Klu).
Ø Terlalu menyamaratakan konsep pembangunan dan tidak
menghiraukan perbedaan-perbedaan dalam sistem nilai, aspirasi masyarakat dan
variasi-variasi spasial (The Kian Wie, 1981).
Ø Pemerintahan sentralistik dinilai tidak mampu memahami
secara cepat nilai-nilai daerah atau sentimen dan aspirasi daerah. Warga
masyarakat merasa lebih aman dan tenteram dengan badan pemerintah lokal yang
lebih dekat kepada mereka baik secara fisik maupun psikologis. (rust,
1969)
Ø Sejak
akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, sistem sentralisasi mulai ditinggalkan
dan desentralisasi mulai dipraktekkan negara-negara berkembang.
D. Dari
Sentralisasi Ke Desentralisasi: Pengalaman Beberapa Negara
Jepang
· Setelah pemerintahan Meiji berkuasa sesudah
jatuhnya pemerintahan Yedo, Fu atau Ken (prefektur-prefektur)
dilantik tahun 1871 sebagai unit-unit
administrasi nasional. Akibatnya, prefektur-prefektur memiliki 2 karakter ganda
yakni unit pemeritahan administrasi nasional oleh Gubernur dan unit
pemerintahan lokal. Pelantikan prefektur menggantikan sekitar 300 pemerintahan
feodalistik kerajaan yang dikontrol Shogun, yang mengatur sistem sosial ekonominya sendiri dan sistem
birokrasi serta kekuatan militer sendiri.
· Secara berturut-turut reformasi administratif
lokal dilakukan. Pada akhirnya memunculkan undang-undang Municipality Act dan
Prefecture Act tahun 1888. Kedua undang-undang ini berbasis pada
pengakuan bahwa entitas publik lokal harus dibagi tanggung jawab administrasi
nasional; dan juga adopsi terhadap demokrasi representatif yang terbatas pada
tingkat pemerintahan lokal, di mana masyarakat akan mendapatkan pengalaman pada
administrasi pemerintahan lokal.
· Pada tahun 1890, Gun atau counties (kabupaten)
didirikan, tetapi kemudian dihapuskan karena terjadi ambiguitas akan fungsi dan
karakternya (Nagata, 1987:116). Meskipun sistem pemerintahan lokal
diformulasikan pada bagian dari dua undang-undang tersebut, dan kemudian
mengalami beberapa revisi, tapi tetap saja undang-undang itu sebagai tulang
punggung sistem pemerintahan lokal di Jepang untuk kurang lebih sekitar 60
tahun sampai resivi secara revolusioner pasca Perang Dunia II. Akan tetapi,
Konstitusi Meiji yang dibuat tahun 1889 tidak mempunyai referensi untuk
pemerintahan lokal.
· Pasca Perang
Dunia II, pemerintah Jepang menjalankan dengan seksama desentralisasi
administrasi. Tahun 1946, satu tahun sesudah perang, gubernur-gubernur
prefektur, untuk pertama kalinya ditetapkan oleh pemerintah pusat, untuk dipilih
secara langsung oleh rakyat. Ini diikuti oleh penguatan majelis lokal.
· Pada tahun 1947
untuk pertama kalinya Konstitusi Jepang mengumumkan dengan resmi
klausal-klausal yang berisi perlindungan otonomi lokal. Juga terdapat Local
Autonomy Law yang menetapkan dasar bagi sistem otonomi lokal sekarang ini. Local
Autonomy Law menjamin otonomi penuh setiap kotamadya atau prefektur.
Peraturan-peraturan yang pernah dikeluarkan oleh Menteri Urusan Internal (Dalam
Negeri) juga dicabut semuanya.
· Pemerintahan
prefektur adalah comprehensive and regional local publik body yang
meliputi beberapa kotamadya.
· Pemerintahan
prefektur menjalankan fungsi-fungsi regional, al. pengembangan
pekerjaan-pekerjaan regional, pertumbuhan infrastruktur industri, pemeliharaan
dan konstruksi jalan-jalan, sungai serta fasilitas-fasilitas umum bagi daerah.
Juga menjalankan fungsi-fungsi administrative, seperti administrasi pendidikan
wajib, administrasi kepolisian, dan persoalan perijinan yang terkait dengan
urusan bisnis.
· Pemerintahan kota
merupakan entitas dasar publik lokal yang mengatur kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan kebutuhan dasar warga seperti registrasi/ pendataan
keluarga, konstruksi dan pemeliharaan area parkir, sistem pengairan dan
pembuangan kotoran, sistem pembuangan sampah, penempatan dan pemeliharaan
sekolah, serta pembiayaan unit/kelompok pemadam kebakaran.
· Di tahun 1950, financial
powers juga mulai berpindah ke tangan pemerintah lokal melalui Local Tax
Act, dimana ditetapkan pemerintah lokal dengan sumber-sumber penghasilan
sendiri. Pemerintah kota mendapatkan sumber pajak yang relatif stabil seperti
property dan pendapatan; sementara pemerintah prefektur menetapkan
penyamarataan hak atas ketidakseimbangan sumber pajak yang disebabkan oleh
perbedaan populasi dan akumulasi industri lokal.
· Tahun 1960,
Jepang secara bertahap mampu mengembalikan kekuatan nasionalnya. Tingkat
perekonomiannya sudah melewati masa-masa perang dunia. Sektor swasta mampu
menghimpun kekuatannya. Kebijakan-kebijakan nasional mulai diarahkan serius
pada fasilitas-fasilitas produksi. Ditahun berikutnya, sejalan dengan Comprehensive
Development Plan, pemerintah lokal mengembangkan industri-industri
regional. Program tersebut memperkenalkan kepada masyarakat berbagai macam
kebijakan untuk dapat menambah pendapatan masyarakat dengan mengesahkan secara
hukum kawasan-kawasan perindustrian dengan memajukan pertanian dan perikanan.
Pemerintah lokal tidak hanya mampu mengembangkan berbagai fasilitas publik yang
esensial tapi juga sudah mampu secara substansial meningkatkan tingkat
pelayanan kesejahteraan seperti di negara-negara Barat.
· Di tahun 1980,
Jepang mulai menggunakan “Third Sector”, membuka sebuah entitas melalui
korporasi atau kerjasama atas sektor pertama yakni sektor publik dan sektor
kedua yakni sektor swasta untuk menjalankan perusahaan. “Third Sector” memiliki
keuntungan yaitu: (1) tidak perlu memakai sistem anggaran publik yang
membutuhkan persetujuan dari dewan/majelis. (2) dapat memanfaatkan dana pribadi
(swasta) dengan lebih bebas dan cepat. (3) memperoleh tanah/perkebunan publik
secara sistematis dan didahulukan. (4) dapat memanfaatkan keuntungan atas
pekerjaan-pekerjaan publik dan swasta seperti orientasi investasi jangka
panjang dari sektor publik, akses kredit, mengkoordinasi mekanisme kapabilitas.
· Pemerintah Jepang
juga mempercayai kegiatan-kegiatan sektor privat untuk meminimalisir
pengeluaran. Beberapa kegiatan seperti pemeliharaan gedung, pemulungan sampah,
dam lain-lain juga dipercayakan kepada sektor privat. Upaya privatisasi ini
hampir dijumpai hampir di seluruh perusahaan Jepang, meski tidak semuanya
sukses. Kesusksesan terjadi apabila : (1) seleksi yang tepat seperti kondisi
tempatnya, situasi ekonominya dll. (2) rencana manajemen termasuk pengwasan
perusahaan oleh pemerintah lokal. (3) kehadiran semangat wirausaha dan (4)
memikirkan metode untuk memperoleh dukungan dan partisipasi dari penduduk
(Local Autonomy College, 1991:256).
Korea Selatan
· Memiliki tradisi
sentralisasi pemerintahan yang sangat kuat, tidak pernah tercatat bahwa
pemerintahan lokal pernah diberikan otoritas pemerintahan sendiri oleh rezim
pemerintahan yang pernah memimpin negara ini. Institusi-institusi lokal
swatantra seperti Hyangso dan Hyangyak (Cho.1992) yang ada tidak
pernah menjalankan fungsinya sebagai institusi politik.
· Selama 35 tahun
di bawah pendudukan Jepang tercengkeram kuat dalam pegangan rezim pusat. Sifat
dari sistem kolonial mengharuskan dilanjutkannya kebijakan sentralisasi.
· Pendudukan
singkat militer Amerika Serikat ditandai dengan sentralisasi.
· Sejarah mengenai
pemerintahan lokal di Korea, dari permulaan terbentuknya sejarah bangsa sampai
dengan tahun 1948, merupakan sejarah panjang strong centralized control
(Cho, 1992).
· Tahun 1948
Konstitusi Korea disusun setelah kemerdekaan, yang terdiri dari 2 pasal tentang
otonomi lokal. Local Autonomy Law kemudian disahkan 4 Juli 1949 dengan
ketentuan antara lain : (1) Pemilihan secara tidak langsung walikota, kapala
daerah, kepala desa oleh anggota-anggota dalam pertemuan dan disetujui oleh Presiden Republik Provinsi
yang bersangkutan. (2) Tipe dan tingkat swatantra lokal sungguh-sungguh ada.
(3) Fungsi dan ruang gerak swatantra lokal benar-benar ada.
· Tahun 1956 ketika
terjadi pergantian junta militer, menangguhkan pemerintahan lokal untuk
sementara waktu. Amandemen terhadap Local Autonomy Law berhubungan
dengan pemilihan ketua eksekutif dewan pemerintahan lokal. Amandemen tahun 1960
dilakukan dengan tujuan memberikan hak rakyat memilih secara langsung official
pemerintahan lokal.
· Tahun 1961 otonomi
lokal lokal diakhiri ketika terjadi kudeta militer, dimana pemerintahan yang
baru mengganti Local Autonomy Law dengan Extraordinary Measure on
Local Autonomy, yang memiliki pengaruh antara lain :
Ø Penolakan status legal entitas swatantra lokal menjadi
unit-unit yang lebih kecil, kota dan desa.
Ø Pengangkatan kepala pemerintahan lokal oleh pemerintah
pusat.
Ø Pembubaran pertemuan-pertemuan/majelis lokal. Fungsinya
diambil alih oleh tingkat yang lebih dalam hierarki eksekutif.
· Tahun 1973
lahir organisasi lokal massif yakni Saemaul Undong Movement, yang
mengatur administrasi lokal pada tiap tingkat. Provinsi, kabupaten, kecamatan
dan pedesaan. Pergerakan Saemaul dipusatkan pada wilayah pedesaan. Pada
tingkat pusat, Saemaul Undong Bureau menjalankan kerjasama dengan Ministry
of Home Affairs, maka terjadilah pengaturan ganda dari kedua institusi
tersebut. Di satu sisi, Saemaul Palnning Divison didirikan di tingkat
provinsi, negara, dan mylon levels. Di sisi lain, terdapat Deputy
Chief ditingkat administrasi lokal yang bertanggungjawab melayani dan
menyediakan bantuan bagi proyek-proyek Saemaul di pedesaan.
· Perkembangan
signifikan dalam desentralisasi di Korea adalah privatisasi Saemaul Undong oleh
Fifth Republic. Para ilmuwan mengklaim, privatisasi dimaksudkan untuk
merespon yang fleksibel bagi kondisi di tiap-tiap desa dan untuk mendorong
partisipasi positif-sukarela serta komunikasi dua arah untuk
pergerakan-pergerakan. (Ro, 1987 : 140).
· Upaya
dekonsentrasi melibatkan pembentukan IRSA (Integrated Regional Settlement
Area) guna mencapai keseimbangan pertumbuhan di tiap-tiap wilayah. IRSA
merupakan kesatuan ruang gerak bersama pusat dan daerah yang berdekatan dengan
wilayah pedalaman (area pertanian), dimana bukan hanya pertumbuhan ekonomi saja
yang dikejar, melainkan penduduk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. (Ro; 1987 : 142).
Filipina
· Upaya politik
desentralisasi dan otonomi daerah di Filipina dimulai pada permulaan 1898
dibawah Republik Filipina Pertama dan Konstitusi Malolos. Akan tetapi upaya
tersebut dialamatkan lebih kepada dimensi-dimensi struktur dan politik
administratif lokal bukan pada substantif pemerintahan dimana kekuasaan dan
kewenangan ditransfer. Konstitusi Malolos disediakan untuk pemerintah lokal
menurut prinsip desentralisasi dan otonomi administratif. (Ocampo and
Panaganiban, 1985:4).
· Ketika Amerika
mengambil alih kendali pemerintahan dari tahun 1902 sampai dengan 1935, urgensi
kontrol kolonial, stabilitas politik, dan nation building menjadi prioritas.
Sentralisasi diperkuat.
· Ketika memperoleh
kemerdekaan 1946, Filipina mewarisi dan mempertahankan negara kesatuan dengan
sistem sentralisasi yang sangat tinggi. Undang-undang tentang
otonomi lokal baru dilahirkan tahun 1959 ketika An Act Amending the Laws
Governing Local Goverments by Increasing their Authonomy and Reorganizing
Provincial Governments lahir.
· Politik desentralisasi dan kemudian otonomi
lokal diperoleh dan mendapatkan momentumnya dengan hadirnya Desentralisasi
Act tahun 1967 (R.A. 5195), dimana kekuasaan politik dan fungsi-fungsi
administrasi berpindah ke pemerintah kota yang meliputi kekuasaan menciptakan
posisi-posisi dan mengangkat pejabat-pejabat provinsi dan kota. Kekuasaan
anggaran juga diletakan di daerah-daerah.
· Meskipun ada usaha pembangunan dan penguatan
institusi politik lokal melalui devolusi, ketergantungan pada sumberdaya dan man
power terlatih yang berasal dari pemerintah pusat tetap tinggi. Dalam semua kasus, pemerintah pusat/negara memiliki
kekuasaan untuk menggantikan badan-badannya.
· Hadirnya Martial
law (undang-undang darurat) dari 1972 sampai dengan 1981 mengikis
kecenderungan ke arah otonomi. Meskipun ada jaminan otonomi lokal dalam
Konstitusi 1973 dan undang-undang pemerintahan lokal, kontrol pemerintah pusat
terhadap urusan-urusan lokal dan pengurangan kekuasaan, fungsi dan
tanggungjawab pemerintahan lokal terus meningkat. Selanjutnya pemilihan pejabat
pemerintah lokal ditunda.
· Regionalisasi
administrasi dan rencana nasional telah mendekonsentrasikan fungsi-fungsi ini
dari Manila, tetapi tidak menghasilkan kewenangan devolusi apapun kepada
pemerintah lokal.
· Pemerintah baru pasca revolusi EDSA 1986 menunjukkan kecenderungan
sentralisasi di awal pemerintahannya. The Freedom Constitutions 1973
diumumkan resmi yang meliputi ketetapan mengenai pemerintah lokal. Akan tetapi
juga dideklarasikan bahwa Presiden harus mempunyai kontrol dan exercise
general supervision di seluruh pemerintah lokal. Langkah untuk mengkoreksi
sentralisasi dilakukan dengan mengadakan pemilihan lokal pada 18 Januari 1988.
Konstitusi baru yang telah diratifikasi pada Februari 1973 diabaikan. Hasilnya,
pemerintah lokal hasil pemilihan mendapatkan kekuasaan efektif, tanggungjawab
yang lebih besar, dan sumber-sumber pendapatan untuk menjamin pertumbuhannya
sebagai self reliant communities.
· Melalui Local Government Code yang disahkan oleh Kongres
Filipina, mengambil alih devolusi 4
pelayanan utama pemerintahan yakni kesehatan, agriculture, public
works, dan social welfare..
· Dekonsentrasi unit-unit dasar pemerintahan lokal dan devolusi
kekuasaan kepada pemerintahan lokal
dilengkapi oleh pertumbuhan privatisasi dari beberapa aktivitas pemerintahan
dan memanfaatkan organisasi-organisasi non-pemerintah serta kooperatif sebagai saluran alternatif untuk melayani
masyarakat, seperti kredit untuk pengusaha-pengusaha kecil, transfer teknologi
baru kepada petani, operasi public markets, dan kebutuhan-kebutuhan umum
lainnya.
Litelatur
Cheema, G. Shabbir
and A. Rondinelli (Eds.), Decentralization and Development Policy
Implementation in Developing Countries, Sage Publication, 1983. (Chapter 1)
Raul De Guzman and
Mila A. Reforma (Eds.), Decentralization Towards Democratization and
Development, Eastern Regional Organization for public Administration, 1993.
(Chapter 1)
Riwu Kaho, Yosep,
Pemerintahan Daerah, makalah.
Cheema, Rondinelli.
Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing
Countries, chapter 1, 2. Sage Publications.
Smith,
B.C.. Decentralization: The Teritorial Dimension of The State, chapter
1, 2.
Alderfer, Harold F. Local Government in
Developing Countries, McGraw-Hill Book Company, 1964
Bennett, Robert, Local
Government and Market Decentralization: Experiences in Industrialized,
Developing and Former Eastern Bloc Countries, chapter 1,2, United Nations
University Press,1994.
Mawhood, Philip, Local
Government in The Third World: The Experience of Tropical Africa, chapter
1, John Wiley & sons,1995.
Boone, Chaterine, Decentralization
as Political Strategy in West Africa dalam Comparative Political Studies,
vol 36, Sage Publications, 2003.
Teori
Desentralisasi, kumpulan makalah
studi kasus. Perpustakaan S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah.
BAB III
POLITIK DESENTRALISASI
A. Pengantar
Lebih dari dua dekade pembicaraan mengenai desentralisasi
telah menjadi perhatian berbagai negara, baik di negara maju maupun negara
dunia ketiga. Mulanya, upaya sentralisasi dalam perencanaan dan administrasi
pembangunan terutama di
negara dunia ketiga yang dipandang perlu untuk memberikan arah, dan pengendalian terhadap pembangunan ekonomi serta
mempersatukan bangsa yang sedang tumbuh sebagai akibat penjajahan yang cukup
lama. Tahun 1950-1960an sentralisasi diyakini sebagai kunci sukses pembangunan.
Namun pada kenyataannya banyak negara yang menemui kegagalan, khususnya
di negara dunia ketiga. Meskipun pertumbuhan
ekonomi mengalami kenaikan namun hanya sebagian kecil kelompok masyarakat yang
merasakan manfaatnya. Hal
ini terjadi karena kebijakan pembangunan yang dihasilkan adalah kebijakan yang
diadakan untuk menyenangkan lembaga pendonor, tidak memperhatikan keadaan
obyektif di dalam negeri.
Ketidakmampuan untuk memahami secara cepat local value,
aspirasi daerah menjadikan pemerintahan yang sentralistik kurang populer.
Mawhood mengemukakan 4 alasan memudarnya “pemihakan” pada sentralisasi, yaitu:
1. More open political competition and personal career
building among politicians and bureaucrats alike;
2. A tendency in the regime to aim – at least temporarily –
for reduced popular participation
3. Poor performance in many autonomous local authorities;
4. A climate of
opinion in which liberal economists as well as marxists thinker were urging the
virtue of centralized planning mechanism as the key to rapid development
Mulai tahun 1970an maraklah pencarian rumusan
konsep-konsep pembangunan yang mampu mengatasi kegagalan sentralisasi. Para
ahli dan pembuat kebijakan mulai menyadari bahwa pembangunan mensyaratkan
transformasi mendasar pada struktur sosial, ekonomi, politik yang memungkinkan peningkatan
produktifitas dan pendapatan kaum miskin. Struktur pasar yang kelihatannya
efektif memajukan pembangunan di negara industri ternyata tidak bekerja di
negara dunia ketiga; kemiskinan tidak serta merta berkurang melalui trickle down effect.
Strategi growth with equality, people centered
development adalah tawaran solusi mengatasi kegagalan sentralisasi.
Manusialah yang harus menjadi fokus dan sumber pembangunan yang utama bukan
ekonomi atau teknologi. Menurut Hollensteiner, pembangunan yang demikian
berusaha untuk: “promote the
empowernment of people instead of perpetuating the dependency creating
relationship so characteristic of top down”. Pemerintahan di beberapa
negara kawasan Amerika Latin mendirikan korporasi untuk menstimulasi investasi
lokal, dan produksi pertanian yang lebih banyak. Pemerintahan di Afrika
mendirikan komite perencanan pembangunan di tingkat propinsi, distrik, daerah.
Di Asia, badan perencanaan dan pembangunan daerah berkembang dengan cepat.
Tahun 1990an gelombang baru paradigma desentralisasi
melanda di hampir semua negara seiring dengan jargon good governance,
local government, demokrasi, local governance, civil society
dan partisipasi.
B. Mengapa Desentralisasi?
Para penganjur desentralisasi menawarkan berbagai alasan
pentingnya pemerintah pusat menyerahkan tanggungjawab yang lebih besar
pada pemerintah daerah untuk merencanakan dan
melaksanakan pembangunan. Berikut alasan
dipilihnya desentralisasi atau kebaikan-kebaikan
desentralisasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli:
1.
Rondinelli:
1.
Desentralisasi
sebagai alat mengurangi kontrol kesentralan perencanaan pembngunan oleh pusat
dengan adanya pendelegasian kewenangan yang lebih besar pada daerah.
2.
Dengan
desentralisasi daerah akan memiliki
sensitifitas lebih tinggi pada masalah yang terjadi didaerahnya
3.
Desentralisasi
memacu daerah lebih kreatif, inovatif, responsif
4.
Meningkatkan
akuntabilitas birokrat dan wakil rakyat
5.
Meningkatkan
partisipasi politik, sosial, ekonomi masyarakat
6.
Pelayanan
publik efisien dan efektif
7.
Meningkatkan
stabilitas nasional dan kesatuan
2. Cheema dan Rondinelli:
“central
planing was not only complex and difficult to implement but may also have been
inappropriate for promoting equitable
(pantas/patut) growth and self
sufficiency among low income groups and comunities within developing countries”. Perencanaan terpusat tidak hanya kompleks dan
sulit dalam pelaksanaan tetapi juga tidak layak/pantas untuk mempromosikan
pertumbuhan dan kecukupan diantara rendahnya pendapatan kelompok masyarakat
tanpa pembangunan Negara.
3. B.C.
Smith:
1.
Desentralisasi
dapat meningkatkan kadar demokrasi melalui political education
2.
Menjamin
stabilitas nasional
3.
Menciptakan
political equality(persamaan) karena desentralisasi memberikan kesempatan masyarakat untuk lebih berpartisipasi
4.
Memfasilitasi
akuntabilitas dan kebebasan berpendapat
5.
Merangsang
responsivitas pemerinth lokal untuk tanggap terhadap kebutuhan warga masyarakat
6.
Desentralisasi merupakan training ground untuk national
legislator
4.
Keith Griffin:
Desentralisasi
berkaitan erat dengan pemberdayaan dalam arti desentralisasi memberikan
keleluasaan dan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk berinisiatif dan
mengambil keputusan.Pemberdayaan akan menjamin hak dan kewajiban serta wewenang
dan tujuan dari organisasi pemerintahan daerah untuk menyusun program, memilih
alternatif dan mengambil keputusan dalam mengurus kepentingan daerahnya
sendiri.
5.
George R Terry :
1.
Struktur
organisasi yang didesentralisasikan berbobot pendelegasian wewenang dan
memperingan beban manajemen teratas
2.
Membuka
jalan untuk kedudukan manajer umum karena lebih berkembang ‘generalist’
daripada ‘specialist’
3.
Memunculkan
semangat kerja dan koordinasi yang baik
4.
Meningkatkan
efisiensi sepanjang struktur dapat dipandang sebagai satu keutuhan sehingga
kesulitan dapat dialokasikan dan dipecahkan dengan mudah
5.
Resiko
yang mencakup kerugian dalam bidang kepegawaian, fasilitas, organisasi dapat
terbagi-bagi
6.
Bagi
organisasi yang besar dan tersebar di berbagai tempat dapat memperoleh manfaat
yang sebesar-besarnya dari keadaan setempat
7.
Sebelum
suatu rencana dapat diterapkan pada organisasi secara keseluruhan maka dapat
diterapkan pada salah satu bagian terlebih dahulu sehingga dapat dirubah dan
disesuaikan , dibuktikan kebaikan dari rencana tersebut
8.
Kebiasaan
dengan aspek kerja yang khusus dan penting siap untuk dipergunakan.
6. J.
Inhett Veld:
1.
Desentralisasi
memberikan penilaian yang lebih tepat terhadap keadaan daerah dan penduduknya
yang beraneka ragam
2.
Desentralisasi
meringankan beban pemerintah karena pmerintah pusat tidak mungkin menegenal
seluruh kepentingan dan kebutuhan setempat serta tidak mungkin
mengetahuikebutuhan terebut dengan detail. Daerahlah yang mengetahui sebenarnya
kebutuhan daerah dan cara memenuhinya
3.
Dengan
desentralisasi dapat menghindarkan adanya beban yang melampaui batas perangkat
pusat yang disebabkan tunggakan pekerjaan
4.
Pada
desentralisasi unsur individu atau daerah lebih menonjol karena dalam ruang
lingkup yang sempit, seseorang dapat lebih mempergunakan pengaruhnya daripada
dalam masyarakat yang lebih luas
5.
Masyarakatsetempat
dapat kesempatan untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga
ia tidak sebagai obyek
6.
Desentralisasi
meningkatkan partisipasi masyarakat setempat dalam mengontrol segala tindakan
dan tingkah laku pemerintah
7.
Mariun (1967):
1.
Memberikan
perhatian khusus kepada tugas atau daerah yang didesentralisasikan sehingga memungkinkan penyelenggaraan pekerjaan lebih
efektif
2.
Mengurangi
kesewenangan pemerintah pusat
3.
Memajukan
keluwesan dan kecepatan bertindak
Namun desentralisasi juga tak terlepas dari kritik. Dalam
konteks beberapa teori tentang negara, desentalisasi memunculkan gerakan separatis atau gerakan parochial
di Afrika. Perspektif sosialis melihat desentralisasi akan memperlemah institusi lokal karena masyarakat pada akhirnya hanya
akan dimanipulasi oleh kelompok, elit dominan yang sebenarnya merupakan
representasi pemerintah pusat. Desentralisasi juga dianggap sebagai bagian
reformasi liberal yang dilakukan kaum kapitalis.
C. Model Desentralisasi
1.
Aliran
Anglo Saxon
PBB memberikan
batasan sebagai berikut:
“decentralization
refers to the transfer of authorithy away from the national capital wether by
deconcentration (i.e. delegation to field offices or by devolution to local
authorithies or local bodies.The two principal forms of decentralization of
governmental powers and function are deconcentration to area offices of
administration and devolution to state and local authorities”.
Desentralisasi
adalah penyerahan wewenang atau transfer wewenang dari pemerintah pusat baik
kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat
di daerah yang disebut dekonsentrasi maupun kepada badan–badan otonom
daerah yang disebut devolusi.
·
Pada
dekonsentrasi, departemen pusat melimpahkan wewenang dan tanggung jawab bidang
tertentu kepada pejabat yang bertindak sebagai wakil departemen pusat untuk
melaksanakan fungsi atau bidang tugas tertentu yang bersifat administratif
tanpa menerima penyerahan kekuasaan sepenuhnya (final authorithy).
Tanggung jawab terakhir tetap pada departemen pusat.
·
Pada
devolusi sebagian kekuasaan diserahkan kepada badan politik di
daerah yang diikuti penyerahan kekuasaan kewenangan
sepenuhnya (final authorithy) untuk mengambil keputusan secara politis
maupun administratif.Sifatnya adalah penyerahan riil berupa fungsi dan
kekuasaan, bukan hanya sekedar pelimpahan (this type of arrangement has
apolitical as well as an administrative
character)
Carolie
Bryant dan Louisse G White (1987, hal 123-124) mengatakan bahwa desentralisasi
adalah transfer kekuasaan kewenangan yang dapat dibedakan kedalam
desentralisasi administratif maupun desentralisasi politik.
·
Desentralisasi
administratif adalah pendelegasian wewenag pelaksanaan yang diberikan kepada
pejabat pusat di tingkat lokal. Para pejabat tersebut bekerja dalam batas-batas
yang telah ditentukan baik dalam rencana
maupun biaya tetapi memiliki sedikit kewenangan dan kekuasaan yang bervariasi
dari mmebuat peraturan-peraturan yang bersifat program sampai ke yang lebih
substansial.
·
Desentralisasi
politik adalah pemberian kewenangan dalam membuat keputusan dan pengawasan
tertentu terhadap sumber daya yang diberikan kepada badan pemerintah regional
dan lokal.
Carolie
Bryant mengatakan, konsekuensi dari penyerahan wewenang dalam pengambilan
keputusan dan pengawasan kepada badan badan otonomi daerah adalah untuk:
a.
Memberdayakan
kemampuan lokal (empowerment local capacity)
b.
Mengembangkan
kemampuan otoritas lokal
c.
Meningkatkan
partisipasi elit lokal dan warga masyarakat
Sedangkan
pemerintah pusat akan memperoleh respek dan kepercayaan karena menyerahkan
proyek-proyek dan sumber-sumber daya, dan dengan demikian akan meningkatkan
pengaruh dan legitimasinya.
Rondinelli memberikan definisi desentralisasi yang lebih
luas:
Decentralization
is the transfer of planning, decision making or administration authorithy from
the central government to its field organizations, local aministrative units,
semi autonomous and parastatal organizations, local governments or non
government organization.
Four
terms of decentralizations can be distinguished by the degree of authorithy and
power or scope of functions which government of souvereign state transfer to or
shares with other organization within
its jurisdiction... diferent forms of decentralization can be distinguished
primarily by the extend to which
authorythy to plan decide and manage is
transfer from central government to other organizations and
the amount of autonomy the decentralized organizations achieve in carrrrrying
out their task.
Dari
definisi di atas maka Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi yaitu:
1.
Dekonsentrasi
2.
Delegasi
pada pada semi otonom atau parastatal organisasi
3.
Devolusi
pada pemerintah lokal
4.
Delegasi
pada institusi non pemerintah
ad. 1. Dekonsentrasi
Rondinelli menjelaskan bahwa dekonsentrasi
pada dasarnya adalah:
shifting
of work load from a central government ministry or agency headquarter to each
own field staff located in offices outside of the national capital without
transfering to them the authorithy to make decisions or to exercise disrection
in carrying out them.
Dekonsentrasi
selanjutnya dibedakan dalam dua bentuk yaitu field administration dan local
administration.
1.
Field
administration: pejabat di lapangan
diberi kekuasaan untuk mengambil keputusan rutin dan menyesuaikan pelaksanaan
kebijaksanaan pusat dengan kondisi lokal yang dilakukan atas petunjuk
departemen pusat. Para pejabat lokal bekerja di bawah pemerintah lokal yang
memiliki kewenangan semi otonom, namun mereka adalah pegawai departemen pusat
dan tetap berada dibawah perintah dan pengawasan pusat.
2.
Local
administration: setiap pejabat
disetiap tingkat pemerintahan merupakan wakil dari pemerintah pusat dikepalai
oleh seorang yang diangkat, dibawah dan bertanggungjawab pada departemen pusat.
Mereka bekerja dibawah pengawasan teknis departemen pusat.
Local
administration dibagi kedalam integrated
local administration dan unintegrated
local
administration.
1.
Integrated
local administration,
pejabat dari departemen pusat yang ditempatkan di daerah berada langsung
dibawah perintah dan pengawasan kepala eksekutif daerah yang diangkat oleh dan
bertanggungjawab pada pemerintah pusat. Mereka diangkat digaji dipromosi dan
dimutasikan oleh departemen pusat tetapi mereka tetap berkedudkan sebagai staff
teknis kepala eksekutif wilayah dan bertanggungjawab kepadanya.
2.
Unintegrated
local administration,
pejabat-pejabat departemen pusat yang berada di daerah dan kepala
eksekutif wilayah, masing-masing berdiri
sendiri.Masing-masing bertanggungjawab kepada departemennya di pusat.
Koordinasi dilakukan secara informal pejabat teknis tersebut mendapat perintah
dan diawasi oleh masing-masing departemen.
ad.2. Delegasi pada Semi Otonom dan
Parastatal Organisasi
Delegation
to semiotonom dan parastatal
organization adalah pelimpahan kewenangan dalam pembuatan keputusan dan
manajerial dalam melaksanakan tugas-tugas khusus kepada organisasi yang tidak
langsung berada dibawah pengawasan pemerintah pusat. Organisasi yang demikian
diberikan kewenangan semi independen untuk melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya. Organisasi-organisasi yang demikian biasanya bersifat komersil atau ekonomis dan
lebih mengutamakan efisiensi tidak birokratis dan politis. Badan-badan ini
biasanya diberi wewenang melaksanakan proyek tertentu seperti pembangunan
jalan, bendungan, listrik, telekomunikasi. Bentuk desentralisasi yang demikian
di Indonesia identik dengan desentralisasi fungsional.
ad.3. Devolusi
Devolusi
mengakibatkan pemerintah pusat harus membentuk unit pemerintahan di luar
pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi dan kewenangan tertentu
untuk dilaksanakan secara mandiri. Bentuk ini identik
dengan desentralisasi teritorial atau yang oleh pakar lain disebut
desentralisasi politik.
Devolusi mempunyai beberapa ciri yaitu:
a)
Unit
pemerintahan setempat bersifat otonom dan independent dan secara tegas terpisah
dari hirarki pemerintahan. Pemerintah pusat tidak melakukan pengawasan langsung
terhadapnya ciri atau karakteristik ini tidak nampak dalam pemerintahan di
Indonesia. Indonesia tidak menganut otonomi bebas dalam arti independen tetapi otonomi mandiri.
b)
Unit-unit
pemerintahan tersebut diakui mempunyai batas wilayah yang jelas dan legal
mempunyai kewenangan untuk melaksanakan tugas umum pemerintahan
c)
Unit
pemerintahan daerah berstatus sebagai badan hukum dan berhak untuk mengelola
dan memanfaatkan sumber-sumber daya dalam mendukung pelaksanaan tugasnya
d)
Unit
pemerintahan daerah diakui oleh warganya sebagai suatu lembaga yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat sebaliknya pemerintah daerah ini berpengaruh dan
berwibawa terhadap warganya
e)
Terdapat hubungan yang saling menguntungkan melalui
koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah serta unit organisasi lainnya
dalam suatu pemerintahan. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah
hubungan kemitraan bukan subordinasi
ad.4. Transfer functions from government to
non-government organizations or institutions
(Privatisasi)
Bentuk ke-empat desentralisasi disebut juga privatisasi.
Privatisasi adalah pemberian wewenang dari pemerintah kepada NGO tetapi juga merupakan penyatuan badan
pemerintah dan kemudian dijadikan badan swasta seperti BUMN, BUMD yang dilebur
menjadi PT.
Privatisasi dimaksudkan
untuk:
1.
Pengalihan
anggaran belanja pemerintah ke sektor swasta diharapkan akan lebih menghidupkan
aktivitas bisnis. Dengan pengelolaan lebih banyak diserahkan kepada sektor
swasta diharapkan efisien dapat dicapai
2.
Pemberian
keleluasan yang lebih besar kepada masyarakat/sektor swasta dapat menciptakan
pelayanan publik lebih cepat dan lebih murah
3.
Memungkinkan
masyarakat mempunyai pilihan yang lebih banyak dalam hal pelayanan publik.
Masyarakat lebih diberdayakan untuk menentukan dan menyediakan kepentingan
bersama melalui unit sosial yang ada
4.
Pemberian
keleluasaan yang lebih banyak kepada masyarakat berarti mengurangi ruang
lingkup pemerintahan. Hal ini ditujukan mendorong berlangsungnya demokratisasi.
Kalau pemerintah terlalu besar, kuat banyak melakukan intervensi akan mempunyai
kecenderungan menghambat pertumbuhan demokrasi. Selain itu lebih besarnya
keleluasaan ini merupakan upaya memberdayakan masyarakat
Namun
perlu diperhatikan pula dampak yang kurang menguntungkan dari privatisasi,
seperti kurang adanya jaminan dapat terselenggaranya fungsi-fungsui sosial bagi masyarakat. Hal ini dimungkinkan dengan semakin lebarnya keterlibatan
masyarakat dapat membawa akibat sebagian anggota masyarakat yang kurang mampu
tidak dapat bersaing menikmati fasilitas dasar yang diperlukan.
Untuk
meniadakan atau meminimalkan dampak yang kurang menguntungkan tersebut
pemerintah berkewajiban tetap mengeluarkan peraturan yang dapat memberi jaminan
agar setiap individu memperoleh pelayanan minimal. Hal ini dapat dilakukan oleh
pemerintah misalnya dengan pemberian subsidi untuk bidang tertentu (Josef
Riwukaho, Haryanto, Fungsi-fungsi Pemerintahan, makalah, 1997).
Berikut
definisi desentralisasi yang lain menurut beberapa pakar desentralisasi:
Sergio
Boisier:
Decentralization
maybe administrative or functional teritoril political or combination of
these.Decentralization is administrative when its concern sectors or activities
within the public sector (e.g. decentralized public enterprise); it is
teritorial when it involves the transfer of areas or responsibility to the
bodies having jurisdiction over a given
territory (e.. regional development councils or community develop[ment
councils); and it is political when it entail as handing over areas of
responsibility to elected political bodies not subordinate in rank to the state
(e.g. an elected national conggress).As elected national essembly on council
would be a decentralize body in both political and teritorial terms.
Paul S Moro:
Desentralisasi
implies the transfer of powers, functions, or activities from the national to
subnational levels, such as the region, districts or other local administrative
or geographical unit.It can take the form of deconcentration i.e the delegation
of administrative authorithy of powers to public servants in the field within a
governmnet structure; or devolution the transfer of political powers or
functions from centralgovernment to local institutions at the districts or
lower levels.In devolution, powers delegated are ussually combined with the
rigaht to raise revenue, thus giving local institutions some political
authorithy.
Raul D
Guzman:
Decentralization generally refers to the systematic and
rational dispersal of power authorithy and responsibility from the central too
the periphery from the top to the lower levels or from the national to the
local government.Recent conceptualization however have expanded the menaing of
the term of the issue of developing alternative mechanism for the delivery of
the basic servicess traditionally undertaken by bureaucratic organization. As
such decentralizationi recent year has assumed many forms other the deploying
power and function to local levels institutions.
In
these sense four approaches through which decentralization of bureaucracy can be
operationalize can be identified:
1.
devolution
2.
deconcentration
3.
privatization
4.
the use of NGO and other altenative channels
for service delivery.
Desentralisasi
– sebagaimana dapat dilihat di atas – adalah penyerahan kewenangan dalam pengertian
yang luas yang mencakup dekonsentrasi, devolusi privatisasi atau desentralisasi
fungsional dan pengikutsertaan LSM dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan merupakan kelompok anglo saxon.
- Aliran
Kontinental.
Para
ahli di Indonesia umumnya digolongkan ke dalam aliran kontinental. Mereka
diantaranya R Tresna, Koesoemahatmadja, Amrah Moeslimin, The Liang Gie.
Tresna
misalnya membedakan desentralisasi ke dalam beberapa bagian:
1)
ambtbelijke
decentralisatie (desentralisasi
jabatan) atau dekonsentrasi adalah pemberian atau pemasrahan kekuasaan dari
atas ke bawah dalam rangka kepegawaian guna kelancaran pekerjaan semata-mata
2)
staatskundige
decentralisatie (desentralisasi
ketatanegaraan) merupakan pemberian kekuasaan untuk mengatur bagi daerah di
dalam lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara
Desentralisasi
ketatanegaraan ini kemudian dibedakan lagi ke dalam:
·
teritoriale
decentralisatie (desentrlisasi
teritorial)
·
functioanale
decentralisatie (desentralisasi
fungsional)
Menurut
Koesoemahatmadja (1979), desentralisasi ketatanegaraan adalah pelimpahan
kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya
(daerah otonom). Desentralisasi adalah sistem untuk mewujudkan demokrasi yang
memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan
Desentralisasi
dibedakan kedalam:
1.
Dekonsentrasi
(ambtelijke decentralisatie)
2.
Desentralisasi
ketatanegaraan (staatskundige decentralisatie) atau desentralisasi
politik yaitu pelimpahan kekuasaaan perundang-undangan dan pemerintahan (regelende
en besturende bevoegdheid) kepada daerah-daerah otonom di dalam
lingkungannya. Dalam desentralisasi politik ini rakyat dilibatkan dalam
penyelenggraan pemerintahan melalui saluran-saluran perwakilan. Desentralisasi
ketatanegaraan kemudian dibedakan menjadi:
·
Desentralisasi
teritorial yaitu pelimpahan kekuasaan
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing (otonom)
·
Desentralisasi
fungsional yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu.
Amrah
Muslimin tidak memasukkan dekonsentrasi sebagai salah jenis dari
desentralisasi. Ia membedakan desentralisasi
ke dalam 3 jenis:
1.
Desentralisasi
politik ialah pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat yang menimbulkan hak
mengatur dan mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan politik di
daerah-daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah tertentu untuk mengurus
satu macam atau segolongan kepentingan tertentu dalam masyarakat, baik terikat
ataupun tidak pada suatu daerah tertentu, seperti: mengurus kepentingan irigasi
bagi golongan petani dalam suatu atau beberapa daerah tertentu (subak di Bali).
2.
Desentralisasi
fungsional
3.
Desentralisasi
kebudayaan (culturele decentralisatie) adalah pemberian hak pada
golongan minoritas dalam masyarakat untuk menyelenggarakan kebudayannya sendiri
(mengatur pendidikan, agama). Di kebanyakan negara kewenangan ini diberikan
kepada kedutaan asing untuk menyelenggarakan pendidikan bagi warga negaranya.
Tidak dimasukkannya dekonsentrasi sebagai bagian
desentralisasi dalam arti luas karena campur tangan pemerintah pusat pada
dasarnya dilakukan melalui jalur perangkat dekosentrasi.
The
Liang Gie menyatakan:
Desentralisasi
adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada satuan organisasi
pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari
sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah. Kalau pemerintah
menyelenggarakan desentralisasi berarti pemerintah mengadakan mengatur (dan
sebagainya) pelimpahan wewenang kepada satuan organisasi yang mempunyai batas
wilayah tertentu. Dengan adanya desentralisasi maka berlangsunglah serangkaian
aktivitas yang menjalankan wewenang yang dilimpahkan itu.
Logemaan
menyatakan desentralisasi sebagai ketentuan jikalau pekerjaan penguasa dari
penguasa negara dilimpahkan kepada persekutuan yang berpemerintahan sendiri.
Defini tersebut mengarah kepada pengertian desentralisasi dalam arti sempit
yaitu desentralisasi teritorial devolusi atau desentralisasi politik saja
Dari
berbagai definisi dapat ditarik kesimpulan:
Desentralisasi
pada dasarnya adalah suatu proses transfer penyerahan sebagian wewenang dan
tanggung jawab dari urusan yang semula adalah urusan pemerintah pusat kepada
badan atau lembaga pemerintah daerah agar menjadi urusan rumahtangganya.
Sehingga urusan tersebut beralih kepada daerah dan menjadi wewenang dan
tanggungjawab pemerintah daerah.
D. Metode Desentralisasi
- Residu:
pemerintah pusat menentukan hal apa saja yang menjadi urusan pemerintah
pusat, sisanya menjadi urusan pemerintah daerah
Pusat
Daerah
sisanya
- Materiil:
urusan daerah ditetapkan terlebih dahulu, satu persatu secara limitatif,
terperinci, di luar tugas yang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat.
Daerah Pusat
sisanya
Urusan-urusan daerah
ditetapkan dahulu
- Formal:
urusan-urusan yang termasuk dalam urusan rumah
tangga Daerah tidak secara
apriori ditetapkan dalam undang-undang. Daerah boleh mengatur dan
mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asalkan
tidak mencakup urusan-urusan penting yang telah diatur dan diurus oleh
Pemerintah Pusat atau Daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Jadi, urusan
yang telah diatur dan diurus oleh Pemerintah atasan tidak boleh diatur dan
diurus oleh Daerah.
E.
Model
Pemerintahan Daerah
Setidaknya ada 4 model pemerintahan daerah, yaitu:
1. Model
Perancis
2. Model
Rusia
3. Model
Anglo Saxon
4. Model
Tradisional
a.d. 1. Model Perancis
Awal abad 19, Perancis merupakan chief
imperial power di benua Eropa, Asia,
Afrika Utara sehingga model pengelolaaan pemerintahan Perancis banyak
diterapkan dinegara Eropa, Amerika Selatan, dan sejumlah negara di kawasan
Asia, Afrika. Pemerintahan Perancis saat
ini terdiri dari 90 departemen, 300 arrondissements, 40.000 communes.
Comunnes, baik besar maupun kecil, terdiri dari villages, towns,
cities of the nation.Tiap level dikepalai eksekutif: prefect, sub prefect
atau mayor. Eksekutif memiliki kekuasan penuh dan bertanggungjawab kepada
eksekutif yang lebih tinggi, sementara prefect bertanggung jawab pada Menteri
dalam Negeri. Semua urusan pelayanan publik berada di bawah yurisdiksi
eksekutif, sehinnga seorang eksekutif, mayor, memiliki dual capacity.Yaitu
sebagai agen dari pemerintah pusat dan sebagai pelaksana mandat local
council. Di setiap provinsi, atau commune, terdapat ellective
council yang kekuasaannya terbatas. Model pemerintahan Perancis memiliki
karakter: sentralistis, heavy/dominasi eksekutif dengan subordinasi
legislative, struktur bertingkat, chain of command, uniform,
tujuannya adalah mencapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan.
a.d. 2. Model Rusia.
Sebelum revolusi tahun 1917, Rusia dibagi
dalam sejumlah provinces dan regions yang dikepalai gubernur. Di
masing-masing provinsi terdapat distrik yang dikepalai chief of police. Distrik terdiri dari
sejumlah cantons yang merupakan kumpulan villages community.
Terjadinya revolusi di Rusia menyebabkan model pemerintahan Rusia berubah
menjadi sistem soviet, soviet berarti councils. Soviet
terdiri dari deputi delegasi yang dipilih buruh pabrik, petani, dan tentara Red
Army. Sistem pemerintahan daerah Soviet Union tersusun dalam beberapa hirarki
administrasi. Tingkatan-tingkatan tersebut berada di bawah All Union, Union
Republic, Autonomous Republic. Tingkatan pertama dan tertinggi adalah
kumpulan unit administrasi yaitu the krais, the oblasts, the okrugs, kota
besar, yang memiliki subordinasi langsung
ke Republic government. Tingkatan kedua terdiri dari rural
raisons, towns of intermediate, city raisons. Tingkatan ketiga
meliputi village soviet, settlements soviets, small town soviets. Pemerintah lokal lebih
merupakan agen langsung pemerintah
pusat, ia bukan lawmaking agencies. Karakter model pemerintahan Rusia:
kontrol partai komunis, single candidate election, hirarki garis komando
yang ketat, kekuasaan pusat yang sangat besar atas council local.
a.d. 3. Model Anglo Saxon
Pemerintahan daerah Inggris modern
terdiri dari country borough (didirikan 1888) ; administrative
counties (didirikan 1888) yang meliputi
town and county area dan beberapa fungsi administrasi seperti
kesehatan, pelayanan publik, polisi, transportasi, pendidikan dasar dan
menengah; municipal borough (didirikan 1835 dan 1835), urban district
(didirikan 1872), rural district (didirikan 1872), parish meetings atau
council (didirikan 1894). Salah satu karakter mendasar model pemerintahan
ini adalah bahwa local units bebas dari pengawasan local authorities
yang lain. Tidak ada keterkaitan antara mereka dan antara national
ministries dan parlemen. Karakter lainnya, desentralisasi, heavy/
dominasi legislative, kooptasi melalui sistem “komite”, Multi-purpose
activities, Voluntarily citizens participation.
a.d. 4. Model Tradisional.
Karakter pemerintahan model ini adalah
masyarakat desa, struktur politik sederhana, didukung oleh nilai-nilai lokal (mores)
yang kompleks.
F. Tinjauan Arah Perkembangan Desentralisasi
Pada mulanya desentralisasi dimaknai sebagai proses
tunggal,
yakni desentralisasi hanya urusan pemerintah.
Namun pemaknaan ini sudah tidak relevan lagi, desentralisasi tidak hanya urusan
pemerintah, desetralisasi menurut .(Bennet,
1994)
digambarkan secara ekstrim dapat terjadi atau berlangsung ke dalam empat si
stem desetralisasi :
- Centralized
market model, Perancis
misalnya, dimana semua alokasi sumberdaya dipercayakan pada pasar
- Localized
market model, alokasi
sumberdaya dipercayakan pada pasar dan pasar itu dipindahkan ke daerah
- Centralized
public sector model,
alokasi sumberdaya direncanakan
secara ekonomis/efisien
dan terpusat
- Localized
public sector model,
alokasi sumber daya secara planned economies tapi dilokalisir ke
daerah.
Pada kenyataannya tidak
ada negara yang memakai model ekstrim tersebut.
Terdapat 3 model
desentralisasi pada sistem Mixed Market,(system campuran atau perpaduan pasar /swasta )
yaitu:
1.
Voluntarist
2.
Welfarist model
3.
Post welfare
a.d. 1. Voluntarist
Dalam
model ini urusan-urusan yang menyangkut pelayanan publik bukan hanya digeser
dari pusat ke daerah atau dari pemerintah ke swasta, tetapi juga bergeser ke
sektor ketiga. Pengadaan, pengelolaan pelayanan publik mengalami pergeseran
dari pusat atau pemerintah ke civil society.
Studi Kasus Model Voluntarist:
Tanggal
17 Januari 1995, di Kobe dan Pulau Awaji (Jepang) terjadi gempa bumi yang
menewaskan lebih dari 5.000 orang dan lebih dari 200 rumah hancur. Gempa yang menimpa kawasan urban tersebut
melumpuhkan pelayanan publik dimana
kehidupan masyarakat urban sehari-hari sangat bergantung padanya. Saluran listrik, telepon, air, gas, putus
total. Pemerintah kota dan prefecture tidak mampu menyediakan
pertolongan bagi para korban. Pemadam kebakaran tidak mampu mematikan kebakaran
yang terjadi di berbagai area. Mereka tidak memiliki persediaan air dan tidak
dapat menjangkau lokasi-lokasi kebakaran karena jalan-jalan tertutup reruntuhan
bangunan. Sukarelawan berdatangan dari penjuru daerah, negara.
Dalam
situasi seperti ini, voluntary activities memainkan peran penting untuk
menolong para korban.Namun peran para sukarelawan ini tetaplah sebagai suplemen
pemerintah. Bencana tersebut mengingatkan pentingnya pemerintah, swasta (private
enterprises) dan para sukarelawan berpartisipasi dalam pengelolaan crisis
management system, penyediaan komunikasi yang cepat, cara perekrutan
sukarelawan, dan pentingnya koordinasi berbagai pihak. Dalam masyarakat yang
semakin modern, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian, pemerintah membutuhkan
kerjasama dengan aktor-aktor lain untuk membangun sebuah sistem manajemen
sosial yang hibrid, tidak hanya pada waktu terjadi krisis, bencana tapi juga
pada situasi normal. (Akira Morita, A New Conceptualization of The Public
Service)
a.d. 2. Welfarist Model
Model
yang banyak dipraktekkan di kawasan Eropa, terutama Skandinavia (Nordic) ini
lebih mendekati ke planned economies.
Negara yang menggunakan model ini memiliki sejumlah kewajiban yang melekat pada
dirinya, misalnya negara wajib menyediakan full employment (banyak lapangan pekerjaan), melakukan investasi jangka
panjang yang besar untuk meningkatkan kapasitas produksi, menyediakan dan
menjamin pendidikan, kesehatan, perumahan bagi warganya. Model ini harus
ditopang sistem pajak yang benar-benar progresif.
a.d. 3. Post
welfare
Pada
model post welfare, sistem pelayanan publik, kesehatan, pendidikan
misalnya, mulai diserahkan ke pasar. Indikasi suatu negara menerapkan model ini
antara lain, adanya:
·
demand for greater
responsiveness to customers
·
innovations in service delivery
·
managerial reform (internal
acccountability)
·
reinterpretations of
representation and external accountability
·
attempts to shift the
“boundary” of government (Bennet, 1990)
Market
resource
allocation
Governmental
resource
allocation
power
centralized
power localized
G. Pengalaman Desentralisasi di Afrika Barat dan Asia khususnya di Indonesia.
1. Afrika Barat
Di
Ghana, Senegal, Cote d’Ivoire (Afrika Barat) desentralisasi tidak dapat
memberdayakan penduduk malahan mengokohkan kekuasaan elit lokal yang
berperan sebagai local power broker. Akibatnya, kebijakan yang
dihasilkan merupakan produk tawar menawar (melalui negosiasi dan konfrontasi)
antara pemerintah pusat dengan elit lokal (rural elite). Struktur
masyarakat agraris yang hirarkis di Afrika Barat -kekuasaan terpusat pada beberapa
orang/seorang yang menguasai tanah, akses pasar- memberikan rural elite
kekuasaan tawar menawar yang kuat vis a vis negara.
Chaterine
Boone (2003) memusatkan penelitiannya pada usaha institution building
strategies pemerintah di Afrika Barat untuk “menakhlukkan” elit lokal.
Institution
building strategies dapat dilihat dari dua dimensi:
1.
Spasial
konsentrasi /deconcentration of the state apparatus
2.
Sentralisasi/
devolusi kewenangan politik dan ekonomi
Chaterine
menawarkan 4 alternatif strategi institution building yang dapat
dilakukan pemerintah, berupa:
1.
Powersharing (dekonsentrasi struktur institusi;pengalihan wewenang)
2.
Usurpation (dekonsentrasi struktur institusi, sentralisasi
wewenang)
3.
Administrative
occupation (konsentrasi struktur institusi;
sentralisasi wewenang)
4.
Non-incorporation (konsentrasi struktur institusi; devolusi wewenang)
2. Asia dan Indonesia
Di
kebanyakan negara Asia, yang terjadi adalah para pemimpin daerah tidak memiliki
kewenangan politik dalam menentukan kebijakan yang sesuai dengan local
environtment. Pemerintah daerah menjadi pasif karena ketergantungannya pada
pemerintah pusat.
Cheema
dan Rondinelli mengemukakan keberhasilan
desentralisasi ditentukan oleh faktor lingkungan
(environtments) berupa struktur politik, proses pembuatan kebijakan,
struktur kekuasaan lokal, ketersediaan infrastruktur .
Hal ini yang dipengaruhi oleh :
·
Hubungan
antar organisasi yang tercemin pada
efektivitas perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan prosedur yang ditetapkan,
tingkat akurasi, konsistensi dan kualitas komunikasi antarorganisasi,
efektivitas jaringan dalam organisasi (aktor-aktor)yang terlibat.
·
Sumber
daya berupa dana yang mencukupi, jaminan ketersediaan sumber pendanaan,
dukungan pemerintah pusat dan pemerintah lokal (serta para birokratnya),
kemampuan bargaining pemerintah dengan Funds (lembaga atau negara
pembiaya).
Pengalaman praktek desentralisasi di Indonesia telah lama melewati sejarah yang
sangat panjang, yakni sejak pertama kali digagas dan diterapkan oleh pemerintah
Kolonial Belanda melalui Decentralisatie Wet,
23 Juli 1903 ( The Liang Gie, 1993, 1994, 1995 dan Josef Riwu Kaho,
1998, 2001 ). Namun pelaksanaan secara luas baru dimulai sepuluh tahun terakhir
sejak digulirkannya UU No 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No 32
Tahun 2004 bahkan sedang disiapkan rancangan perubahan untuk disempurnaan
kembali pada tahun 2010/11 ini.
Berdasarkan
hasil riset dan evaluasi terhadap pengalaman pelaksanaan politik desentralisasi
dan otonomi daerah, sebagian terbesar menunjukkan kegagalan memenuhi tujuan awalnya
terutama yang terkait dengan produk
pelayanan
dasar yakni pendidikan dan
kesehatan (Djojosukanto, dkk, 2008).
Secara makro sebenarnya pemerintah daerah gagal dalam praktek berdemokrasi, serta gagal dalam
mewujudkan kesejahteraan dan system pelayanan public
yang lebih baik, dengan sejumlah pengecualian yang sangat terbatas di
beberapa daerah.
Berikut beberapa implikasi yang timbul
dalam pelaksanaan desentralisasi :
1.
Menurut
Cornelys Lay, (2010) sebagian besar daerah justru dihinggapi sejumlah patologi
yang kronis dalam pengelolaan pemerintahan di daerah.
2.
Menurut
Robison dan Hadiz, (2003) praktek desentralisasi telah menjadi lahan
kekuasaan dan
pundi-pundi baru bagi praktek2 politik kotor dan premanisme politik
yang sudah mengakar sejak lama, sehingga yang paling diuntungkan adalah para
elit local.
3.
Sebab
menurut Pradjna R, (2002) para penguasa local telah
mereorganisasi ekonomi politiknya melampau batas-batas regulasi formal
dengan memanfaatkan berbagai kelemahan
aturan untuk meningkatkan kekayaan dan kekuasaannya.
4.
Menurut Hidayat,
(2007 ) perkembangan lebih akhir menunjukkan bahwa proses bertahannya
kekuatan-kekuatan lama mengalami pergeseran dramatis, yakni kelompok oligarkis
yang dibangun semasa orde baru berhasil mereorganisasi diri tidak semata-mata
dengan mangandalkan cara-cara yang kotor seperti politik uang dan premanisme,
juga tidak semata-mata mampu mengkonsolidasi diri dalam suasana demokratis
tetapi juga dengan menggunakan mekanisme demokratis. Tolong ulang kuliah berikut (
Ada tugas Mid) : Evaluasi yang dilakukan
atas berbagai usulan perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tidak mengalami
pergeseran perspektif yang signifikan. Pokja Depdagri, memang mengusulkan
adanya kebutuhan untuk mengatur “kawasan khusus” tetapi secara umum
desentralisasi masih dipahami dalam makna uniformitasnya, (Djojosukanto,dkk,
2008) sebagai paradigma dominan hampir tunggal yang menuntun keseluruhan logika
rancangan kebijakan desentralisasi di Indonesia sampai saat ini. Pada hal
uniformitas telah mengabaikan
fakta keragaman yang melekat dalam daerah-daerah dan sekaligus mengabaikan
kepentingan nasional dalam kerangka desentralisasi, seperti kepentingan untuk
menjaga keutuhan negara. Yang terjadi kemudian gagasan penyebaran
kekuasaan lewat desentralisasi dilaksanakan secara seragam untuk semua daerah tampa mempertimbangkan
perbedaan-perbedaan mendasar antar berbagai daerah dan keunikan yang dimilki
daerah-daerah.
Karena itu menurut
Cornelys Lay, (2010) dibutuhkan cara berpikir baru yang bertumpu pada adanya
kebutuhan untuk memperhatikan perbedaan
antar daerah dan keunikan masing-masing daerah sekaligus kepentingan obyektif
Indonesia sebagai sebuah negara bangsa yang kemudian menjadi titik tolak untuk
merancang kebijakan desentralisasi ke depan secara lebih baik.
Paradigma seperti inilah yang dikenal sebagai asymmetrical decentralization yang secara legal konstitusional sebenarnya
memiliki akar yang kuat pada konstitusi dan spirit yang melekat dalam praktek
desentralisasi Indonesia sejak awal kemerdekaan, sayangnya tidak dirumuskan
secara tajam dalam regulasi-regulasi nasional terkait desentralisasi. Pada hal
dalam kenyataan desentarlisasi asimetris itu telah dipraktekkan pada beberapa daerah
seperti Papua, NAD, DIY dan DKI Jakarta, adanya pengembangan ragam zona
spesifik seperti Kapet (kawasan pengembangan ekonomi terpadu), pusat-pusat
pertumbuhan, kawasan otoritas, misalnya Otoritas Batam, berikut kota-kota
mandiri, sesungguhnya berangkat dari logika asymmetrical decentralization,
hanya saja praktek-praktek pengaturan daerah atau kawasan secara asimetris di
atas belum terintergrasi sebagai bagian dari regim desentralisasi yang
dikembangkan di Indonesia. Dan
seharusnya hal itu tidak untuk beberapa daerah saja melainkan untuk
semua daerah otonom di Indonesia.
Mengapa Desentralisasi Asimetris ?
Pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah di beberapa daerah merupakan praktek
penyelenggaraan pemerintahan yang cukup umum diterapkan di banyak negara. Pengalaman ini berlangsung baik di dalam
bentuk negara kesatuan yang diberi desentralisasi maupun dalam format
pengaturan federatif.
Sejumlah kedutaan yang yang diwawancarai dengan menggunakan metode FGD dari Tim
Peneliti PLOD UGM, (2009) dan kajian komparasi atas berbagai negara
mengungkapkan luasnya penerapan model ini di beberapa negara, seperti di India
(Jammu Kashmir), Pakistan (Gilgit Baltistan), Spanyol, China, Filipina, Afrika
Selatan, Meksiko, Findlandia, Norwegia, Kanada, Denmark, Perancis, Italy.
Portugal, dllnya.
Bagi Indonesia realitas masyarakat kita yang sangat
plural bisa menjadi kekuatan atau dasar untuk mengembangkan model desentralisasi asimetris. Menurut
Cornelis Lay skema kebijakan ini dimaksudkan untuk menjawab tantangan –
tantangan atau untuk mencapai tujuan-tujuan yang secara tipologis dapat
dibedakan ke dalam lima tipe :
1.
Tantangan
yang bersifat politik, terutama yang terkait dengan regional questions.
Pengaturan asimetris ditempuh sebagai strategi kebijakan untuk mempertahankan
batas wilayah kekuasaan unit politik (basic
boundaries) suatu negara. Rancangan desentralisasi asimetris atau federasi
asimetris dengan motivasi politis ini adalah yang paling luas ditemukan dalam
pengalaman di berbagai negara, dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda di
setiap negara.
2.
Sebagai
instrumen kebijakan untuk mengakomodasi keunikan budaya dan perbedaan alur
kesejarahan, termasuk dalam kerangka perlindungan kaum minoritas dan manajemen
konflik.
3.
Kebijakan
untuk menjembatani tantangan yang bercorak teknokratik managerial, yakni keterbatasan
kapasitas suatu daerah atau suatu wilayah dalam menjalankan fungsi dasar
pemerintahan. Hal ini muncul ketika daerah tidak mampu menyampaikan atau
menyediakan pelayanan public secara memadai dan efisien sebagaimana daerah lain
yang berada di level yang sama. Pendekatan asimetris memungkinkan pejabat
pemerintah yang berwenang di tingkat nasional memaksimalkan rentang fungsi dan
kekuasaannya. Rentang fungsi dan
kekuasaan ini bisa dibatasi dikemudian hari apabila telah terbangun kapasitas
yang cukup memadai. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi terhadap kapasitas
daerah. Penerapan desentralisasi
asimetris karena argumen ini boleh jadi sangat relevan untuk Indonesia saat
ini, terutama jika berbagai data dan informasi mengenai kegagalan pelayanan
public seiring dengan lahirnya daerah-daerah baru adalah benar.
4.
Kebijakan
yang dirancang untuk memperkuat kapasitas kompetitif sebuah negara bangsa dalam
kerangka persaingan global dan regional yang semakin keras.
5.
Kebijakan
yang dirancang sebagai instrumen untuk meminimalisasi resiko, misalnya bagi
kawasan-kawasan perbatasan yang mengandung resiko bagi keamanan negara dan
keutuhan teritorial negara bangsa,
kawasan dengan resiko pengulangan bencana yang tinggi ataupun kawasan
dengan siklus rawan pangan yang ajeg.
Di
Indonesia penerapan asymetrical decentralization bukan merupakan pengalaman
baru. Aceh dan Papua adalah contoh tipikal dari penerapan prinsip ini guna
menjawab terus menguatnya “regional questions” di dua kawasan panas ini.
Sementara Yogyakarta, merupakan contoh penting dari penggunaan instrumen
kebijakan asymetrical decentralization sebagai instrumen untuk mengakomodasi,
melindungi, mengapresiasi, memberikan ruang bagi eksistensi keunikan kultur dan
sejarah.
Literatur
Cheema, Rondinelli.
Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing
Countries, chapter 1, 2. Sage Publications.
Smith,
B.C.. Decentralization: The Teritorial Dimension of The State, chapter
1, 2.
Alderfer, Harold F. Local Government in
Developing Countries, McGraw-Hill Book Company, 1964
Bennett, Robert, Local
Government and Market Decentralization: Experiences in Industrialized,
Developing and Former Eastern Bloc Countries, chapter 1,2, United Nations
University Press,1994.
Mawhood, Philip, Local
Government in The Third World: The Experience of Tropical Africa, chapter
1, John Wiley & sons,1995.
Boone, Chaterine, Decentralization
as Political Strategy in West Africa dalam Comparative Political Studies,
vol 36, Sage Publications, 2003.
Teori
Desentralisasi, kumpulan makalah
studi kasus. Perpustakaan S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah.
mantappp
BalasHapus