Minggu, 18 Desember 2016

Modul Mata Kuliah Pemerintahan Daerah (IPM UNWIRA)

BAB II
POLITIK  SENTRALISASI ,
DEKONSENTRASI DAN VRIJ BESTUUR

A. Pengantar

Lipson dalam Lay, (2008) mengemukakan “five great issues”  dalam proses politik, dimana masing-masing masalah itu merupakan pilihan diantara dua alternatif yang saling bertolak belakang dan melahirkan konsekuensi yang berbeda. Satu dari 5 persoalan atau pertanyaan politik yang bersifat permanen dan krusial itu adalah pilihan di antara apakah kekuasaan harus dipusatkan ataukah didistribusikan. Pilihan yang dijatuhkan pada salah satunya itu nantinya sangat menentukan format pengaturan hubungaan antara pusat dan daerah-daerah dalam satu negara, yakni apakah centralization ataukah local authonomy (decentralizatiton).



B. Asas – Asas Penyelenggaraan Pemerintahan

Dalam penyelenggaraan pemerintahan dikenal beberapa prinsip atau asas, antara lain adalah  sentralisasi, desentralisasi, dekonsentarsi, konsentrasi, tugas pembatuan/ medebewind, dan vrij bestuur. Dalam bagian ini perhatian akan difokuskan pada asas sentralisasi, dekonsentrasi dan vrij bestuur.

1. Sentralisasi

Sentralisasi merupakan salah satu pilihan yang banyak ditemukan dalam pengalaman pengelolaan kekuasaan, terutama sebelum ide tentang demokrasi menemukan momentumnya. Sentralisasi merupakan prinsip penyelenggaraan pemerintahan di mana kekuasaan terpusat pada satu badan yang otoritatif yang memegang segala wewenang dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan. Sebagai contohnya Indonesia di bawah pendudukan Inggris dan Perancis, kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang (dengan diberlakukannya Osamuseirei No. 27/1942), pemerintahan kolonial fase-fase tersebut adalah bercorak sentralisasi. Kemudian di bawah kepemimpinan Soeharto, meskipun dibungkus dengan asas dekonsentrasi, medebewind dan otonomi. Negara-negara bekas komunis seperti Uni Soviet, Yugoslavia, Cina juga pernah menerapkan sistem sentralisasi ini. Begitu juga dengan negara-negara di Asia Pasifik seperti Jepang, Korea, Filipina, Thailand, Bangladesh, Nepal, Sri Lanka.

Dalam perkembangan modern, praktis tidak ada lagi negara yang menjalankan sentralisasi secara penuh. Bahkan sejak masa lalu, usaha-usaha untuk memodernisasi sentralisasi yang penuh sudah dilakukan. Di Unisoviet, misalnya, usaha-usaha untuk memoderasi sentralisme telah dilakukan dengan pengadopsian dan pelaksanaan ide pengalihan kekuasaan pada unit-unit yang lebih rendah, sekalipun hanya berlangsung pada organisasi parastatal (semacam BUMN) dan bukan organisasi politik. Unit-unit produksi yang lebih rendah diberi kewenangan untuk menentukan quota produksi dalam lingkup wilayah kerja mereka yang sebelumnya sepenuhnya ditentukan oleh Pusat.
Alasan-Alasan Bagi Sentralisasi :
1.    Alasan Kultural Politik
Yaitu menyangkut bagaimana cara pandang suatu masyarakat (dan elit) mengenai sifat dan hakekat kekuasaan, yakni bahwa :
Ø  Kekuasaan bersifat tetap (jumlah, kualitas, dan sifat-sifatnya) dan abstrak.
Ø  Hubungan kekuasaan dilihat dalam kerangka teori zero sum-game dimana pengurangan atau penambahan kekuasaan pada satu pihak (orang, kelompok, daerah) akan diikuti oleh penambahan atau pengurangan dengan jumlah dan kualitas yang sama pada pihak (orang, kelompok, daerah) lain.

Contoh: kerajaan-kerajaan konsentris dalam tradisi Jawa dan banyak kawasan Asia  Tenggara yang dibangun di atas konsep Raja-Dewa

2.    Alasan Ideologis
Yaitu menyangkut cara pandang mengenai hakekat masalah dalam politik dan pemecahannya:
Ø  Pada dasarnya penguasaan atas sarana dan aset-aset produksi harus berada di  tangan kolektif guna menjamin equality dan hilangnya eksploitasi dan penindasan.
Ø  Dalam kerangka penyatuan aset dan sarana produksi ini, sentralisasi dilihat sebagai metode yang efektif.
Ø  Demikian pula, perjuangan mencapai equality dan penghapusan eksploitas membutuhkan penyatuan seluruh energi secara nasional untuk retribusi kembali.
Ø  Posisi ini menjadi posisi ideologis dari dan sekaligus praktek penyelenggaraan pemerintahan di negara-negara blok komunis.
3.    Alasan Modernisasi
Yaitu menyangkut kemajuan sebuah masyarakat sangat ditentukan oleh derajat modernisasi dalam masyarakat yang bersangkutan:
Ø  Negara-negara dunia ketiga dihadapkan pada kesulitan-kesulitan :
(a)  resources yang terbatas
(b)  SDM yang terbatas
(c)  skills perencanaan yang rendah
(d)  keterbatasan penguasaan iptek dan kealpaan  modal.
Ø  Karena keterbatasan di atas, maka harus disentralkan sehingga menjadi kekuatan kolektif yang cukup kuat untuk menangani persoalan-persoalan yang timbul.
Ø  Sulit bagi sebuah negara untuk menyebarkan sumber-sumber terbatas di atas karena efek yang ditimbulkan sangat terbatas. Sentralisasi dilihat sebagai metode efektif untuk mengejar ketertinggalan negara-negara dunia ketiga. Itulah sebabnya, muncul sistem perencanaan terpusat yang dalam pengalaman Indonesia dihadirkan melalui pembentukan Bapennas.
Ø  Rasionale di balik teori trickle-down effect dan adanya sistem perencanaan nasional (terpusat) – national atau central planning board -- adalah agar sumber daya yang terbatas bisa disatukan dan memberikan efek yang besar dalam mendorong perubahan dalam masyarakat.

Ø  Gagasan modernisasi mulai muncul tahun 50-an, akan tetapi mencapai puncak kejayaannya antara pertengahan tahun 1960-an hingga pertengahan 1980-an.

Ø  Selama periode ini, sangat sedikit negara yang tidak menerapkan prinsip sentralisasi, sekalipun dengan derajat yang berbeda-beda, apalagi di negara-negara dunia ketiga. Pengecualiaan hanya terbatas, semisal Tanzania di bawah Julius Nyirere dengan konsep Ujamaa-nya

  1. Alasan Politik
Yaitu menyangkut kebutuhan untuk Nation and State Building :
Ø  Negara-negara dunia ketiga umumnya dibangun di atas konsep bangsa yang masih sangat mudah dan rapuh, sementara di dalamnya telah hidup masyarakat yang sangat beragam yang sudah sangat tua.
Ø  Akibatnya, negara menjadi sangat rapuh dihadapan masyarakat yang sudah sangat tua. Guna mendapatkan posisi negara dan bangsa yang kuat yang diyakini sebagai alat organisasional modern untuk memajukan masyarakat, maka  sentralisasi digunakan oleh banyak negara baru.
Ø  Dengan kata lain sentralisasi merupakan metode politik untuk mewujudkan nation and state building. Hal ini lebih menonjol lagi di negara-negara majemuk dimana konflik antar kelompok kategori besar menjadi ancaman kongkrit, kecenderungan cetrifugal kuat berkembang, dan ancaman disintegrasi teritorial sangat kuat.
  1. Alasan Sejarah
Ø  Dalam konteks seperti di atas, adanya kesatuan komando, penyatuan atau sentralisasi energi, penyatuan kekuatan-kekuatan lokal ke dalam kesatuan nasional guna menghadapi musuh bersama menjadi kebutuhan tak terhindarkan. Dalam konteks ini, sentralisasi menjadi pilihan yang tak terhindarkan.
Ø  Sejarah banyak negara membuktikan bahwa selama masa-masa penjajahan, dan terutama pada periode pergulatan untuk meredeka, otoritas politik lokal – kerajaan, kesultanan, dan sebagainya, pada umumnya menjadi kekuatan yang berkolaborasi dengan kekuatan penjajah. Akibatnya, muncul sentimen anti otoritas yang sangat kuat, baik di kalangan masyarakat daerah apalagi di kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Ini yang menyebabkan daerah akhirnya ditinggalkan, bahkan cenderungan dimatikan dalam proses politik berikutnya.
Keuntungan Sentralisasi:
1)   Dapat menjadi alat dari kesatuan politik atau masyarakat.
2)   Mencegah timbulnya peluang untuk melepaskan diri sebagai warga negara.
3)    Mempertahankan konsistensi dalam perundang-undangan, pemerintahan dan kehakiman.
4)    Mengutamakan kepentingan keseluruhan di atas kepentingan bagian-bagian.
5)    Pengumpulan tenaga-tenaga yang tidak kuat menjadi suatu kekurangan yang berarti.
6)    Dalam keadaan tertentu dapat berefisiensi lebih besar.

2. Dekonsentrasi

·  Salah satu metode yang luas dipakai untuk melunakkan sentralisasi adalah diintrodusir dan dipraktekannya dekonsentrasi sebagai metode atau prinsip dalam  pengelolaan pemerintahan dan politik.

·  Hubungan antara pusat dan daerah-daerah dikelola dengan menggunakan dekonsentrasi dimana pelaksanaan kebijakan didelegasikan pada daerah-daerah, sementara aspek penentuan kebijakan, pembiayaan dan pengawasan tetap berada di tangan otoritas politik nasional.


Dekonsentrasi Dalam Konsep

Menurut Cheema dan Rondinelli, dekonsentrasi merupakan redistribution beberapa kewenangan atau tanggungjawab administratif kepada tingkat di bawahnya dalam pemerintah pusat (redistribution of administrative authority or responsibility to lower levels within central government ministries and agencies – a shifting of workload from centrally located officials to staff or offices outside national capital). Dekonsentrasi melahirkan wilayah-wilayah administrative (field administration).
Dari sifatnya, dekonsentrasi dibedakan menjadi 2 :
1.  Dekonsentrasi horizontal : Presiden yang sedang membagi-bagi kekuasaanya kepada para menteri-menterinya disebut sebagai dekonsentrasi horizontal karena  para menteri tersebut kedudukannya adalah sama.
2.   Dekonsentrasi vertikal : Misalnya dalam UU No. 5/1974 dimana ada 3 tingkat wilayah administrative dengan Gubernur, Bupati dan  Camat sebagai kepalanya. Gubernur, Bupati dan Camat kemudian memencarkan kewenangannya kepada perangkat-perangkat di daerah. Inilah yang disebut sebagai dekonsentrasi vertikal karena kedudukannya mereka adalah tidak sama/tidak sejajar.
Dekonsentrasi vertikal dibedakan menjadi 2, yaitu :
1)    Field administration; kepada pejabat di lapangan diberi kekuasaan untuk mengambil keputusan misalnya merencanakan, membuat keputusan-keputusan rutin dan menyesuaikan pelaksanaan kebijaksanaan Pusat dengan kondisi lokal yang dilakukan atas petunjuk departemen Pusat. Para pejabat lokal bekerja dibawah  pemerintah lokal yang memiliki kewenangan semi autonomous, namun mereka  adalah pegawai depertemen Pusat dan tetap berada di bawah perintah dan supervisi Pusat.
2)    Local administration adalah bentuk dekonsentrasi dimana setiap pejabat di setiap tingkat pemerintahan merupakan wakil dari pemerintahh Pusat, dikepalai oleh seorang yang diangkat oleh, berada di bawah dan bertanggungjawab kepada departemen Pusat. Mereka bekerja di bawah pengawasan teknis depertemen  Pusat.
Local administration sendiri dibedakan menjadi 2, yakni :
1.    Integrated local administration: dimana pejabat-pejabat dari departemen Pusat yang ditempatkan di daerah berada langsung di bawah perintah dan pengawasan Kepala Eksekutif Daerah, yang diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada pemerintah Pusat. Mereka diangkat, digaji, dipromosikan dan dimutasikan oleh departemen Pusat, tetapi berkedudukan sebagai staff teknis Kepala Eksekutif Wilayah dan bertanggungjawab kepadanya.
2.    Unintegrated local administration: pejabat-pejabat departemen Pusat yang berada di daerah dan Kepala Eksekutif Wilayah, masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Masing-masing bertanggungjawab kepada departemennya di Pusat. Koordinasi dilakukan secara informal. Pejabat teknis tersebut mendapat perintah dan diawasi oleh masing-masing departemen.
Konsep dekonsentrasi paling banyak diterapkan di negara-negara berkembang pada dekade yang lalu. Di Indonesia, Thailand, Pakistan, Tunisia, Filipina, Sri Langka, Morocco, dekonsentrasi mendorong transfer tanggungjawab dan financial grants dari pemerintah pusat kepada provinsi, distrik atau unit-unit administrasi lokal. (Cheema and Rondinelli, 1983).
           
4. Vrij bestuur

Ø  Adalah prinsip pengelolaan pemerintahan yang juga digunakan untuk melunakkan penerapan prinsip atau metode sentralisasi.

Ø  Kewenangan pusat kepada daerah yang tidak termasuk dalam asas-asas di atas (asas desentralisasi, sentralisasi, dekonsentrasi, konsentrasi, dan tugas pembantuan), dikelompokkan ke dalam Vrij bestuur atau Tampung Tantra. Misalnya adalah pos.


C. Praktek Sentralisasi dan Dekonsentrasi

Kecenderungan praktek sentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di negara-negara berkembang menjadi gejala yang umum, terutama pasca Perang Dunia II, meskipun dalam undang-undangnya mencantumkan desentralisasi sebagai salah satu asas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Sejak dekade 1950-an pola-pola pengendalian secara sentralistis dilakukan oleh pusat terhadap kegiatan pembangunan. Alasan diterapkannya pola sentralisasi tersebut adalah :
Ø  Karena adanya anggapan dan keyakinan yang kuat dari pembuat keputusan      bahwa usaha pembangunan akan berjalan secara efektif apabila dilakukan terpusat (sentralistis).
Ø  Perlunya memanfaatkan sumberdaya yang terbatas seefektif mungkin guna menjamin percepatan pertumbuhan ekonomi dan industri. (E. Koswara, 1966)
Ø  Upaya sentralisasi dalam perencanaan dan administrasi juga dipandang perlu guna memberikan arah dan pengawasan/pengendalian terhadap pembagunan ekonomi serta mempersatukan bangsa yang sedang tumbuh sebagai akibat dari masa  penjajahan yang cukup lama (Gunnar Myrdall).
Ø  Dengan sentralisasi terbuka kemungkinan untuk merencanakan dan memprogramkan pertumbuhan ekonomi seperti yang disarankan oleh para ekonom Barat melalui model ekonometrik. Sehingga desentralisasi cenderung tidak disukai dan justru dipandang memperlemah persatuan dan kesatuan bangsa. (Sofian Effendi, 1988)

Sementara itu kebanyakan negara Asia Pasific mempraktekkan sistem sentralisasi yang berlebihan (highly centralized), karena:
Ø  Pengalaman negara-negara tersebut akan kolonialisme dan sistem monarkhi
Ø  Nation/state building yang sulit dibangun selama periode post-colonial
Ø  Teori sentralisasi pembangunan yang berkembang di tahun 1950-an dan 1960-an.
Local government yang diciptakan oleh kolonialis sengaja guna mendapatkan dukungan lokal dan untuk kekuatan perlengkapan negara. Jadi ketika memperoleh kebebasan politik, negara-negara tersebut mewarisi dan mempertahankan sistem sentralisasi – dalam  bentuk kesatuan seperti kasus-kasus di negara Jepang, Korea, Cina, Filipina, Indonesia dan Thailand, Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka; dan dalam kasus negara yang berbentuk federasi seperti di Pakistan, India, dan Malaysia. (Raul P. De Guzman dan Mila A. Reforma, 1993) Namun menjelang akhir dekade 1960-an, ide sentralisasi mulai ditinggalkan oleh negara-negara berkembang karena beberapa alasan :
Ø  Pertumbuhan ekonomi negara-negara sedang berkembang pada 1950-an dan 1960-an ternyata lamban sekali. Walaupun di beberapa negara terjadi pertumbuhan tinggi, namun pertumbuhan hanya dinikmati sebagian kecil golongan masyarakat.
Ø  Laju pertumbuhan daerah berjalan timpang.
Ø  Standar hidup masyarakat yang berpenghasilan rendah dan yang tergolong miskin absolut meningkat besar.
Ø  Perencanaan pembangunan top-down ternyata terlalu kaku dan diragukan keampuhannya. Pola demikian hanya menguntungkan kepentingan lembaga-lembaga pemerintah dan swasta yang seharusnya menjadi generator pembangunan bahkan masyarakat lokal/daerah dibebani pelbagai beban (Klu).
Ø  Terlalu menyamaratakan konsep pembangunan dan tidak menghiraukan perbedaan-perbedaan dalam sistem nilai, aspirasi masyarakat dan variasi-variasi spasial (The Kian Wie, 1981).
Ø  Pemerintahan sentralistik dinilai tidak mampu memahami secara cepat nilai-nilai daerah atau sentimen dan aspirasi daerah. Warga masyarakat merasa lebih aman dan tenteram dengan badan pemerintah lokal yang lebih dekat kepada mereka baik secara fisik maupun psikologis. (rust, 1969)
Ø  Sejak akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, sistem sentralisasi mulai ditinggalkan dan desentralisasi mulai dipraktekkan negara-negara berkembang.

D. Dari Sentralisasi Ke Desentralisasi: Pengalaman Beberapa Negara

    Jepang
·   Setelah pemerintahan Meiji berkuasa sesudah jatuhnya pemerintahan Yedo, Fu atau Ken (prefektur-prefektur) dilantik  tahun 1871 sebagai unit-unit administrasi nasional. Akibatnya, prefektur-prefektur memiliki 2 karakter ganda yakni unit pemeritahan administrasi nasional oleh Gubernur dan unit pemerintahan lokal. Pelantikan prefektur menggantikan sekitar 300 pemerintahan feodalistik kerajaan yang dikontrol Shogun, yang mengatur sistem  sosial ekonominya sendiri dan sistem birokrasi serta kekuatan militer sendiri.
·   Secara berturut-turut reformasi administratif lokal dilakukan. Pada akhirnya memunculkan undang-undang Municipality Act dan Prefecture Act tahun 1888. Kedua undang-undang ini berbasis pada pengakuan bahwa entitas publik lokal harus dibagi tanggung jawab administrasi nasional; dan juga adopsi terhadap demokrasi representatif yang terbatas pada tingkat pemerintahan lokal, di mana masyarakat akan mendapatkan pengalaman pada administrasi pemerintahan lokal.
·   Pada tahun 1890, Gun atau counties (kabupaten) didirikan, tetapi kemudian dihapuskan karena terjadi ambiguitas akan fungsi dan karakternya (Nagata, 1987:116). Meskipun sistem pemerintahan lokal diformulasikan pada bagian dari dua undang-undang tersebut, dan kemudian mengalami beberapa revisi, tapi tetap saja undang-undang itu sebagai tulang punggung sistem pemerintahan lokal di Jepang untuk kurang lebih sekitar 60 tahun sampai resivi secara revolusioner pasca Perang Dunia II. Akan tetapi, Konstitusi Meiji yang dibuat tahun 1889 tidak mempunyai referensi untuk pemerintahan lokal.
·   Pasca Perang Dunia II, pemerintah Jepang menjalankan dengan seksama desentralisasi administrasi. Tahun 1946, satu tahun sesudah perang, gubernur-gubernur prefektur, untuk pertama kalinya ditetapkan oleh pemerintah pusat, untuk dipilih secara langsung oleh rakyat. Ini diikuti oleh penguatan  majelis lokal.
·   Pada tahun 1947 untuk pertama kalinya Konstitusi Jepang mengumumkan dengan resmi klausal-klausal yang berisi perlindungan otonomi lokal. Juga terdapat Local Autonomy Law yang menetapkan dasar bagi sistem otonomi lokal sekarang ini. Local Autonomy Law menjamin otonomi penuh setiap kotamadya atau prefektur. Peraturan-peraturan yang pernah dikeluarkan oleh Menteri Urusan Internal (Dalam Negeri) juga dicabut semuanya.
·   Pemerintahan prefektur adalah comprehensive and regional local publik body yang meliputi beberapa kotamadya.
·   Pemerintahan prefektur menjalankan fungsi-fungsi regional, al. pengembangan pekerjaan-pekerjaan regional, pertumbuhan infrastruktur industri, pemeliharaan dan konstruksi jalan-jalan, sungai serta fasilitas-fasilitas umum bagi daerah. Juga menjalankan fungsi-fungsi administrative, seperti administrasi pendidikan wajib, administrasi kepolisian, dan persoalan perijinan yang terkait dengan urusan bisnis.
·   Pemerintahan kota merupakan entitas dasar publik lokal yang mengatur kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kebutuhan dasar warga seperti registrasi/ pendataan keluarga, konstruksi dan pemeliharaan area parkir, sistem pengairan dan pembuangan kotoran, sistem pembuangan sampah, penempatan dan pemeliharaan sekolah, serta pembiayaan unit/kelompok pemadam kebakaran.
·   Di tahun 1950, financial powers juga mulai berpindah ke tangan pemerintah lokal melalui Local Tax Act, dimana ditetapkan pemerintah lokal dengan sumber-sumber penghasilan sendiri. Pemerintah kota mendapatkan sumber pajak yang relatif stabil seperti property dan pendapatan; sementara pemerintah prefektur menetapkan penyamarataan hak atas ketidakseimbangan sumber pajak yang disebabkan oleh perbedaan populasi dan akumulasi industri lokal.
·   Tahun 1960, Jepang secara bertahap mampu mengembalikan kekuatan nasionalnya. Tingkat perekonomiannya sudah melewati masa-masa perang dunia. Sektor swasta mampu menghimpun kekuatannya. Kebijakan-kebijakan nasional mulai diarahkan serius pada fasilitas-fasilitas produksi. Ditahun berikutnya, sejalan dengan Comprehensive Development Plan, pemerintah lokal mengembangkan industri-industri regional. Program tersebut memperkenalkan kepada masyarakat berbagai macam kebijakan untuk dapat menambah pendapatan masyarakat dengan mengesahkan secara hukum kawasan-kawasan perindustrian dengan memajukan pertanian dan perikanan. Pemerintah lokal tidak hanya mampu mengembangkan berbagai fasilitas publik yang esensial tapi juga sudah mampu secara substansial meningkatkan tingkat pelayanan kesejahteraan seperti di negara-negara Barat.
·   Di tahun 1980, Jepang mulai menggunakan “Third Sector”, membuka sebuah entitas melalui korporasi atau kerjasama atas sektor pertama yakni sektor publik dan sektor kedua yakni sektor swasta untuk menjalankan perusahaan. “Third Sector” memiliki keuntungan yaitu: (1) tidak perlu memakai sistem anggaran publik yang membutuhkan persetujuan dari dewan/majelis. (2) dapat memanfaatkan dana pribadi (swasta) dengan lebih bebas dan cepat. (3) memperoleh tanah/perkebunan publik secara sistematis dan didahulukan. (4) dapat memanfaatkan keuntungan atas pekerjaan-pekerjaan publik dan swasta seperti orientasi investasi jangka panjang dari sektor publik, akses kredit, mengkoordinasi mekanisme kapabilitas.
·   Pemerintah Jepang juga mempercayai kegiatan-kegiatan sektor privat untuk meminimalisir pengeluaran. Beberapa kegiatan seperti pemeliharaan gedung, pemulungan sampah, dam lain-lain juga dipercayakan kepada sektor privat. Upaya privatisasi ini hampir dijumpai hampir di seluruh perusahaan Jepang, meski tidak semuanya sukses. Kesusksesan terjadi apabila : (1) seleksi yang tepat seperti kondisi tempatnya, situasi ekonominya dll. (2) rencana manajemen termasuk pengwasan perusahaan oleh pemerintah lokal. (3) kehadiran semangat wirausaha dan (4) memikirkan metode untuk memperoleh dukungan dan partisipasi dari penduduk (Local Autonomy College, 1991:256).

      Korea Selatan
·   Memiliki tradisi sentralisasi pemerintahan yang sangat kuat, tidak pernah tercatat bahwa pemerintahan lokal pernah diberikan otoritas pemerintahan sendiri oleh rezim pemerintahan yang pernah memimpin negara ini. Institusi-institusi lokal swatantra seperti Hyangso dan Hyangyak (Cho.1992) yang ada tidak pernah menjalankan fungsinya sebagai institusi politik.
·   Selama 35 tahun di bawah pendudukan Jepang tercengkeram kuat dalam pegangan rezim pusat. Sifat dari sistem kolonial mengharuskan dilanjutkannya kebijakan sentralisasi.
·   Pendudukan singkat militer Amerika Serikat ditandai dengan sentralisasi.
·  Sejarah mengenai pemerintahan lokal di Korea, dari permulaan terbentuknya sejarah bangsa sampai dengan tahun 1948, merupakan sejarah panjang strong centralized control (Cho, 1992).
·   Tahun 1948 Konstitusi Korea disusun setelah kemerdekaan, yang terdiri dari 2 pasal tentang otonomi lokal. Local Autonomy Law kemudian disahkan 4 Juli 1949 dengan ketentuan antara lain : (1) Pemilihan secara tidak langsung walikota, kapala daerah, kepala desa oleh anggota-anggota dalam pertemuan dan  disetujui oleh Presiden Republik Provinsi yang bersangkutan. (2) Tipe dan tingkat swatantra lokal sungguh-sungguh ada. (3) Fungsi dan ruang gerak swatantra lokal benar-benar ada.
·   Tahun 1956 ketika terjadi pergantian junta militer, menangguhkan pemerintahan lokal untuk sementara waktu. Amandemen terhadap Local Autonomy Law berhubungan dengan pemilihan ketua eksekutif dewan pemerintahan lokal. Amandemen tahun 1960 dilakukan dengan tujuan memberikan hak rakyat memilih secara langsung official pemerintahan lokal.
·   Tahun 1961 otonomi lokal lokal diakhiri ketika terjadi kudeta militer, dimana pemerintahan yang baru mengganti Local Autonomy Law dengan Extraordinary Measure on Local Autonomy, yang memiliki pengaruh antara lain :
Ø Penolakan status legal entitas swatantra lokal menjadi unit-unit yang lebih kecil, kota dan desa.
Ø Pengangkatan kepala pemerintahan lokal oleh pemerintah pusat.
Ø Pembubaran pertemuan-pertemuan/majelis lokal. Fungsinya diambil alih oleh tingkat yang lebih dalam hierarki eksekutif.
·   Tahun 1973 lahir organisasi lokal massif yakni Saemaul Undong Movement, yang mengatur administrasi lokal pada tiap tingkat. Provinsi, kabupaten, kecamatan dan pedesaan. Pergerakan Saemaul dipusatkan pada wilayah pedesaan. Pada tingkat pusat, Saemaul Undong Bureau menjalankan kerjasama dengan Ministry of Home Affairs, maka terjadilah pengaturan ganda dari kedua institusi tersebut. Di satu sisi, Saemaul Palnning Divison didirikan di tingkat provinsi, negara, dan mylon levels. Di sisi lain, terdapat Deputy Chief ditingkat administrasi lokal yang bertanggungjawab melayani dan menyediakan bantuan bagi proyek-proyek Saemaul di pedesaan.
·   Perkembangan signifikan dalam desentralisasi di Korea adalah privatisasi Saemaul Undong oleh Fifth Republic. Para ilmuwan mengklaim, privatisasi dimaksudkan untuk merespon yang fleksibel bagi kondisi di tiap-tiap desa dan untuk mendorong partisipasi positif-sukarela serta komunikasi dua arah untuk pergerakan-pergerakan. (Ro, 1987 : 140).
·   Upaya dekonsentrasi melibatkan pembentukan IRSA (Integrated Regional Settlement Area) guna mencapai keseimbangan pertumbuhan di tiap-tiap wilayah. IRSA merupakan kesatuan ruang gerak bersama pusat dan daerah yang berdekatan dengan wilayah pedalaman (area pertanian), dimana bukan hanya pertumbuhan ekonomi saja yang dikejar, melainkan penduduk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. (Ro; 1987 : 142).

     Filipina
·   Upaya politik desentralisasi dan otonomi daerah di Filipina dimulai pada permulaan 1898 dibawah Republik Filipina Pertama dan Konstitusi Malolos. Akan tetapi upaya tersebut dialamatkan lebih kepada dimensi-dimensi struktur dan politik administratif lokal bukan pada substantif pemerintahan dimana kekuasaan dan kewenangan ditransfer. Konstitusi Malolos disediakan untuk pemerintah lokal menurut prinsip desentralisasi dan otonomi administratif. (Ocampo and Panaganiban, 1985:4).
·   Ketika Amerika mengambil alih kendali pemerintahan dari tahun 1902 sampai dengan 1935, urgensi kontrol kolonial, stabilitas politik, dan nation building menjadi prioritas. Sentralisasi diperkuat.
·   Ketika memperoleh kemerdekaan 1946, Filipina mewarisi dan mempertahankan negara kesatuan dengan sistem sentralisasi yang sangat tinggi. Undang-undang tentang otonomi lokal baru dilahirkan tahun 1959 ketika An Act Amending the Laws Governing Local Goverments by Increasing their Authonomy and Reorganizing Provincial Governments lahir.
·   Politik desentralisasi dan kemudian otonomi lokal diperoleh dan mendapatkan momentumnya dengan hadirnya Desentralisasi Act tahun 1967 (R.A. 5195), dimana kekuasaan politik dan fungsi-fungsi administrasi berpindah ke pemerintah kota yang meliputi kekuasaan menciptakan posisi-posisi dan mengangkat pejabat-pejabat provinsi dan kota. Kekuasaan anggaran juga diletakan di daerah-daerah.
·  Meskipun ada usaha pembangunan dan penguatan institusi politik lokal melalui devolusi, ketergantungan pada sumberdaya dan man power terlatih yang berasal dari pemerintah pusat tetap tinggi. Dalam semua kasus, pemerintah pusat/negara memiliki kekuasaan untuk menggantikan badan-badannya.
·   Hadirnya Martial law (undang-undang darurat) dari 1972 sampai dengan 1981 mengikis kecenderungan ke arah otonomi. Meskipun ada jaminan otonomi lokal dalam Konstitusi 1973 dan undang-undang pemerintahan lokal, kontrol pemerintah pusat terhadap urusan-urusan lokal dan pengurangan kekuasaan, fungsi dan tanggungjawab pemerintahan lokal terus meningkat. Selanjutnya pemilihan pejabat pemerintah lokal ditunda.
·   Regionalisasi administrasi dan rencana nasional telah mendekonsentrasikan fungsi-fungsi ini dari Manila, tetapi tidak menghasilkan kewenangan devolusi apapun kepada pemerintah lokal.
·   Pemerintah baru pasca revolusi EDSA 1986 menunjukkan kecenderungan sentralisasi di awal pemerintahannya. The Freedom Constitutions 1973 diumumkan resmi yang meliputi ketetapan mengenai pemerintah lokal. Akan tetapi juga dideklarasikan bahwa Presiden harus mempunyai kontrol dan exercise general supervision di seluruh pemerintah lokal. Langkah untuk mengkoreksi sentralisasi dilakukan dengan mengadakan pemilihan lokal pada 18 Januari 1988. Konstitusi baru yang telah diratifikasi pada Februari 1973 diabaikan. Hasilnya, pemerintah lokal hasil pemilihan mendapatkan kekuasaan efektif, tanggungjawab yang lebih besar, dan sumber-sumber pendapatan untuk menjamin pertumbuhannya sebagai self reliant communities.
·   Melalui Local Government Code yang disahkan oleh Kongres Filipina, mengambil alih devolusi 4  pelayanan utama pemerintahan yakni kesehatan, agriculture, public works, dan social welfare.
·   Dekonsentrasi unit-unit dasar pemerintahan lokal dan devolusi kekuasaan kepada  pemerintahan lokal dilengkapi oleh pertumbuhan privatisasi dari beberapa aktivitas pemerintahan dan memanfaatkan organisasi-organisasi non-pemerintah serta kooperatif  sebagai saluran alternatif untuk melayani masyarakat, seperti kredit untuk pengusaha-pengusaha kecil, transfer teknologi baru kepada petani, operasi public markets, dan kebutuhan-kebutuhan umum lainnya.

 

Litelatur

Cheema, G. Shabbir and A. Rondinelli (Eds.), Decentralization and Development Policy Implementation in Developing Countries, Sage Publication, 1983. (Chapter 1)
Raul De Guzman and Mila A. Reforma (Eds.), Decentralization Towards Democratization and Development, Eastern Regional Organization for public Administration, 1993. (Chapter 1)
Riwu Kaho, Yosep, Pemerintahan Daerah, makalah.
Cheema, Rondinelli. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries, chapter 1, 2. Sage Publications.
Smith, B.C.. Decentralization: The Teritorial Dimension of The State, chapter 1, 2.
Alderfer, Harold F. Local Government in Developing Countries, McGraw-Hill Book Company, 1964
Bennett, Robert, Local Government and Market Decentralization: Experiences in Industrialized, Developing and Former Eastern Bloc Countries, chapter 1,2, United Nations University Press,1994.
Mawhood, Philip, Local Government in The Third World: The Experience of Tropical Africa, chapter 1, John Wiley & sons,1995.
Boone, Chaterine, Decentralization as Political Strategy in West Africa dalam Comparative Political Studies, vol 36, Sage Publications, 2003.
Teori Desentralisasi, kumpulan makalah studi kasus. Perpustakaan S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah.










BAB III 
POLITIK  DESENTRALISASI

A. Pengantar

Lebih dari dua dekade pembicaraan mengenai desentralisasi telah menjadi perhatian berbagai negara, baik di negara maju maupun negara dunia ketiga. Mulanya, upaya sentralisasi dalam perencanaan dan administrasi pembangunan terutama di negara dunia ketiga yang dipandang perlu untuk memberikan arah, dan pengendalian terhadap pembangunan ekonomi serta mempersatukan bangsa yang sedang tumbuh sebagai akibat penjajahan yang cukup lama. Tahun 1950-1960an sentralisasi diyakini sebagai kunci sukses pembangunan. Namun pada kenyataannya banyak negara yang menemui kegagalan, khususnya di negara dunia ketiga. Meskipun  pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan namun hanya sebagian kecil kelompok masyarakat yang merasakan manfaatnya. Hal ini terjadi karena kebijakan pembangunan yang dihasilkan adalah kebijakan yang diadakan untuk menyenangkan lembaga pendonor, tidak memperhatikan keadaan obyektif di dalam negeri.
              Ketidakmampuan untuk memahami secara cepat local value, aspirasi daerah menjadikan pemerintahan yang sentralistik kurang populer. Mawhood mengemukakan 4 alasan memudarnya “pemihakan” pada sentralisasi, yaitu:
           1.     More open political competition and personal career building among politicians and bureaucrats alike;
           2.     A tendency in the regime to aim – at least temporarily – for reduced popular participation
           3.     Poor performance in many autonomous local authorities;
           4.      A climate of opinion in which liberal economists as well as marxists thinker were urging the virtue of centralized planning mechanism as the key to rapid development
Mulai tahun 1970an maraklah pencarian rumusan konsep-konsep pembangunan yang mampu mengatasi kegagalan sentralisasi. Para ahli dan pembuat kebijakan mulai menyadari bahwa pembangunan mensyaratkan transformasi mendasar pada struktur sosial, ekonomi, politik yang memungkinkan peningkatan produktifitas dan pendapatan kaum miskin. Struktur pasar yang kelihatannya efektif memajukan pembangunan di negara industri ternyata tidak bekerja di negara dunia ketiga; kemiskinan tidak serta merta berkurang  melalui trickle down effect.
Strategi growth with equality, people centered development adalah tawaran solusi mengatasi kegagalan sentralisasi. Manusialah yang harus menjadi fokus dan sumber pembangunan yang utama bukan ekonomi atau teknologi. Menurut Hollensteiner, pembangunan yang demikian berusaha untuk: “promote  the empowernment of people instead of perpetuating the dependency creating relationship so characteristic of top down”. Pemerintahan di beberapa negara kawasan Amerika Latin mendirikan korporasi untuk menstimulasi investasi lokal, dan produksi pertanian yang lebih banyak. Pemerintahan di Afrika mendirikan komite perencanan pembangunan di tingkat propinsi, distrik, daerah. Di Asia, badan perencanaan dan pembangunan daerah berkembang dengan cepat.
Tahun 1990an gelombang baru paradigma desentralisasi melanda di hampir semua negara seiring dengan jargon good governance, local government, demokrasi, local governance, civil society dan partisipasi.

B. Mengapa Desentralisasi?


Para penganjur desentralisasi menawarkan berbagai alasan pentingnya pemerintah pusat menyerahkan tanggungjawab yang lebih besar pada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan. Berikut alasan dipilihnya desentralisasi atau kebaikan-kebaikan desentralisasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli:
1. Rondinelli:
1.    Desentralisasi sebagai alat mengurangi kontrol kesentralan perencanaan pembngunan oleh pusat dengan adanya pendelegasian kewenangan yang lebih besar pada daerah.
2.    Dengan desentralisasi  daerah akan memiliki sensitifitas lebih tinggi pada masalah yang terjadi didaerahnya
3.    Desentralisasi memacu daerah lebih kreatif, inovatif, responsif
4.    Meningkatkan akuntabilitas birokrat dan wakil rakyat
5.    Meningkatkan partisipasi politik, sosial, ekonomi masyarakat
6.    Pelayanan publik efisien dan efektif
7.    Meningkatkan stabilitas nasional dan kesatuan
2. Cheema dan Rondinelli:
central planing was not only complex and difficult to implement but may also have been inappropriate for promoting equitable (pantas/patut) growth and self sufficiency among low income groups and comunities within developing countries”. Perencanaan terpusat tidak hanya kompleks dan sulit dalam pelaksanaan tetapi juga tidak layak/pantas untuk mempromosikan pertumbuhan dan kecukupan diantara rendahnya pendapatan kelompok masyarakat tanpa pembangunan Negara.
3. B.C. Smith:
1.        Desentralisasi dapat meningkatkan kadar demokrasi melalui political education
2.        Menjamin stabilitas nasional
3.        Menciptakan political equality(persamaan) karena desentralisasi memberikan kesempatan masyarakat untuk lebih berpartisipasi
4.        Memfasilitasi akuntabilitas dan kebebasan berpendapat
5.        Merangsang responsivitas pemerinth lokal untuk tanggap terhadap kebutuhan warga masyarakat
6.        Desentralisasi  merupakan training ground untuk national legislator
4. Keith Griffin:
Desentralisasi berkaitan erat dengan pemberdayaan dalam arti desentralisasi memberikan keleluasaan dan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk berinisiatif dan mengambil keputusan.Pemberdayaan akan menjamin hak dan kewajiban serta wewenang dan tujuan dari organisasi pemerintahan daerah untuk menyusun program, memilih alternatif dan mengambil keputusan dalam mengurus kepentingan daerahnya sendiri.
5. George R Terry :
1.        Struktur organisasi yang didesentralisasikan berbobot pendelegasian wewenang dan memperingan beban manajemen teratas
2.        Membuka jalan untuk kedudukan manajer umum karena lebih berkembang ‘generalist’ daripada ‘specialist’
3.        Memunculkan semangat kerja dan koordinasi yang baik
4.        Meningkatkan efisiensi sepanjang struktur dapat dipandang sebagai satu keutuhan sehingga kesulitan dapat dialokasikan dan dipecahkan dengan mudah
5.        Resiko yang mencakup kerugian dalam bidang kepegawaian, fasilitas, organisasi dapat terbagi-bagi
6.        Bagi organisasi yang besar dan tersebar di berbagai tempat dapat memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari keadaan setempat
7.        Sebelum suatu rencana dapat diterapkan pada organisasi secara keseluruhan maka dapat diterapkan pada salah satu bagian terlebih dahulu sehingga dapat dirubah dan disesuaikan , dibuktikan kebaikan dari rencana tersebut
8.        Kebiasaan dengan aspek kerja yang khusus dan penting siap untuk dipergunakan.
6. J. Inhett Veld:
1.        Desentralisasi memberikan penilaian yang lebih tepat terhadap keadaan daerah dan penduduknya yang beraneka ragam
2.        Desentralisasi meringankan beban pemerintah karena pmerintah pusat tidak mungkin menegenal seluruh kepentingan dan kebutuhan setempat serta tidak mungkin mengetahuikebutuhan terebut dengan detail. Daerahlah yang mengetahui sebenarnya kebutuhan daerah dan cara memenuhinya
3.        Dengan desentralisasi dapat menghindarkan adanya beban yang melampaui batas perangkat pusat yang disebabkan tunggakan pekerjaan
4.        Pada desentralisasi unsur individu atau daerah lebih menonjol karena dalam ruang lingkup yang sempit, seseorang dapat lebih mempergunakan pengaruhnya daripada dalam masyarakat yang lebih luas
5.        Masyarakatsetempat dapat kesempatan untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga ia tidak sebagai obyek
6.        Desentralisasi meningkatkan partisipasi masyarakat setempat dalam mengontrol segala tindakan dan tingkah laku pemerintah
7. Mariun (1967):
1.        Memberikan perhatian khusus kepada tugas atau daerah yang didesentralisasikan sehingga memungkinkan penyelenggaraan pekerjaan lebih efektif
2.        Mengurangi kesewenangan pemerintah pusat
3.        Memajukan keluwesan dan kecepatan bertindak
    Namun desentralisasi juga tak terlepas dari kritik. Dalam konteks beberapa teori tentang negara, desentalisasi memunculkan gerakan separatis atau gerakan parochial di Afrika. Perspektif sosialis melihat desentralisasi akan memperlemah institusi lokal karena masyarakat pada akhirnya hanya akan dimanipulasi oleh kelompok, elit dominan yang sebenarnya merupakan representasi pemerintah pusat. Desentralisasi juga dianggap sebagai bagian reformasi liberal yang dilakukan kaum kapitalis.

C. Model Desentralisasi

1.        Aliran Anglo Saxon
PBB memberikan batasan sebagai berikut:
“decentralization refers to the transfer of authorithy away from the national capital wether by deconcentration (i.e. delegation to field offices or by devolution to local authorithies or local bodies.The two principal forms of decentralization of governmental powers and function are deconcentration to area offices of administration and devolution to state and local authorities”.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang atau transfer wewenang dari pemerintah pusat baik kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat  di daerah yang disebut dekonsentrasi maupun kepada badan–badan otonom daerah yang disebut devolusi.
·      Pada dekonsentrasi, departemen pusat melimpahkan wewenang dan tanggung jawab bidang tertentu kepada pejabat yang bertindak sebagai wakil departemen pusat untuk melaksanakan fungsi atau bidang tugas tertentu yang bersifat administratif tanpa menerima penyerahan kekuasaan sepenuhnya (final authorithy). Tanggung jawab terakhir tetap pada departemen pusat.
·      Pada devolusi sebagian kekuasaan diserahkan kepada badan politik di daerah yang diikuti penyerahan kekuasaan kewenangan sepenuhnya (final authorithy) untuk mengambil keputusan secara politis maupun administratif.Sifatnya adalah penyerahan riil berupa fungsi dan kekuasaan, bukan hanya sekedar pelimpahan (this type of arrangement has apolitical as well as an administrative  character)

Carolie Bryant dan Louisse G White (1987, hal 123-124) mengatakan bahwa desentralisasi adalah transfer kekuasaan kewenangan yang dapat dibedakan kedalam desentralisasi administratif maupun desentralisasi politik.
·      Desentralisasi administratif adalah pendelegasian wewenag pelaksanaan yang diberikan kepada pejabat pusat di tingkat lokal. Para pejabat tersebut bekerja dalam batas-batas yang telah ditentukan  baik dalam rencana maupun biaya tetapi memiliki sedikit kewenangan dan kekuasaan yang bervariasi dari mmebuat peraturan-peraturan yang bersifat program sampai ke yang lebih substansial.
·      Desentralisasi politik adalah pemberian kewenangan dalam membuat keputusan dan pengawasan tertentu terhadap sumber daya yang diberikan kepada badan pemerintah regional dan lokal.
Carolie Bryant mengatakan, konsekuensi dari penyerahan wewenang dalam pengambilan keputusan dan pengawasan kepada badan badan otonomi daerah adalah untuk:
a.          Memberdayakan kemampuan lokal (empowerment local capacity)
b.         Mengembangkan kemampuan otoritas lokal
c.          Meningkatkan partisipasi elit lokal dan warga masyarakat
Sedangkan pemerintah pusat akan memperoleh respek dan kepercayaan karena menyerahkan proyek-proyek dan sumber-sumber daya, dan dengan demikian akan meningkatkan pengaruh dan legitimasinya.
Rondinelli memberikan definisi desentralisasi yang lebih luas:
Decentralization is the transfer of planning, decision making or administration authorithy from the central government to its field organizations, local aministrative units, semi autonomous and parastatal organizations, local governments or non government organization.
Four terms of decentralizations can be distinguished by the degree of authorithy and power or scope of functions which government of souvereign state transfer to or shares with other organization  within its jurisdiction... diferent forms of decentralization can be distinguished primarily by the extend  to which authorythy  to plan decide and manage is transfer  from  central government to other organizations and the amount of autonomy the decentralized organizations achieve in carrrrrying out their task.
Dari definisi di atas maka Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi yaitu:
1.         Dekonsentrasi
2.         Delegasi pada pada semi otonom atau parastatal organisasi
3.         Devolusi pada pemerintah lokal
4.         Delegasi pada institusi non pemerintah

        ad. 1. Dekonsentrasi
 Rondinelli menjelaskan bahwa dekonsentrasi pada dasarnya adalah:
shifting of work load from a central government ministry or agency headquarter to each own field staff located in offices outside of the national capital without transfering to them the authorithy to make decisions or to exercise disrection in carrying out them.
Dekonsentrasi selanjutnya dibedakan dalam dua bentuk yaitu field administration dan local administration.
1.         Field administration: pejabat di lapangan diberi kekuasaan untuk mengambil keputusan rutin dan menyesuaikan pelaksanaan kebijaksanaan pusat dengan kondisi lokal yang dilakukan atas petunjuk departemen pusat. Para pejabat lokal bekerja di bawah pemerintah lokal yang memiliki kewenangan semi otonom, namun mereka adalah pegawai departemen pusat dan tetap berada dibawah perintah dan pengawasan pusat.
2.         Local administration: setiap pejabat disetiap tingkat pemerintahan merupakan wakil dari pemerintah pusat dikepalai oleh seorang yang diangkat, dibawah dan bertanggungjawab pada departemen pusat. Mereka bekerja dibawah pengawasan teknis departemen pusat.
Local administration dibagi kedalam integrated  local administration dan unintegrated
local administration.
1.    Integrated local administration, pejabat dari departemen pusat yang ditempatkan di daerah berada langsung dibawah perintah dan pengawasan kepala eksekutif daerah yang diangkat oleh dan bertanggungjawab pada pemerintah pusat. Mereka diangkat digaji dipromosi dan dimutasikan oleh departemen pusat tetapi mereka tetap berkedudkan sebagai staff teknis kepala eksekutif wilayah dan bertanggungjawab kepadanya.
2.    Unintegrated local administration, pejabat-pejabat departemen pusat yang berada di daerah dan kepala eksekutif  wilayah, masing-masing berdiri sendiri.Masing-masing bertanggungjawab kepada departemennya di pusat. Koordinasi dilakukan secara informal pejabat teknis tersebut mendapat perintah dan diawasi oleh masing-masing departemen.
           
               ad.2. Delegasi pada Semi Otonom dan Parastatal Organisasi
        Delegation to semiotonom dan parastatal organization adalah pelimpahan kewenangan dalam pembuatan keputusan dan manajerial dalam melaksanakan tugas-tugas khusus kepada organisasi yang tidak langsung berada dibawah pengawasan pemerintah pusat. Organisasi yang demikian diberikan kewenangan semi independen untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Organisasi-organisasi yang demikian  biasanya bersifat komersil atau ekonomis dan lebih mengutamakan efisiensi tidak birokratis dan politis. Badan-badan ini biasanya diberi wewenang melaksanakan proyek tertentu seperti pembangunan jalan, bendungan, listrik, telekomunikasi. Bentuk desentralisasi yang demikian di Indonesia identik dengan desentralisasi fungsional.

              ad.3. Devolusi
       Devolusi mengakibatkan pemerintah pusat harus membentuk unit pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi dan kewenangan tertentu untuk dilaksanakan secara mandiri. Bentuk ini identik dengan desentralisasi teritorial atau yang oleh pakar lain disebut desentralisasi politik.
                        Devolusi mempunyai beberapa ciri yaitu:
a)    Unit pemerintahan setempat bersifat otonom dan independent dan secara tegas terpisah dari hirarki pemerintahan. Pemerintah pusat tidak melakukan pengawasan langsung terhadapnya ciri atau karakteristik ini tidak nampak dalam pemerintahan di Indonesia. Indonesia tidak menganut otonomi bebas dalam arti independen tetapi otonomi mandiri.
b)   Unit-unit pemerintahan tersebut diakui mempunyai batas wilayah yang jelas dan legal mempunyai kewenangan untuk melaksanakan tugas umum pemerintahan
c)    Unit pemerintahan daerah berstatus sebagai badan hukum dan berhak untuk mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber daya dalam mendukung pelaksanaan tugasnya
d)   Unit pemerintahan daerah diakui oleh warganya sebagai suatu lembaga yang memberikan pelayanan kepada masyarakat sebaliknya pemerintah daerah ini berpengaruh dan berwibawa terhadap warganya
e)    Terdapat  hubungan yang saling menguntungkan melalui koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah serta unit organisasi lainnya dalam suatu pemerintahan. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah hubungan kemitraan bukan subordinasi

ad.4. Transfer functions from government to non-government organizations or institutions (Privatisasi)
Bentuk ke-empat desentralisasi disebut juga privatisasi. Privatisasi adalah pemberian wewenang dari pemerintah kepada  NGO tetapi juga merupakan penyatuan badan pemerintah dan kemudian dijadikan badan swasta seperti BUMN, BUMD yang dilebur menjadi PT.
                          Privatisasi dimaksudkan untuk:
1.    Pengalihan anggaran belanja pemerintah ke sektor swasta diharapkan akan lebih menghidupkan aktivitas bisnis. Dengan pengelolaan lebih banyak diserahkan kepada sektor swasta diharapkan efisien dapat dicapai
2.    Pemberian keleluasan yang lebih besar kepada masyarakat/sektor swasta dapat menciptakan pelayanan publik lebih cepat dan lebih murah
3.    Memungkinkan masyarakat mempunyai pilihan yang lebih banyak dalam hal pelayanan publik. Masyarakat lebih diberdayakan untuk menentukan dan menyediakan kepentingan bersama melalui unit sosial yang ada
4.    Pemberian keleluasaan yang lebih banyak kepada masyarakat berarti mengurangi ruang lingkup pemerintahan. Hal ini ditujukan mendorong berlangsungnya demokratisasi. Kalau pemerintah terlalu besar, kuat banyak melakukan intervensi akan mempunyai kecenderungan menghambat pertumbuhan demokrasi. Selain itu lebih besarnya keleluasaan ini merupakan upaya memberdayakan masyarakat
Namun perlu diperhatikan pula dampak yang kurang menguntungkan dari privatisasi, seperti kurang adanya jaminan dapat terselenggaranya fungsi-fungsui sosial  bagi masyarakat. Hal ini dimungkinkan dengan semakin lebarnya keterlibatan masyarakat dapat membawa akibat sebagian anggota masyarakat yang kurang mampu tidak dapat bersaing menikmati fasilitas dasar yang diperlukan.
Untuk meniadakan atau meminimalkan dampak yang kurang menguntungkan tersebut pemerintah berkewajiban tetap mengeluarkan peraturan yang dapat memberi jaminan agar setiap individu memperoleh pelayanan minimal. Hal ini dapat dilakukan oleh pemerintah misalnya dengan pemberian subsidi untuk bidang tertentu (Josef Riwukaho, Haryanto, Fungsi-fungsi Pemerintahan, makalah, 1997).
Berikut definisi desentralisasi yang lain menurut beberapa pakar desentralisasi:
Sergio Boisier:
Decentralization maybe administrative or functional teritoril political or combination of these.Decentralization is administrative when its concern sectors or activities within the public sector (e.g. decentralized public enterprise); it is teritorial when it involves the transfer of areas or responsibility to the bodies having jurisdiction over  a given territory (e.. regional development councils or community develop[ment councils); and it is political when it entail as handing over areas of responsibility to elected political bodies not subordinate in rank to the state (e.g. an elected national conggress).As elected national essembly on council would be a decentralize body in both political and teritorial terms.
Paul S Moro:
Desentralisasi implies the transfer of powers, functions, or activities from the national to subnational levels, such as the region, districts or other local administrative or geographical unit.It can take the form of deconcentration i.e the delegation of administrative authorithy of powers to public servants in the field within a governmnet structure; or devolution the transfer of political powers or functions from centralgovernment to local institutions at the districts or lower levels.In devolution, powers delegated are ussually combined with the rigaht to raise revenue, thus giving local institutions some political authorithy.

Raul D Guzman:
Decentralization  generally refers to the systematic and rational dispersal of power authorithy and responsibility from the central too the periphery from the top to the lower levels or from the national to the local government.Recent conceptualization however have expanded the menaing of the term of the issue of developing alternative mechanism for the delivery of the basic servicess traditionally undertaken by bureaucratic organization. As such decentralizationi recent year has assumed many forms other the deploying power and function to local levels institutions.
In these sense four approaches through which decentralization of bureaucracy can be operationalize can be identified:
1.       devolution
2.       deconcentration
3.       privatization
4.       the use of NGO and other altenative channels for service delivery.
Desentralisasi – sebagaimana dapat dilihat di atas – adalah penyerahan kewenangan dalam pengertian yang luas yang mencakup dekonsentrasi, devolusi privatisasi atau desentralisasi fungsional dan pengikutsertaan LSM dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan merupakan kelompok anglo saxon.

  1. Aliran Kontinental.
Para ahli di Indonesia umumnya digolongkan ke dalam aliran kontinental. Mereka diantaranya R Tresna, Koesoemahatmadja, Amrah Moeslimin, The Liang Gie.
Tresna misalnya membedakan desentralisasi ke dalam beberapa bagian:
1)      ambtbelijke decentralisatie (desentralisasi jabatan) atau dekonsentrasi adalah pemberian atau pemasrahan kekuasaan dari atas ke bawah dalam rangka kepegawaian guna kelancaran pekerjaan semata-mata
2)      staatskundige decentralisatie (desentralisasi ketatanegaraan) merupakan pemberian kekuasaan untuk mengatur bagi daerah di dalam lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara
Desentralisasi ketatanegaraan ini kemudian dibedakan lagi ke dalam:
·         teritoriale decentralisatie (desentrlisasi teritorial)
·         functioanale decentralisatie (desentralisasi fungsional)
Menurut Koesoemahatmadja (1979), desentralisasi ketatanegaraan adalah pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya (daerah otonom). Desentralisasi adalah sistem untuk mewujudkan demokrasi yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
Desentralisasi dibedakan kedalam:
1.      Dekonsentrasi (ambtelijke decentralisatie)
2.      Desentralisasi ketatanegaraan (staatskundige decentralisatie) atau desentralisasi politik yaitu pelimpahan kekuasaaan perundang-undangan dan pemerintahan (regelende en besturende bevoegdheid) kepada daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya. Dalam desentralisasi politik ini rakyat dilibatkan dalam penyelenggraan pemerintahan melalui saluran-saluran perwakilan. Desentralisasi ketatanegaraan kemudian dibedakan menjadi:
·         Desentralisasi teritorial  yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing (otonom)
·         Desentralisasi fungsional yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu.
Amrah Muslimin tidak memasukkan dekonsentrasi sebagai salah jenis dari desentralisasi. Ia membedakan desentralisasi  ke dalam 3 jenis:
1.      Desentralisasi politik ialah pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat yang menimbulkan hak mengatur dan mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan politik di daerah-daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah tertentu untuk mengurus satu macam atau segolongan kepentingan tertentu dalam masyarakat, baik terikat ataupun tidak pada suatu daerah tertentu, seperti: mengurus kepentingan irigasi bagi golongan petani dalam suatu atau beberapa daerah tertentu (subak di Bali).
2.      Desentralisasi fungsional
3.      Desentralisasi kebudayaan (culturele decentralisatie) adalah pemberian hak pada golongan minoritas dalam masyarakat untuk menyelenggarakan kebudayannya sendiri (mengatur pendidikan, agama). Di kebanyakan negara kewenangan ini diberikan kepada kedutaan asing untuk menyelenggarakan pendidikan bagi warga negaranya.
Tidak dimasukkannya dekonsentrasi sebagai bagian desentralisasi dalam arti luas karena campur tangan pemerintah pusat pada dasarnya dilakukan melalui jalur perangkat dekosentrasi.
The Liang Gie menyatakan:
Desentralisasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada satuan organisasi pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah. Kalau pemerintah menyelenggarakan desentralisasi berarti pemerintah mengadakan mengatur (dan sebagainya) pelimpahan wewenang kepada satuan organisasi yang mempunyai batas wilayah tertentu. Dengan adanya desentralisasi maka berlangsunglah serangkaian aktivitas yang menjalankan wewenang yang dilimpahkan itu.

Logemaan menyatakan desentralisasi sebagai ketentuan jikalau pekerjaan penguasa dari penguasa negara dilimpahkan kepada persekutuan yang berpemerintahan sendiri. Defini tersebut mengarah kepada pengertian desentralisasi dalam arti sempit yaitu desentralisasi teritorial devolusi atau desentralisasi politik saja

Dari berbagai definisi dapat ditarik kesimpulan:
Desentralisasi pada dasarnya adalah suatu proses transfer penyerahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari urusan yang semula adalah urusan pemerintah pusat kepada badan atau lembaga pemerintah daerah agar menjadi urusan rumahtangganya. Sehingga urusan tersebut beralih kepada daerah dan menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah daerah.

D. Metode Desentralisasi


  1. Residu: pemerintah pusat menentukan hal apa saja yang menjadi urusan pemerintah pusat, sisanya menjadi urusan pemerintah daerah

      Pusat                                                                 Daerah
Oval: Urusan-urusan pusat ditentukan terlebih dahuluOval:  Sisanya menjadi urusan daerah                                                                       

                                                             sisanya
 


  1. Materiil: urusan daerah ditetapkan terlebih dahulu, satu persatu secara limitatif, terperinci, di luar tugas yang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat.

                   Daerah                                                                   Pusat
Oval:    Diluar tugas yang               ditentukan, sisanya    menjadi urusan pemerintah pusat
 


                                                    sisanya
                                  
                                       
       Urusan-urusan daerah
       ditetapkan dahulu
  1. Formal: urusan-urusan yang termasuk dalam urusan rumah tangga Daerah tidak secara apriori ditetapkan dalam  undang-undang. Daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asalkan tidak mencakup urusan-urusan penting yang telah diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat atau Daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Jadi, urusan yang telah diatur dan diurus oleh Pemerintah atasan tidak boleh diatur dan diurus oleh Daerah.

E.     Model Pemerintahan Daerah

            Setidaknya ada 4 model pemerintahan daerah, yaitu:
1.    Model Perancis
2.    Model Rusia
3.    Model Anglo Saxon
4.    Model Tradisional

a.d. 1. Model Perancis
Awal abad 19, Perancis merupakan chief imperial power  di benua Eropa, Asia, Afrika Utara sehingga model pengelolaaan pemerintahan Perancis banyak diterapkan dinegara Eropa, Amerika Selatan, dan sejumlah negara di kawasan Asia,  Afrika. Pemerintahan Perancis saat ini terdiri dari 90 departemen, 300 arrondissements, 40.000 communes. Comunnes, baik besar maupun kecil, terdiri dari villages, towns, cities of the nation.Tiap level dikepalai eksekutif: prefect, sub prefect atau mayor. Eksekutif memiliki kekuasan penuh dan bertanggungjawab kepada eksekutif yang lebih tinggi, sementara prefect bertanggung jawab pada Menteri dalam Negeri. Semua urusan pelayanan publik berada di bawah yurisdiksi eksekutif, sehinnga seorang eksekutif, mayor, memiliki dual capacity.Yaitu sebagai agen dari pemerintah pusat dan sebagai pelaksana mandat local council. Di setiap provinsi, atau commune, terdapat ellective council yang kekuasaannya terbatas. Model pemerintahan Perancis memiliki karakter: sentralistis, heavy/dominasi eksekutif dengan subordinasi legislative, struktur bertingkat, chain of command, uniform, tujuannya adalah mencapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
a.d. 2. Model Rusia.
Sebelum revolusi tahun 1917, Rusia dibagi dalam sejumlah provinces dan regions yang dikepalai gubernur. Di masing-masing provinsi terdapat distrik yang dikepalai  chief of police. Distrik terdiri dari sejumlah cantons yang merupakan kumpulan villages community. Terjadinya revolusi di Rusia menyebabkan model pemerintahan Rusia berubah menjadi sistem soviet, soviet berarti councils. Soviet terdiri dari deputi delegasi yang dipilih buruh pabrik, petani, dan tentara Red Army. Sistem pemerintahan daerah Soviet Union tersusun dalam beberapa hirarki administrasi. Tingkatan-tingkatan tersebut berada di bawah All Union, Union Republic, Autonomous Republic. Tingkatan pertama dan tertinggi adalah kumpulan unit administrasi yaitu the krais, the oblasts, the okrugs, kota besar, yang memiliki subordinasi langsung  ke Republic government. Tingkatan kedua terdiri dari rural raisons, towns of intermediate, city raisons. Tingkatan ketiga meliputi village soviet, settlements soviets, small town soviets. Pemerintah lokal lebih merupakan  agen langsung pemerintah pusat, ia bukan lawmaking agencies. Karakter model pemerintahan Rusia: kontrol partai komunis, single candidate election, hirarki garis komando yang ketat, kekuasaan pusat yang sangat besar atas council local.
a.d. 3. Model Anglo Saxon
Pemerintahan daerah Inggris  modern  terdiri dari country borough (didirikan 1888) ; administrative counties (didirikan 1888) yang meliputi  town and county area dan beberapa fungsi administrasi seperti kesehatan, pelayanan publik, polisi, transportasi, pendidikan dasar dan menengah; municipal borough (didirikan 1835 dan 1835), urban district (didirikan 1872), rural district (didirikan 1872), parish meetings atau council (didirikan 1894). Salah satu karakter mendasar model pemerintahan ini adalah bahwa local units bebas dari pengawasan local authorities yang lain. Tidak ada keterkaitan antara mereka dan antara national ministries dan parlemen. Karakter lainnya, desentralisasi, heavy/ dominasi legislative, kooptasi melalui sistem “komite”, Multi-purpose activities, Voluntarily citizens participation.
a.d. 4. Model Tradisional.
Karakter pemerintahan model ini adalah masyarakat desa, struktur politik sederhana, didukung oleh nilai-nilai lokal (mores) yang kompleks.

 F. Tinjauan Arah Perkembangan Desentralisasi

      Pada mulanya  desentralisasi dimaknai sebagai proses tunggal, yakni desentralisasi hanya urusan pemerintah. Namun pemaknaan ini sudah tidak relevan lagi, desentralisasi tidak hanya urusan pemerintah, desetralisasi menurut .(Bennet, 1994) digambarkan secara ekstrim dapat terjadi atau berlangsung ke dalam empat si stem desetralisasi :                                         
  1. Centralized market model, Perancis misalnya, dimana semua alokasi sumberdaya dipercayakan pada pasar
  2. Localized market model, alokasi sumberdaya dipercayakan pada pasar dan pasar itu dipindahkan ke daerah
  3. Centralized public sector model, alokasi sumberdaya  direncanakan secara ekonomis/efisien  dan terpusat
  4. Localized public sector model, alokasi sumber daya secara planned economies tapi dilokalisir ke daerah.
Pada kenyataannya tidak ada negara yang memakai model ekstrim tersebut.
Terdapat 3 model desentralisasi pada sistem Mixed Market,(system campuran atau perpaduan pasar /swasta ) yaitu:
1.      Voluntarist
2.      Welfarist model
3.      Post welfare
 a.d. 1. Voluntarist
Dalam model ini urusan-urusan yang menyangkut pelayanan publik bukan hanya digeser dari pusat ke daerah atau dari pemerintah ke swasta, tetapi juga bergeser ke sektor ketiga. Pengadaan, pengelolaan pelayanan publik mengalami pergeseran dari pusat atau pemerintah ke civil society.
Studi Kasus Model Voluntarist:
Tanggal 17 Januari 1995, di Kobe dan Pulau Awaji (Jepang) terjadi gempa bumi yang menewaskan lebih dari 5.000 orang dan lebih dari 200 rumah hancur.  Gempa yang menimpa kawasan urban tersebut melumpuhkan pelayanan publik dimana  kehidupan masyarakat urban sehari-hari sangat bergantung padanya.  Saluran listrik, telepon, air, gas, putus total. Pemerintah kota dan prefecture tidak mampu menyediakan pertolongan bagi para korban. Pemadam kebakaran tidak mampu mematikan kebakaran yang terjadi di berbagai area. Mereka tidak memiliki persediaan air dan tidak dapat menjangkau lokasi-lokasi kebakaran karena jalan-jalan tertutup reruntuhan bangunan. Sukarelawan berdatangan dari penjuru daerah, negara.
Dalam situasi seperti ini, voluntary activities memainkan peran penting untuk menolong para korban.Namun peran para sukarelawan ini tetaplah sebagai suplemen pemerintah. Bencana tersebut mengingatkan pentingnya pemerintah, swasta (private enterprises) dan para sukarelawan berpartisipasi dalam pengelolaan crisis management system, penyediaan komunikasi yang cepat, cara perekrutan sukarelawan, dan pentingnya koordinasi berbagai pihak. Dalam masyarakat yang semakin modern, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian, pemerintah membutuhkan kerjasama dengan aktor-aktor lain untuk membangun sebuah sistem manajemen sosial yang hibrid, tidak hanya pada waktu terjadi krisis, bencana tapi juga pada situasi normal. (Akira Morita, A New Conceptualization of The Public Service)
a.d. 2. Welfarist Model
Model yang banyak dipraktekkan di kawasan Eropa, terutama Skandinavia (Nordic) ini lebih mendekati  ke planned economies. Negara yang menggunakan model ini memiliki sejumlah kewajiban yang melekat pada dirinya, misalnya negara wajib menyediakan full employment (banyak lapangan pekerjaan),  melakukan investasi jangka panjang yang besar untuk meningkatkan kapasitas produksi, menyediakan dan menjamin pendidikan, kesehatan, perumahan bagi warganya. Model ini harus ditopang sistem pajak yang benar-benar progresif.
a.d. 3. Post welfare
Pada model post welfare, sistem pelayanan publik, kesehatan, pendidikan misalnya, mulai diserahkan ke pasar. Indikasi suatu negara menerapkan model ini antara lain, adanya:
·         demand for greater responsiveness to customers
·         innovations in service delivery
·         managerial reform (internal acccountability)
·         reinterpretations of representation and external accountability
·         attempts to shift the “boundary” of government  (Bennet, 1990)
Berikut skema kemungkinan perubahan jangka panjang governmental relation ke arah model desentralisasi voluntarists, welfarist, post welfare (Bennet, 1990)
      Market
   resource
Oval:   voluntaris  allocation
 





                                                        
 




      Governmental
               resource
              allocation
                         
                                power centralized                                           power localized
G. Pengalaman Desentralisasi di Afrika Barat dan Asia khususnya di  Indonesia.
1.      Afrika Barat
Di Ghana, Senegal, Cote d’Ivoire (Afrika Barat) desentralisasi  tidak dapat  memberdayakan penduduk malahan mengokohkan kekuasaan elit lokal yang berperan sebagai local power broker. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan merupakan produk tawar menawar (melalui negosiasi dan konfrontasi) antara pemerintah pusat dengan elit lokal (rural elite). Struktur masyarakat agraris yang hirarkis di Afrika Barat -kekuasaan terpusat pada beberapa orang/seorang yang menguasai tanah, akses pasar- memberikan rural elite kekuasaan tawar menawar yang kuat vis a vis negara.
Chaterine Boone (2003) memusatkan penelitiannya pada usaha institution building strategies pemerintah di Afrika Barat untuk “menakhlukkan” elit lokal.
Institution building strategies  dapat dilihat dari dua dimensi:
1.    Spasial konsentrasi /deconcentration of the state apparatus
2.    Sentralisasi/ devolusi kewenangan politik dan ekonomi
Chaterine menawarkan 4 alternatif strategi institution building yang dapat dilakukan pemerintah, berupa:
1.    Powersharing (dekonsentrasi struktur institusi;pengalihan wewenang)
2.    Usurpation (dekonsentrasi struktur institusi, sentralisasi wewenang)
3.    Administrative occupation (konsentrasi struktur institusi; sentralisasi wewenang)
4.    Non-incorporation (konsentrasi struktur institusi; devolusi wewenang)
2.   Asia dan Indonesia
Di kebanyakan negara Asia, yang terjadi adalah para pemimpin daerah tidak memiliki kewenangan politik dalam menentukan kebijakan yang sesuai dengan local environtment. Pemerintah daerah menjadi pasif karena ketergantungannya pada pemerintah pusat.
Cheema dan Rondinelli mengemukakan keberhasilan desentralisasi ditentukan oleh faktor lingkungan (environtments) berupa struktur politik, proses pembuatan kebijakan, struktur kekuasaan lokal, ketersediaan infrastruktur . Hal ini  yang dipengaruhi oleh :
·         Hubungan antar organisasi  yang tercemin pada efektivitas perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan prosedur yang ditetapkan, tingkat akurasi, konsistensi dan kualitas komunikasi antarorganisasi, efektivitas jaringan dalam organisasi (aktor-aktor)yang terlibat.
·         Sumber daya berupa dana yang mencukupi, jaminan ketersediaan sumber pendanaan, dukungan pemerintah pusat dan pemerintah lokal (serta para birokratnya), kemampuan bargaining pemerintah dengan Funds (lembaga atau negara pembiaya).
Pengalaman praktek desentralisasi di Indonesia telah  lama melewati  sejarah yang sangat panjang, yakni sejak pertama kali digagas dan diterapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda melalui Decentralisatie Wet,  23 Juli 1903 ( The Liang Gie, 1993, 1994, 1995 dan Josef Riwu Kaho, 1998, 2001 ). Namun pelaksanaan secara luas baru dimulai sepuluh tahun terakhir sejak digulirkannya UU No 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No 32 Tahun 2004 bahkan sedang disiapkan rancangan perubahan untuk disempurnaan kembali pada tahun 2010/11 ini.
Berdasarkan hasil riset dan evaluasi terhadap pengalaman pelaksanaan politik desentralisasi dan otonomi daerah, sebagian terbesar menunjukkan kegagalan memenuhi tujuan awalnya  terutama yang terkait dengan produk pelayanan dasar yakni pendidikan dan kesehatan (Djojosukanto, dkk, 2008).
 Secara makro sebenarnya pemerintah daerah gagal dalam praktek berdemokrasi, serta gagal dalam mewujudkan kesejahteraan dan system pelayanan public yang lebih baik, dengan sejumlah pengecualian yang sangat terbatas di beberapa daerah.
Berikut beberapa implikasi yang timbul dalam pelaksanaan  desentralisasi :
1.      Menurut Cornelys Lay, (2010) sebagian besar daerah justru dihinggapi sejumlah patologi yang kronis dalam pengelolaan pemerintahan di daerah.
2.      Menurut Robison dan Hadiz, (2003) praktek desentralisasi telah menjadi lahan kekuasaan dan pundi-pundi baru bagi praktek2 politik kotor dan premanisme politik yang sudah mengakar sejak lama, sehingga yang paling diuntungkan adalah para elit local.
3.      Sebab menurut Pradjna R,  (2002) para penguasa local telah mereorganisasi ekonomi politiknya melampau batas-batas regulasi formal dengan  memanfaatkan berbagai kelemahan aturan untuk meningkatkan kekayaan dan kekuasaannya.
4.       Menurut Hidayat, (2007 ) perkembangan lebih akhir menunjukkan bahwa proses bertahannya kekuatan-kekuatan lama mengalami pergeseran dramatis, yakni kelompok oligarkis yang dibangun semasa orde baru berhasil mereorganisasi diri tidak semata-mata dengan mangandalkan cara-cara yang kotor seperti politik uang dan premanisme, juga tidak semata-mata mampu mengkonsolidasi diri dalam suasana demokratis tetapi juga dengan menggunakan mekanisme demokratis. Tolong ulang kuliah berikut ( Ada tugas Mid) : Evaluasi yang dilakukan atas berbagai usulan perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tidak mengalami pergeseran perspektif yang signifikan. Pokja Depdagri, memang mengusulkan adanya kebutuhan untuk mengatur “kawasan khusus” tetapi secara umum desentralisasi masih dipahami dalam makna uniformitasnya, (Djojosukanto,dkk, 2008) sebagai paradigma dominan hampir tunggal yang menuntun keseluruhan logika rancangan kebijakan desentralisasi di Indonesia sampai saat ini. Pada hal uniformitas telah mengabaikan fakta keragaman yang melekat dalam daerah-daerah dan sekaligus mengabaikan kepentingan nasional dalam kerangka desentralisasi, seperti kepentingan untuk menjaga keutuhan negara. Yang terjadi kemudian gagasan penyebaran kekuasaan lewat desentralisasi dilaksanakan secara seragam untuk semua daerah tampa mempertimbangkan perbedaan-perbedaan mendasar antar berbagai daerah dan keunikan yang dimilki daerah-daerah.
            Karena itu menurut Cornelys Lay, (2010) dibutuhkan cara berpikir baru yang bertumpu pada adanya kebutuhan untuk memperhatikan perbedaan antar daerah dan keunikan masing-masing daerah sekaligus kepentingan obyektif Indonesia sebagai sebuah negara bangsa yang kemudian menjadi titik tolak untuk merancang kebijakan desentralisasi ke depan secara lebih baik.
            Paradigma seperti inilah yang dikenal sebagai asymmetrical decentralization  yang secara legal konstitusional sebenarnya memiliki akar yang kuat pada konstitusi dan spirit yang melekat dalam praktek desentralisasi Indonesia sejak awal kemerdekaan, sayangnya tidak dirumuskan secara tajam dalam regulasi-regulasi nasional terkait desentralisasi. Pada hal dalam kenyataan desentarlisasi asimetris itu telah dipraktekkan pada  beberapa daerah seperti Papua, NAD, DIY dan DKI Jakarta, adanya pengembangan ragam zona spesifik seperti Kapet (kawasan pengembangan ekonomi terpadu), pusat-pusat pertumbuhan, kawasan otoritas, misalnya Otoritas Batam, berikut kota-kota mandiri, sesungguhnya berangkat dari logika asymmetrical decentralization, hanya saja praktek-praktek pengaturan daerah atau kawasan secara asimetris di atas belum terintergrasi sebagai bagian dari regim desentralisasi yang dikembangkan di Indonesia. Dan  seharusnya hal itu tidak untuk beberapa daerah saja melainkan untuk semua daerah otonom di Indonesia. 

Mengapa Desentralisasi Asimetris ?
      Pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah di beberapa daerah merupakan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang cukup umum diterapkan di banyak negara.  Pengalaman ini berlangsung baik di dalam bentuk negara kesatuan yang diberi desentralisasi maupun dalam format pengaturan federatif. Sejumlah kedutaan yang yang diwawancarai dengan menggunakan metode FGD dari Tim Peneliti PLOD UGM, (2009) dan kajian komparasi atas berbagai negara mengungkapkan luasnya penerapan model ini di beberapa negara, seperti di India (Jammu Kashmir), Pakistan (Gilgit Baltistan), Spanyol, China, Filipina, Afrika Selatan, Meksiko, Findlandia, Norwegia, Kanada, Denmark, Perancis, Italy. Portugal, dllnya.
Bagi Indonesia realitas masyarakat kita yang sangat plural bisa menjadi kekuatan atau dasar untuk mengembangkan model desentralisasi asimetris. Menurut Cornelis Lay skema kebijakan ini dimaksudkan untuk menjawab tantangan – tantangan atau untuk mencapai tujuan-tujuan yang secara tipologis dapat dibedakan ke dalam lima tipe :
1.      Tantangan yang bersifat politik, terutama yang terkait dengan regional questions. Pengaturan asimetris ditempuh sebagai strategi kebijakan untuk mempertahankan batas wilayah kekuasaan unit politik (basic boundaries) suatu negara. Rancangan desentralisasi asimetris atau federasi asimetris dengan motivasi politis ini adalah yang paling luas ditemukan dalam pengalaman di berbagai negara, dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda di setiap negara.
2.      Sebagai instrumen kebijakan untuk mengakomodasi keunikan budaya dan perbedaan alur kesejarahan, termasuk dalam kerangka perlindungan kaum minoritas dan manajemen konflik.
3.      Kebijakan untuk menjembatani tantangan yang bercorak teknokratik managerial, yakni keterbatasan kapasitas suatu daerah atau suatu wilayah dalam menjalankan fungsi dasar pemerintahan. Hal ini muncul ketika daerah tidak mampu menyampaikan atau menyediakan pelayanan public secara memadai dan efisien sebagaimana daerah lain yang berada di level yang sama. Pendekatan asimetris memungkinkan pejabat pemerintah yang berwenang di tingkat nasional memaksimalkan rentang fungsi dan kekuasaannya.  Rentang fungsi dan kekuasaan ini bisa dibatasi dikemudian hari apabila telah terbangun kapasitas yang cukup memadai. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi terhadap kapasitas daerah. Penerapan  desentralisasi asimetris karena argumen ini boleh jadi sangat relevan untuk Indonesia saat ini, terutama jika berbagai data dan informasi mengenai kegagalan pelayanan public seiring dengan lahirnya daerah-daerah baru adalah benar.
4.      Kebijakan yang dirancang untuk memperkuat kapasitas kompetitif sebuah negara bangsa dalam kerangka persaingan global dan regional yang semakin keras.
5.      Kebijakan yang dirancang sebagai instrumen untuk meminimalisasi resiko, misalnya bagi kawasan-kawasan perbatasan yang mengandung resiko bagi keamanan negara dan keutuhan teritorial negara bangsa,  kawasan dengan resiko pengulangan bencana yang tinggi ataupun kawasan dengan siklus rawan pangan yang ajeg.
Di Indonesia penerapan asymetrical decentralization bukan merupakan pengalaman baru. Aceh dan Papua adalah contoh tipikal dari penerapan prinsip ini guna menjawab terus menguatnya “regional questions” di dua kawasan panas ini. Sementara Yogyakarta, merupakan contoh penting dari penggunaan instrumen kebijakan asymetrical decentralization sebagai instrumen untuk mengakomodasi, melindungi, mengapresiasi, memberikan ruang bagi eksistensi keunikan kultur dan sejarah.   

Literatur
Cheema, Rondinelli. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries, chapter 1, 2. Sage Publications.
Smith, B.C.. Decentralization: The Teritorial Dimension of The State, chapter 1, 2.
Alderfer, Harold F. Local Government in Developing Countries, McGraw-Hill Book Company, 1964
Bennett, Robert, Local Government and Market Decentralization: Experiences in Industrialized, Developing and Former Eastern Bloc Countries, chapter 1,2, United Nations University Press,1994.
Mawhood, Philip, Local Government in The Third World: The Experience of Tropical Africa, chapter 1, John Wiley & sons,1995.
Boone, Chaterine, Decentralization as Political Strategy in West Africa dalam Comparative Political Studies, vol 36, Sage Publications, 2003.
Teori Desentralisasi, kumpulan makalah studi kasus. Perpustakaan S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah.


1 komentar: